Posts Tagged ‘Ridwan Kamil’
10 Mimpi Masa Depan Bandung
“10 Mimpi Masa Depan Bandung”
Oleh : Ridwan Kamil
26 September 2008
Dari tahun ke tahun, Bandung merayakan hari jadinya, selalu ada yang diimpikan namun tak pernah hadir. Yang jarang hadir itu bernama inovasi. Bahkan mungkin sejak kemerdekaan 63 tahun lalu, inovasi-inovasi untuk kepentingan publik Bandung jarang terlihat. Tidak ada stadion olah raga atau gedung konser yang dibanggakan juga tak ada taman kota atau jalur pejalan kaki yang dirindukan.
Jika kita berdiskusi tentang Bandung dengan orang luar, yang diapresiasi umumnya hanya dua hal: energi kreativitas warganya dan kemeriahan wisata belanja. Sisanya adalah komplain tentang kemacetan, ketidaknyamanan, masalah sampah, dan hareudang-nya udara Bandung. Oleh karena itu, merevitalisasi Bandung dengan inovasi kebijakan adalah sebuah kebutuhan.
Padahal berkat semangat inovasi, konsep murah busway Kota Bogota di Colombia ditiru di mana-mana termasuk Jakarta. Karena dorongan inovasi, Kota Boston dipuji karena menghancurkan jalan tol kota untuk dijadikan taman terpanjang di dunia. Dengan energi inovasi, kota kecil Curitiba di Brazil terpuji sebagi kota terbaik sedunia. Untuk itu, inilah saatnya Bandung pun berinovasi. Tidak usah banyak-banyak. Satu saja namun gaungnya mendunia.
Ada sekitar sepuluh ide pembangunan kota yang penulis ingin sampaikan dalam konteks mengembalikan Bandung menjadi kota yang nyaman dan mengangkat Bandung menjadi kota dunia.
[1] , Merancang taman kota senyaman ruang keluarga.
Perbanyak ruang-ruang terbuka hijau dengan memanfaatkan ruang-ruang sisa seperti kolong Pasupati. Atau membeli lahan-lahan pribadi di kampung-kampung padat seperti dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta. Meningkatkan kualitas ruang terbuka hijau menjadi taman aktif yang dirancang dengan baik. Tiap taman dilengkapi dengan keteduhan, tempat duduk senyaman ruang keluarga, fasilitas wi-fi untuk menggoda warga bekerja di ruang luar, menyediakan panggung kecil untuk mengamen , dan kios makan minum kecil.
[2], Merekayasa lalu lintas untuk kenyamanan warga.
Penyediaan jalur sepeda di jalan-jalan utama untuk memotivasi warga mengurangi ketergantungan kepada mobil. Menyediakan kantung atau zona gedung parkir umum yang dikombinasikan dengan kendaraan bus kecil terbuka gratis khusus untuk turis. Menerapkan pajak kemacetan bagi fungsi komersial yang membebani parkirnya ke jalan umum. Bahkan mungkin busway, monorail, atau kereta gantung sebagai alternatif transportasi publik sekaligus daya tarik wisata bisa dipertimbangkan.
[3] Menyediakan bangunan publik modern yang berkualitas.
Sudah saatnya Bandung memiliki gedung konser musik multifungsi yang berkelas. Gelora Saparua bisa menjadi lokasi yang tepat. Puluhan band yang lahir tiap dekade layak mendapat tempat yang baik. Juga Stadion Siliwangi bisa direvitalisasi untuk menghidupi Persib, di mana lantai dasarnya digabungkan fungsinya untuk restoran, ritel, atau fungsi lain. Modernisasi pasar-pasar tradisional di mana pedagangnya tidak disingkirkan malah menjadi pemilik saham projeknya seperti di India. Lawan budaya nongkrong di mal dengan menghadirkan gedung perpustakaan yang modern lengkap dengan kafe, ruang bermain, dan internet gratis.
[4] Mengaplikasikan seni pada elemen kota.
