Archive for the ‘7 Tren Desain Urban di Asia’ Category
7 Tren Desain Urban di Asia
“7 Tren Desain Urban di Asia”
Oleh : Ridwan Kamil
27 September 2008
Asia, benua tempat kita hidup, adalah wilayah dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah urban tercepat di dunia. Ketika setengah dari penduduk bumi saat ini tinggal di area urban, sekitar 22 kota di dunia, sebagian besar di Asia, sudah naik status menjadi ‘megalopolis’, dengan penduduk rata-rata 8 juta jiwa. Bahkan diperkirakan akan lahir 267 kota di Asia yang berpenduduk minimal satu juta jiwa di tahun 2015.
Dalam atmosfer densitas yang menekan dan heterogenitas sosial yang ramai, seperti didefinisikan sosiolog Louis Wirth, area urban pun tumbuh bergerak cepat dan mengalami banyak mutasi fisik untuk menjawab akselerasi kebutuhan baru para warganya. Akibatnya, lokalitas masalah urban di Jakarta hampir serupa dengan Bangkok, Bangalore atau Chongqing di Cina. Ledakan penduduk yang hebat, lingkungan alam yang tergeser kawasan urban, menguatnya konsumerisme global sampai lebarnya jurang kaya miskin, adalah nafas keseharian bagi kita yang tinggal di kota.
Namun sebagian berbeda pandangan dalam melihat kompleksitas masalah urban.”Masalah adalah peluang,” ungkap Vincent Lo, seorang pengembang properti besar di Hongkong. Dari masalah-masalah urbanlah sering lahir ide-ide dan beragam spekulasi bisnis. “Speculation is the driving force of urbanism,” cetus Rem Koolhaas dalam satu kesempatan. Ide dan spekulasi ini kemudian mewujud dalam bentuk arsitektur, infrastruktur ataupun ruang kota yang perlahan menggiring pada proses mutasi fisik dan perubahan sosial peradaban manusia di kota. Dalam perspektif ‘city as products’, di bawah ini terekam kurang lebih 7 tren desain urban kontemporer di Asia dewasa ini,
- Mixed-Use Centers
Karena bosan dengan konsep ¡¥commuting¡¦ yang melelahkan, saat ini berkembang pesat kebutuhan warga kota atau ‘urbanites’ untuk melakukan aktivitas urban seperti bekerja, belanja, berekreasi dan berdomisili dalam lingkungan yang relatif dekat. Tren ini kemudian mendorong berkembangnya tipologi fungsi arsitektur kota yang baru yang bersifat multi fungsi atau ‘mixed-use center’
Hunian, hotel atau perkantoran di atas pusat perbelanjaan lengkap dengan fasilitas rekreasi dan sarana transportasi publik telah menjadi penggerak mutasi baru dalam kehidupan urban modern di kota- kota di Asia saat ini. Pacific Place di Hongkong, Roppongi Hills di Tokyo, Taipingqiao di Shanghai, Plaza Senayan dan Taman Anggrek di Jakarta adalah contoh-contoh ‘mixed-use center’ yang lahir dalam satu dekade terakhir.
- Transportation-hub Shopping Retail
Di beberapa kota maju Asia, konsep mixed-use ternyata berkembang lebih jauh lagi. Hub transportasi seperti halnya bandara, stasiun kereta/subway atau terminal bis banyak digabungkan dengan fungsi-fungsi retail skala besar atau pusat perbelanjaan. Bandara Changi di Singapura, Chep Lap Kok di Hongkong dan Bandara Bangkok di Thailand
ternyata berhasil memperoleh keuntungan bisnis yang luar biasa besar dari ‘leasing space’ untuk fungsi retailnya.
Aliran pengunjung yang umumnya terus-menerus dan tiada henti di hub transportasi tersebut ternyata merupakan pangsa pasar yang luar biasa besar untuk ditangkap oleh fungsi retail. Selain di bandara, konsep ini kemudian diterapkan di stasiun-stasiun transportasi massal kota, seperti di semua Ferry Terminal/MTR di Hongkong dan di hampir semua stasiun MRT di Singapura. Karenanya, ketimbang membangun banyak Mall belanja di lokasi-lokasi tidak jelas dan sering terbukti malah menjadi sumber kemacetan baru, menggabungkan pusat belanja di hub-hub
transportasi jelas lebih baik dan menguntungkan.
- Superblock Development
Kawasan pembangunan terpadu atau superblock development saat ini terus menjadi penggerak tren urban skala besar di beberapa kota besar di Asia. Sarana lingkungan dan infrastruktur yang terintegrasi dalam areal yang luas menjadi salah satu daya tarik bagi warga kota untuk bekerja dan melakukan kegiatan komersial di kawasan superblok tersebut. Kawasan Beijing Central Business District (CBD), Pudong CBD di Shanghai, Suntec City CBD di Singapura dan Sudirman CBD atau Mega Kuningan di Jakarta adalah contoh-contoh pengembangan kawasan terpadu berskala besar.
Namun di beberapa kota di negera berkembang, kesiapan infrastruktur transportasi publik dan utilitas dalam endukung keberhasilan konsep superblok ini sering dinomorduakan. Selain itu, dalam konteks Indonesia, penyediaan ruang dan penataan sektor informal juga harus menjadi perhatian penting dalam perancangan kawasan superblok ini. Hal ini dikarenakan sebagian dari warga superblok adalah golongan
menengah bawah dengan tingkat ekonomi terbatas.
