Terjebak di Rumah Susun
“Terjebak di Rumah Susun”
Oleh : Ridwan Kamil
5 Februari 2009
Di suatu masa di tahun 2008 saya pernah diminta mendesain sebuah proyek rumah susun di Jakarta. Merasa tertantang, karena sering melihat desain-desain rumah susun yang memprihatinkan, tidak inovatif berbaris membosankan seperti bedeng tentara. Berawal dari niat untuk menghasilkan sebuah konsep hunian bertingkat yang murah, manusiawi dengan desain yang inovatif. Mula-mula isi kepala bersemangat penuh dengan ide-ide ini dan itu. Namun dalam perjalanan banyak sekali benturan kepentingan. Diujung proses, realita ekonomi pasar dan aturan-aturan pemerintah yang tidak matang akhirnya menelanjangi dan memreteli impian-impian tadi . Satu persatu idealisme desain pun menciut.
Karena diserahkan ke mekanisme pasar, maka pihak swasta lah yang memiliki peran terkuat dalam memproduksi rumah susun. Agar bisnis mereka masih masuk akal, mereka pun kemudian berhitung dengan cermat. Jika harga harus murah seperti yang dipatok pemerintah maka mereka menuntut banyak kompensasi . Triknya adalah membangun dengan meter persegi yang sangat tinggi yang tercermin dari jumlah lantai yang banyak dan biaya konstruksi yang ditekan. Di sisi lain mereka menuntut desain harus sangat efisien, dimana 85 persen lantai untuk dijual sisanya untuk sirkulasi. Di tiap lantai pun harus ‘double loaded’ dimana kiri dan kanan koridor adalah unit-unit yang dijual dengan ukuran luas yang minim atau secukupnya. Ukurannya adalah 18, 21, 27, 30 atau 36 meter persegi. Dari sisi argumentasi ekonomi, semua permintaan di atas terdengar wajar.
Namun pada saat garis rancangan ditarik di atas kertas gambar, barulah ketahuan konflik-konfliknya. Pada saat desain tapak dirumuskan, keluarlah masalah-masalahnya. Persi s seperti membuka kotak Pandora.
Untuk rumah susun di Jakarta, pemerintah umumnya memberikan hitungan KLB sebesar 5 atau luas total bangunan adalah sebesar 5 kali luas lahan. Jika luas tanah 2 hektar maka luas bangunan adalah 10 hektar. Efeknya ternyata diluar dugaan. Karena unitnya kecil-kecil maka jumlah penduduk 2 hektar ini jumlahnya bisa mencapai 16 ribu jiwa. Waktu disimulasikan, ternyata jika semua penduduk ini tiba-tiba turun ke lantai dasar untuk evakuasi, maka ruang terbuka yg tersedia yang rata-rata sekitar 60 persen dari total luas lahan tidak akan bisa menampung mereka. Sungguh merisaukan. Peraturan ini memberikan insentif untuk pengembang namun melupakan dampak ledakan populasi yang terjadi.
Dengan meter persegi yang sangat besar di atas lahan terbatas ini, maka tinggi bangunan menjadi berlapis-lapis sampai belasan atau duapuluhan lantai. Koridor pun menjadi sangat panjang, sehingga menghasilkan efek lorong yang panjang dan gelap. Lebih rumit lagi ketika ide memperlebar koridor atau membuang beberapa unit untuk lubang cahaya ditolak dengan cepatnya. Alasannnya proporsi luas terjual dan sirkulasi menjadi timpang tidak efisien. Proyek pun menjadi tidak fisibel lagi kilahnya. Dan cerita proyek Pruitt Igoe di Amerika yng dirubuhkan karena isu sosial dan keamanan rumah susun yang akut, ikut menghantui perjalanan proses ini.
Ide memperbanyak elevator agar lebih manusiawi pun sering ditolak pengembang . Alasannya mahal katanya. Padahal dengan kepadatan begitu tinggi bisa-bisa pada jam pergi atau pulang kerja , banyak penghuni yang bisa pingsan kesemutan atau mati berdiri, karena menunggu lebih dari 30 menit hanya untuk turun atau naik di rumah susun ini. Belum lagi masalah kepadatan ini pasti memicu isu-isu sosiologis. Mereka yang biasa hidup di kontrakan kampung kota, tiba-tiba harus tinggal di lantai 20. Butuh penyesuaian sosial dan kultural yang luar biasa. Isu keamanan di lorong koridor, parkir atau ruang berjualan kakilima yang juga pasti selalu hadir. Juga jangan harap rumah susun yang dibangun pihak swasta bisa punya konsep koridor sisi tunggal atau ‘single loaded’ seperti khayalan pemerintah. Pasti arsiteknya sudah dilempar sepatu duluan , ala eks presiden Bush, oleh pengembangnya.