Seni hadir agar nilai-nilai kehidupan bisa kita renungkan. Oleh karena itu, kehadiran instalasi seni di ruang publik seperti di perempatan jalan atau taman kota menjadi penting. Misalnya, hadirnya huruf DAGO raksasa yang permanen di taman Cikapayang atau desain gerbang istimewa di tiap titik masuk ke kota Bandung, seperti gerbang tol Pasteur. Halte-halte kendaraan umum, bisa dirancang dengan tema humoris berbentuk flora atau fauna. Angkot-angkot bisa dihias dengan desain grafis modern seperti kita lihat di Helarfest. Seni membuat hati kita riang, apalagi hadir gratis di ruang publik.
[5] Menyediakan gedung Creative Corner dan Development Center
Untuk energi kreativitas sekelas Kota Bandung, kebutuhan adanya gedung pusat kreativitas warga menjadi krusial. Fasilitas berupa ruang pameran, ruang konferensi, meeting room, maupun ruang-ruang yang bisa disewakan untuk menjual produk-produk kreativitas sangatlah dibutuhkan dan membantu akselerasi ekonomi kreatif di Kota Bandung. Gedung atau ruang maket projek kota dan poster projek-projek pembangunan Kota Bandung (development center) juga penting sebagai perwujudan inovasi transparansi dari pemkot.
[6] Memotivasi kegiatan berjalan kaki untuk kehangatan interaksi sosial.
Kembalikan Bandung sebagai surga pejalan kaki. Karenanya, jalur pedestrian yang lebar, teduh, dan nyaman lengkap dengan street furniture seperti kursi kayu yang hangat atau lampu yang romantis dengan cantelan pot bunga menjuntai seperti di London bisa jadi hal yang menyenangkan. Projek pedestrianisasi di Jalan Tamansari bisa diteruskan sebagai percontohan yang baik untuk ruas-ruas jalan yang lain.
[7] Merayakan kebersamaan dengan keragaman festival.
Festival adalah perayaan identitas. Semakin banyak festival semakin menunjukkan kotanya hangat dalam kebersamaan. Jika mungkin tiap bulan di Bandung ada festival berskala internasional. Festival Bunga di bulan Januari, Festival Dago di Februari, Festival Dunia Islam di Maret, Festival Kreativitas Helarfest di Agustus, dan seterusnya. Orang mendatangi kota karena sejarahnya, keunikan fisik/arsitektur kotanya, dan juga karena acara festival-festivalnya. Seperti Rio Carnaval di Brazil dan Flower Carnaval di Pasadena. Keduanya berkelas dunia.
[8] Mengembalikan Sungai Cikapundung ke fitrahnya.
Sungai Cikapundung adalah saksi zaman. Ia mengalir melewati kisah-kisah sejarah Kota Bandung. Sungai Cikapundung sejatinya adalah ruang terbuka publik. Sudah saatnya, ia dikembalikan dari pembangunan fisik yang merusak akal sehat dan melanggar aturan alam. Revitalisasi sungai di Seoul bisa jadi contoh bagaimana visi dan keberanian wali kota bisa mewujudkan sungai sebagai ruang publik utama. Jika pembebasan lahan di daerah padat masih jadi kendala, 100 m ruas sungai yang masih alami yang dilintasi jalan Siliwangi bisa jadi projek pertama.
[9] Menata wajah kota dari papan reklame yang semrawut.
Susah mencari logikanya bagaimana banyak stuktur reklame raksasa tiba-tiba bisa hadir berdiri di sembarang tempat. Jalur-jalur historis termasuk Jalan Dago sebaiknya dibebaskan dari struktur reklame. Untuk melawan budaya konsumerisme, bisa saja sebulan sekali seluruh papan reklame diwajibkan menayangkan iklan layanan masyarakat yang menggugah akal sehat dan semangat hidup.
[10] Meramahi lingkungan dengan green policy.