- Technology Park
Globalisasi, terutama pada bidang ekonomi ternyata banyak membawa dampak pada praktek ¡¥business outsourcing¡¦, berupa pengalihan sebagian fungsi pekerjaan ke luar wilayah kerja kantor pusatnya. Selain itu, pengoperasian pabrik-pabrik atau research center yang dekat dengan wilayah pasar tempat produk mereka dijual juga sudah menjadi hal yang lazim.
Banyak negara-negara di Asia yang berkompetisi untuk menarik investasi dari negara maju, dengan cara mendirikan kota-kota baru yang mengkhususkan diri pada fungsi-fungsi komersial berbasis teknologi. Cyber Jaya di Malaysia, Bangalore I.T. zone di India, Novavista dan Jurong di Singapura, Zhongquanchun di Beijing ataupun Guangzhou Science city adalah contoh kota-kota baru dengan konsep homogenisasi zona fungsi komersial yang berbasis riset teknologi informasi atau industri high-end
- Mobility & Linear Space
Salah satu pemicu mutasi urban terhebat dalam struktur kota sejak awal abad 20 adalah hadirnya mobil dalam kehidupan manusia. Kuantitas infrastruktur jalan untuk kendaraan bermotor sering mendominasi konsep perancangan kota. Namun infrastruktur jalan tersebut umumnya hanya direncana secara kapasitas teknis semata dan secara spasial tidak didesain dengan teliti. Akibatnya potensi lahirnya ruang-ruang sosial kota menjadi hilang dan fisik kota pun akhirnya sering hanya bisa diapresiasi dari balik jendela mobil. Paradigma status quo ini juga banyak melahirkan ruang-ruang sisa mubazir atau junk space, seperti kita lihat di Jakarta dan Pudong di Shanghai.
Sementara di beberapa kota di kawasan Asia lainnya, ruang linear jalan yang secara spasial dirancang dengan baik dan serius dalam penataan kawasannya, ternyata berhasil menjadi ruang kota yang mampu menyedot kehadiran publik yang sangat besar dan memicu kesuksesan bisnis komersial. Bintang Walk di Kuala Lumpur yang meniru Orchard Road di Singapura, Nanjing Lu di Shanghai atau Bar Street di Beijing adalah contoh-contoh koridor jalan kota yang menjadi public & business place yang berhasil.
- Adaptive-reuse in Urban Design
Orisinalitas adalah konsep dasar turisme berbasis arsitektur atau kawasan historis. Namun sudah menjadi fenomena umum, bahwa kegagalan dalam konservasi arsitektur dan kawasan kota ini adalah akibat dari kurangnya kreativitas atau ide-ide bisnis yang sensitif untuk menghidupkan kawasan historis secara swadaya. Tanpa bisa beradaptasi
dengan fungsi dan tren urban baru yang relevan, banyak bangunan dan kawasan historis yang mati, apalagi jika hanya mengandalkan subsidi dari pemerintah.
Saat ini di beberapa kota-kota Asia, konsep ‘adaptive-reuse’ dalam skala kawasan ternyata berhasil menjadi tujuan wisata utama di kota-kota besar Asia. Xintiandi dan The Bund di Shanghai, yang menggabungkan arsitektur kolonial dengan fungsi-fungsi retail modern hi-end, adalah contohnya. Kawasan Boat Quay atau Clarke Quay di Singapura juga merupakan contoh keberhasilan perkawinan konservasi kawasan historis dan kreativitas bisnis modern. Sementara di
Indonesia, kawasan Kota Lama di Semarang, Kesawan di Medan juga sebenarnya punya potensi besar untuk dikembangkan seperti model dan contoh sukses di kota-kota Asia tersebut di atas.
- Sustainable Practice in Urban Design
Salah satu kelemahan ‘modern urban planning’ antara lain adalah kurangnya perhatian terhadap dampak ekspansi urban skala besar terhadap lingkungan ekologis dan interaksi sosial warga kota. Konsep sub-urban Amerika sekarang malah sudah membengkak tak terkendali menjadi ‘mega-suburban’ . Model ini yang umumnya berdensitas yang
amat rendah namun memakan skala ruang yang amat luas, berakibat negatif terhadap 3 hal: lingkungan alam yang terdesak dan tercemar, kohesi sosial warga kota yang lemah dan jurang kesetaraan ekonomi yang dalam akibat komersialiasi lahan kota.
Dalam konteks urban design, kesadaran akan hal-hal negatif tadi melahirkan beragam konsep baru yang secara umum berada dalam koridor ‘sustainable practice’. Desain kota dengan pendekatan ‘optimized density’, ‘compact city’, ‘walkable neighborhood’, ‘urban growth boundary’ maupun perancangan berbasis transportasi publik atau ‘transit-oriented development'(TOD) telah menjadi pilihan-pilihan baru dalam konsep merancang kota. Pendekatan ini, seperti konsep Richard Rogers untuk Pudong CBD atau desain Tampines New Town di Singapura, umumnya mampu mengurangi ekses negatif ekspansi urban terhadap lingkungan alam, memotivasi interaksi sosial warga di ruang
kota dan meminimalkan komersialisasi lahan kota.
***
Dalam kehidupan kota yang bergerak intens dan dinamis, mutasi atau bahkan evolusi dalam tipologi arsitektur, infrastruktur dan ruang kota sering tidak terasa. Karenanya beragam fenomena kontemporer yang terjadi di kota-kota dunia di luar Indonesia, terutama di Asia, bisa secara arif kita jadikan cermin untuk terus belajar dan berhati-hati, demi masa depan kota-kota di Indonesia yang, mungkin, bisa lebih baik.