***
Minggu-minggu setelah penugasan proyek ini adalah minggu-minggu penuh perdebatan dan adu argumentasi. Pada akhirnya memang terjadi kompromi, namun yang diatas angin tetap argumentasi hitung-hitungan ekonomi yang dibawa pihak developer. Kedudukan sementara: kreativitas babak belur oleh kalkulasi ekonomi. Pelajaran berharga yang melelahkan.
Muara dari baku hantam di atas, adalah akibat dari lemahnya peran negara dalam menjamin hak warga negara untuk memiliki rumah. Seharusnya pemerintah menyediakan perumahan atau rumah susun ini tanpa terlalu banyak peran dari pihak swasta. Sekalinya diserahkan ke hukum pasar, maka hitung-hitungan yang mengedepan ekonomi menjadi lokomotifnya. Isu sosiologis, kultural dan ekologis sering terabaikan. Kampanye 1000 tower yang dicanangkan pemerintah akhirnya lebih terdengar sebagai bualan politik di atas awan ketimbang rencana planologis yang masuk akal.
Memang harga jual sudah dipatok tidak lebih tinggi dari 144 juta untuk para pembeli yang berpenghasilan maksimal 4,5 juta Rupiah. Seolah-olah dengan harga yang dianggap cukup terjangkau ini, urusan selesai. Padahal pihak pengembang tetap saja berpikir bisnis. Oke lah harga ditekan rendah, tapi beri saya jumlah unit yang ribuan, pikir mereka. Mereka berkalkulasi, tidak apa-apa mendapatkan recehan, asal jumlahnya segudang ala kekayaan karakter komik Paman Gober dari majalah anak-anak. Itulah asal muasal diberi kepadatan bernilai 5 kali dari luas lahan.
Lucunya, setelah direnungkan, ternyata akhirnya ketahuan bahwa semua pihak sedang belajar apa itu artinya rumah susun. Pemerintah yang kurang teliti, pengembang yang berhitung ekonomi namun tidak berhitung biaya sosial kultural, dan tentunya arsitek-arsitek yang cemas terjebak dalam pusaran ini. Pihak-pihak yang sering mengeritik wacana rumah susun pun sering lupa bahwa rumah susun yang ideal secara sosiologis dan kultural hanya bisa terjadi jika proyeknya disediakan 100 persen oleh pihak pemerintah dengan subsidi yang sangat besar. Dalam pusaran hukum pasar ini, saya sendiri melihat langsung bagaimana proyek-proyek rumah susun yang lolos dalam proses perjinan, desainnya sangat minim inovasi, berbaris bak bedeng tentara, tampak bangunan yang polos sambil tinggi menjulang. Bahkan sayembara-sayembara desain rumah susun yang katanya hasilnya sangat inovatif, dijamin banyak yang tidak aplikatif jika diceburkan dalam konteks hukum pasar seperti ini. Proses berarsitektur adalah proses berkompromi.
Itulah pelajaran pertama dari perjalanan yang melelahkan ini. Lelah karena harus berjibaku argumen atau ide antara idealisasi desain dengan tekanan hitungan ekonomis yang maha berat. Pelajaran berikutnya adalah sebuah kesimpulan bahwa negaralah yang seharusnya menjadi konseptor sekaligus pengembang rumah susun ini. Tapi apa daya, negara selalu mengaku tidak punya dana cukup.
Namun pelajaran terpenting dari perjalanan yang melelahkan ini adalah bahwa rumah susun berkepadatan tinggi tetap menjadi konsep berhuni yang paling kontekstual dalam merespon beban kota-kota besar di Indonesia. Karenanya wahai para arsitek, anda tidak boleh putus asa dan teruslah berinovasi yang disempurnakan dengan berdoa. Demi masa depan peradaban kita semua, masa depan kota, masa depan tempat tinggal anak dan cucu kita. ***
Leave a Reply