Bumi semakin panas. Salah satu penyebab terbesar adalah panas yang dihasilkan bangunan-bangunan di perkotaan. Peraturan kota yang mewajibkan konsep green building harus dihadirkan. Atap datar yang ditanami rumput sangat dianjurkan. Kewajiban menanam minimal satu pohon peneduh untuk satu rumah atau menghijaukan bukit-bukit gundul di utara Bandung bisa membantu menurunkan suhu barang 1-2 derajat dan memperbanyak suplai oksigen. Menanami pohon di seluruh ruas jalan di Bandung harus dilakukan segera. Terutama di wilayah selatan Bandung yang cenderung gersang. Mengganti suplai listrik seluruh lampu penerangan jalan di Bandung dengan energi surya (photovoltaic), seperti di tol Cipularang, juga sudah sangat dimungkinkan.
Demikianlah sejumput udunan ide-ide yang mungkin bisa didengar Pemkot Bandung untuk bisa menjadi sumber ide-ide yang bisa membawa harkat dan citra Bandung menjadi kota yang bermartabat.
Selamat ulang tahun Bandung. Karena hidup adalah udunan
Hidup adalah ‘udunan’
Hidup adalah ‘udunan’
Oleh : Ridwan Kamil
26 September 2008
[1] Kekhawatiran di Sabtu mendung itu akhirnya terjadi juga. Jam 5 sore acara konser musik Bandung Youth Park Fest dihentikan polisi. Alasannya tidak begitu jelas. Seluruh panitia bingung dan panik, terutama sang ketua panitia, Edi Brokoli. Bagaimana tidak, belasan ribu penonton yang datang di lapangan Saparua masih berjubel dan bersemangat, berharap aksi panggung terus berlanjut hingga larut malam. Namun harapan mereka pupus sudah, karena polisi bersikukuh.Panitia dengan keberanian seadanya langsung bergerak menggiring kerumunan massa untuk bubar. Di tengah keriuhan mengamankan itu seorang panitia, Fian, menjadi korban. Ia terjatuh dari pagar pengaman dengan kepala dibawah. Kakinya cedera dan satu telinganya tidak bisa mendengar. Dan di luar dugaan, belasan ribu remaja tanggung itu bubar dengan tertib. Tidak ada kerusuhan.
Acara konser 40-an band yang direncanakan untuk menutup Helarfest, festival terbesar
kreativitas anak muda Bandung, menjadi anti klimaks. Harapan menjadikan hari itu menjadi momen kebangkitan kreativitas musik underground di Bandung pupus sudah. Ada yang merampoknya.
Selidik punya selidik, ternyata sore itu ada orang teramat penting sedang melawat ke kota kembang untuk acara perhelatan perkawinan. Prosedur pengamanan memaksa polisi untuk menghalau kerumunan dalam radius tertentu dari jalur rombongan Presiden Republik ini. Ya betul, karena SBY lewat untuk resepsi, maka acara kreativitas yang disiapkan berbulan-bulan dibubarkan paksa.
Kini Edi dan sahabat-sahabatnya harus menanggung rugi moril materil. Padahal acara yang tidak bersponsor ini didanai dari hasil pinjaman dan saweran (bahasa Sunda = uduna) para pekerja kreatif Bandung. Ada pinjaman uang pribadi dan orang tua. Ada sisihan uang nonton dan pacaran. Ada pinjaman tanpa bunga dari kas beragam perusahaan kreatif. Bahkan, ada yang rela melego motor Harley Davidson kesayangannya untuk dijadikan agunan. Bubarnya acara sebelum waktunya ini mengakibatkan panitia dililit hutang beberapa ratus juta rupiah yang tidak semestinya.
Prosedur paranoid keamanan di negeri keruh ini ternyata telah merampok energi kreativitas dan memutus keriangan ribuan hati. Menyakitkan dan mengiris hati.
***
[2] Saweran dalam bentuk urun rembuk ide, waktu dan uang adalah semangat `survival’ para pekerja kreatif di Tatar Parayangan ini. Komunitas musik cadas di Bandung yang menyelenggarakan konser Death Fest 3 yang diemohi sponsor adalah contohnya. Tidak ada bantuan pemerintah dan sponsor, masyarakat umum pun bergerak membantu. Pak Yusep, pedagang beras di pasar Guntur di Garut, ikhlas menyisihkan keuntungan jualan berasnya untuk konser kreatif ini. “Ini buat bantu-bantu biaya sound system,” ujarnya. Di minggu yang sama, komunitas Arsitektur juga menunjukan solidaritasnya dengan menyisihkan sebagian uang sponsor seminar arsitektur untuk membantu komunitas Death Metal yang jumlahnya 30-an ini (sebuah jumlah yang melebihi Jepang atau Amerika yang hanya belasan).
Acara-acara kreatif anak muda Bandung dalam payung Helarfest yang berjumlah 31 acara ini umumnya dilaksanakan dengan modal seadanya. Namun kebersamaan alhamdulillah mengalahkan keputusasaan. Bantuan dana dari pemerintah yang diharapkan hadir ternyata hampir semuanya meleset. Dana bantuan resmi dari Pemerintah Kota Bandung ternyata baru akan diusahakan cair bulan Oktober depan. Janji Gubernur Jawa Barat yang baru pun, ternyata nol besar. “Kasnya kosong,” kilah bendaharanya. Satu-satunya bantuan dating dari Menteri Mari Pangestu, itu pun baru dibayarkan setengahnya dan datang di saat acara Helarfest sudah selesai.
Namun kesuksesan hidup harus dimulai dari kegigihan, bukan dengan keluhan. Dengan segala kekurangannya, Helarfest berhasil menorehkan psikologis positif bagi masyarakat kota Bandung. Dibalik berita-berita negatif tentang Bandung (macet, sampah, kualitas lingkungan), isu kreativitas dan Helarfest ternyata menjadi satu-satunya berita baik (Kompas, sabtu 4/9).
Selamat datang di negeri ironi. Helarfest yang menyumbang pergerakan ekonomi kota Bandung selama satu setengah bulan sampai 100 milyar ini, harus berakhir dengan berhutang karena ada rombongan sang maha penting lewat di jalan sebelah. Ironi adalah sarapan pagi kita di negeri sejuta koruptor ini.
Minggu iniadalah minggu-minggu melelahkan bagi Edi Brokoli dan para sahabatnya di Bandung Creative City Forum (BCCF). Barisan dirapatkan untuk bekerja keras mengembalikan hutang dan pinjaman yang cukup besar. Jika anda punya ide kreatif atau tangan terulur untuk membantu, silakan kontak mantan VJ kribo di MTV ini di 0817832346. Karena hidup adalah kebersamaan.
Tulisan ini didedikasikan untuk puluhan Pak Yusep, pedagang beras di pasar Guntur, juga untuk puluhan Fian yang terpincang berkorban untuk sebuah mimpi bersama. 700 kata ini diguratkan untuk api semangat generasi muda Bandung yang tidak boleh padam dan jiwa kreativitas yang tidak boleh mati.
Karena hidup adalah udunan
Bersaing Global dengan Ekonomi Kreatif
“Bersaing Global dengan Ekonomi Kreatif”
Oleh : Ridwan Kamil
27 September 2008
Di sore yang dingin di sebuah kafe di jalan Dago Bandung, seorang anak muda bercelana pendek terlihat serius menatap layar laptop miliknya. Sesekali tangan kanannya memegang cangkir kopi untuk ia teguk. Sore itu ia tidak sedang bermain. Ia sedang bekerja mengirim program-program yang ia desain ke Google di Amerika. Untuk itu ia dibayar sangat mahal setiap bulannya.
Dunia memang sedang berubah. Keterpisahan oleh jarak dan waktu tidak lagi menjadi masalah bagi orang-orang yang bekerja di industri kreatif. Industri kreatif umumnya melahirkan inovasi-inovasi yang layak dipatenkan. Karenanya orang-orang yang bekerja di dunia penelitian sains dan teknologi, arsitek, desainer produk/mebel, desainer grafis, pemusik dan seniman adalah bagian dari keluarga besar ekonomi kreatif.
Pergeseran orientasi ekonomi dunia dari ekonomi Fordist ke post-Fordist yang mengedepankan aset sumber daya manusia, telah menyebabkan persaingan luar biasa dalam merebut dan merayu talenta-talenta di dunia kreatif ini. Masa depan ekonomi dunia berada di pundak orang-orang kreatif yang mampu menyulap pengetahuan dan kreativitas menjadi inovasi yang melahirkan mesin ekonomi yang luar biasa. Ekonomi kreatif atau ‘creative economy’ ini sempat diwacanakan oleh ekonom John Howkins: “The Creative Economy: How People Make Money from Ideas” (2001)” dan Richard Florida: “The Rise of Creative Class (2002)”
Dan kota-kota dunia pun berlomba-lomba merayu para talenta ini. Atau diistilahkan Florida sebagai fenomena ‘global competition of talents.’ Itulah sebabnya Silicon Valley keluar sebagai pemenang. Itulah sebabnya kota-kota di Inggris dan Belanda beralih dari ekonomi berbasis industri menjadi ekonomi kreatif sebagai basis masa depan. Di Amerika mereka menempati 30 persen jumlah total pekerja. Di Inggris mereka menghasilkan pergerakan ekonomi senilai 112 milyar Poundsterling. Di Singapura, tahun 2005 diluncurkan gerakan ekonomi kreatif dengan tema Design Singapore, Media 21 dan Rennaisance City 2.0
Bagaimana dengan kita?
Koridor Ekonomi Kreatif Bandung-Cilegon
Jika kita lihat resep sukses Silicon Valley, yang distilahkan Florida dengan rumus tiga T (talent, technology & tolerance), dimana nyamannya kota San Jose dengan segala fasilitas kelas dunianya bersatu dengan ribuan talenta berbakat dan jenius. Hadirnya institusi pendidikan sekelas Stanford, UC berkeley atau Caltech bersatu dengan matangnya sistemventure capital yang suportif, kita di Indonesia pun sebenarnya memiliki peluang itu. Terutama di koridor urban Bandung-Cilegon.
Dari Bandung sampai Cilegon, seperti diteliti Budi Rahardjo, sebenarnya terbentang sebuah kawasan koridor urban yang berpotensi luar biasa besar namun tidak tergali secara optimal dalam merespon ekonomi kreatif ini. Di koridor ini bertebaran institusi pendidikan berkelas mulai dari ITB, Unpar, Unpad, UI, Untar, Trisakti sampai UPH di Karawaci yang memiliki pusat-pusat riset yang karya dan hasilnya belum tersalurkan menjadi peluang-peluang ekonomi bernilai luar biasa.
Di koridor sepanjang 250 km ini, banyak tersembunyi pekerja ekonomi kreatif di Indonesia yang diam-diam bisnisnya telah mendunia. Leo Theosabarata dengan karya kursi Accupunto; Sibarani Sofyan seorang urban designer muda yang karya-karyanya bertebaran di Malaysia, Cina dan Dubai; Christiawan Lie, komikus ‘GI Joe’ yang naik daun di Amerika; Budi Pradono dan Antoni Liu, arsitek muda yang proyeknya banyak di luar Indonesia dan Castle Production di Pasar Baru Jakarta yang menghasilkan animasi kelas dunia. (kompas 27/10)
Di koridor ini pula bertaburan manufaktur, pusat riset dan perusahaan teknologi yang yang sebenarnya bisa disatukan visinya dalam merespon peluang ekonomi baru ini. Di jalur Jakarta-Cilegon banyak terdapat industri injection moulding plastic dan light metal. Di ruas Bekasi-Cikampek terdapat belasan manufaktur keramik, kaca, metal dan bahan-bahan bangunan lainnya.
Di Bandung terdapat pusat-pusat riset teknologi seperti LIPI, Pusat mikroelektronika, RISTI, MDIC, Eckman Center, Batan dan Microsoft Innovation Center at ITB. Di kota kreatif ini pula terdapat perusahaan teknologi seperti Omedata semikonduktor, LEN, INTI, CMI telkom, Harif Tunggal telekomunikasi, Daya Engineering, Quasar telekom dan PT Dirgantara.
Di ibukota Jawa Barat ini, peluang-peluang ekonomi kreatif berbasis gaya hidup atau lifestyle tumbuh subur. Factory Outlet hadir dengan omset milyaran rupiah perbulan. Industri Distro (distribution store) anak muda Bandung naik daun dengan desain clothing unik dengan pertumbuhan yang cepat. Di kawasan Binong Jati terdapat ‘home industry’ yang berjumlah 350 buah dengan 10,000 pekerja yang menelurkan omset 20 milyar pertahun.
Suasana kreatif dan alam yang unik di tatar Parahyangan ini membuat industri musik pun berkembang. Grup musik terkenal seperti Peterpan, Seurieus, Mocca, Laluna, PAS, Rif, Elfa, Krakatau hadir berbarengan dengan puluhan grup musik Indie. Galeri-galeri seni tumbuh pesat di Bandung, seperti Galeri Barli, Galeri Sumarja, Galeri Jehan, Galeri Padi, Nyoman Nuarta Art Space, Selasar Sunaryo dengan kegiatan seni internasional yang menjadi agenda rutinnya.
Jakarta pun bertebaran potensi-potensi ekonomi kreatif yang sangat besar. Dengan 3000 restoran, 40 shopping mall, 60 bioskop, Jakarta menarik 60 persen aktivitas industri kreatif Indonesia. Industri busana atau fashion yang berkelas internasional banyak hadir disini. Iwan Tirta, Sebastian Gunawan dan Oscar Lawata adalah contohnya. Di Jakarta juga kita bisa temui kesuksesan Warwick Purser Livestyle atau Chamdani sebagai merek lokal untuk mebel dan perangkat interior yang bernilai jual tinggi yang menggabungkan desain berkualitas tinggi dengan semangat kewirausahaan yang kuat, sesuai dengan spirit ‘good design is good business.’ Selain itu para pekerja industri grafis, animasi, penulis dan dunia percetakan pun sebagian besar beraktivitas di Jakarta.
Di Jakarta pula tentunya hampir seluruh institusi keuangan dan perbankan nasional dan internasional melakukan aktivitas bisnisnya. Tinggal diwacanakan saja agar industri kreatif ini, dari bidang teknologi sampai desain furnitur, mulai dilirik secara serius oleh venture capital lokal seperti halnya keberhasilan industri kreatif di Inggris dan California.
Menyatukan potensi
Tugas kita sebagai generasi yang hidup di awal milenium ini adalah menyiapkan infrastruktur ekonomi kreatif secara matang. Kita harus menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah yang kondusif bagi orang-orang kreatif yang cenderung dengan mudahnya beripindah lokasi ke kota-kota di dunia yang lebih siap menerima eksistesi mereka.
Kita juga harus menyiapkan kota-kota kita untuk nyaman, melek desain dan berwawasan teknologi. Gaya hidup para talenta industri kreatif yang umumnya kosmopolitan harus difasilitasi, sehingga talenta internasional pun mau datang, hidup dan berbisnis di Indonesia. Karena pada dasarnya para talenta kreatif akan memilih tempat seperti Silicon Valley atau London yang menyediakan gaya hidup kosmopolitan, toleran, kondusif terhadap ide-ide baru, menghargai kebebasan individu dan hadirnya pemerintahan yang transparan.
Desain dan arsitektur harus dipandang sebagai bagian dari nilai tambah yang membuat ekonomi kota lebih kuat. Seperti halnya kota Bilbao di Spanyol dengan Museum Guggenheim yang baru dibuka tahun 1997. Setelah ia berdiri, karena publikasi yang mendunia, sekitar empat jutaan pelancong datang ke kota tersebut hanya untuk melihat keunikan museum yang dirancang oleh arsitek Frank Gehry. Bayangkan, jutaan pelancong itulah yang membawa devisa 14 trilyun rupiah ke kota industri di Spanyol ini.
Hal terakhir yang tak kalah penting adalah melakukan jejaring antar elemen industri kreatif ini secara mendasar. Langkah awal sudah dilakukan oleh komunitas Indonesia Design Power (IDP), yang dimotori Irvan Noe’man, yang membantu Kementerian Perdagangan dalam mereposisi produk-produk Indonesia siap ekspor dengan desain. Penguatan jejaring atau networking adalah pekerjaan rumah terberat kita saat ini.
Potensi kita sudah ada. Kawasan Bandung-Cilegon yang membentang merupakan satu dari sekian kawasan yang sudah siap untuk dijadikan basis gerakan ekonomi kreatif Indonesia. Eksistensi ribuan talenta-talenta kreatif, institusi keuangan, lembaga pendidikan/riset berkelas dan kawasan/gaya hidup kosmopolitan, semuanya sudah hadir. Mereka sedang menunggu tangan maha kuat untuk menyatukan potensi ini menjadi kekuatan ekonomi yang luar biasa. Sudah saatnya juga kita tidak menjual citra sebagai negara penyedia buruh murah tapi negara penyedia talenta kreatif kelas dunia
Kalau tidak sekarang, kapan lagi kita mulai bersiap mengejar ratusan trilyun rupiah sumbangan dari industri kreatif ala Inggris? Mari kita mulai bergerak hari ini untuk menjadikan ekonomi kreatif yang berbasis ‘human capital’ ini sebagai penyelamat masa depan Indonesia.
Menyelamatkan peradaban dengan desain
[1]
Seorang ibu tua gemuk dalam wajah yang lelah terlihat menenteng sebuah
kursi. Ia sumringah tersenyum puas. Antriannya selama berjam-jam dalam
panas terik tidaklah sia-sia. Sebuah kursi cantik, karya desainer
furnitur Inggris terkenal Tom Dixon, ia dapatkan dengan gratis. Hari
itu, dalam rangka London Design Festival, Tom Dixon membagi-bagikan
ratusan kursi karyanya gratis kepada publik. Setelah dipamerkan
seharian dalam bentuk seni instalasi di ruang luar, hanya dalam tempo
15 menitan ratusan kursinya ludes diambil para pengantri.
Itulah salah satu cara Inggris mempopulerkan wacana desain. Desain
menjadi kata yang sangat populer minggu itu. Pada pertengahan
september lalu seluruh London seperti kerasukan wacana desain dengan
adanya London Design Festival. Festival ini menyelenggarakan pameran
karya-karya desainer muda, open house gedung-gedung privat untuk
dikunjungi umum, eksebisi kelas dunia untuk dunia interior, material-
material bangunan, ceramah umum desainer kelas dunia, seminar dan lain
sebagainya.
Inggris punya alasan. Ia bermimpi untuk menjadi pusat desain dan
arsitektur dunia. Untuk visi itu, maka masyarakatnya harus dididik
untuk melek desain. Desain harus menjadi keseharian. Wacana`good
design is good business’ harus menjadi kebutuhan. Padahal di Inggris
15 tahun lalu wacana desain tidaklah menjadi hal krusial. Namun
sekarang, belasan majalah desain, arsitektur dan lifestyle memenuhi
rak-rak toko buku, acara-acara yang meliput kegiatan desain grafis,
iklan, furnitur sampai arsitektur menjadi hal yang umum.
“Jangan meremehkan mukjizat desain!” ujar Sir Terence Conran, seorang
entrepreneur legendaris di dunia desain. “Desain mampu melipatgandakan
nilai ekonomi sebuah objek”, lanjutnya. Ia mengungkapkan bahwa sebuah
kursi dengan harga produksi sebesar seratus dollar bisa dijual ribuan
dollar hanya karena keunikan desainnya, ungkap pemilik retail Habitat
dan Conran Store ini. Pesannya sangatlah jelas. Tanpa desain tidak ada
nilai tambah.
Museum Guggenheim di kota Bilbao Spanyol adalah contoh klasik dalam
konteks di atas untuk kategori arsitektur. Setelah ia berdiri, karena
publikasi yang mendunia, sekitar empat jutaan pelancong datang ke kota
tersebut hanya untuk melihat keunikan museum yang dirancang oleh
arsitek Frank Gehry. Bayangkan, jutaan pelancong itulah yang membawa
devisa 14 trilyun rupiah ke kota industri di Spanyol ini. Maka tak
heran jika “The Bilbao Effect” menjadi impian para walikota kota-kota
di Eropa sana.
[2]
“Masa depan dunia adalah ekonomi kreatif,” ungkap Richard Florida,
sosiolog dari Amerika. Ia menyiratkan bahwa siapa pun yang memiliki
bakat (talent), jejaring (network) dan kewirausahaan yang inovatif
(entrepreneurship) dialah yang akan memenangkan persaingan global di
masa depan. Dan industri desain, dari desain grafis sampai
arsitektur, adalah salah satu motor gerakan ekonomi kreatif atau
populer juga dengan istilah `knowledge economy’.
Karenanya tetangga kita Singapura, yang selalu panik mereposisi
perannya di percaturan ekonomi global, melihat peluang ini juga secara
serius.Singapura berambisi menjadi pusat ekonomi kreatif di Asia.
Perdana Menteri Lee Hsien Long tahun 2005 meluncurkan tiga gerakan
nasional: Design Singapore, Media 21 dan Rennaisance City 2.0. Mereka
berharap sumbangan bagi pertumbuhan ekonominya akan tumbuh dua kali
lipat selama tujuh tahun dari tiga industri kreatif tadi.
“Knowledge is power,” sabda filsuf Francis Bacon. Dan Inggris pun
menterjemahkan filosofi itu dalam bentuk reposisi sistem ekonomi yang
merespons peluang ekonomi kreatif ini. Kota-kota industri seperti
Birmingham, Glasgow, Brighton atau NewCastle perlahan-lahan sudah
mulai meninggalkan ketergantungan pada ekonomi berbasis industri. Kota-
kota ini mulai menggiring iklim ekonominya ke arah ekonomi kreatif
dan aktivitas industri desain sebagai tulang punggungnya. Ekonomi
kreatif adalah rumah barunya, dan desain adalah kunci pintunya.
Dunia akademik, swasta, LSM dan pemerintah terlihat bersepakat untuk
kompak. Kawasan-kawasan kota yang mati diregenerasi lagi untuk menjadi
tempat berkiprah para pemula (start-up) di industri kreatif. Insentif
ekonomi diperbesar. Hasilnya pun luar biasa. Pertumbuhan ekonomi
kreatif ini hampir 3 kali lipat dari pertumbuhan ekonomi nasionalnya.
Ekspor dari ekonomi kreatif ini sebesar 15 %. Lebih besar dari ekspor
ekonomi jasa sebesar 7% atau ekspor ekonomi umum lainnya yang hanya 4%.
[3]
“Saya suka London karena toleransi, keragaman budaya dan kemudahan
infrastruktur bagi desainer pemula,” ungkap Sebastian Noel, desainer
produk berbasis teknologi dari sebuah perusahaan bernama Troika.
Troika adalah firma pemula yang mempunyai visi mengawinkan teknologi
terapan dan desain untuk kepentingan publik. Di kota ini ia dengan
mudah bisa menghubungi institusi Creative London jika butuh bantuan
untuk mencari partner bisnis. Tinggal mampir ke London Design Council
jika butuh nasihat-nasihat teknis dan bank data pabrik manufaktur
yang bisa mewujudkan ide-ide kreatifnya. Di acara London Design
Festival ia pergunakan untuk memamerkan karya-karya terbarunya ke
masyarakat. Dan puluhan firma pemula ala Troika pun menjamur subur di
London
London memang istimewa. Setiap tahun di bulan September, selama dua
minggu digelar belasan acara yang berhubungan dengan desain. Ada open
house firma-firma desain/arsitektur, open house gedung-gedung unik
yang sehari-hari tertutup untuk publik. Ada acara 100% DESIGN tempat
para desainer dari 30-an negara memamerkan karya-karya terbarunya,
acara 100% LIGHT dan 100% MATERIAL untuk pameran teknologi lampu dan
material terbaru. Seluruh masyarakat London pun terkena deman desain.
Kesiapan infrastruktur desain ini terkesan merata hadir di kota-kota
lain di Inggris. Di Glasgow terdapat gedung tua karya Charles Rennie
Mackintosh sebagai tempat bernaung organisasi desain bernama
Lighthouse. Sebuah one-stop design center. Di gedung 5 lantai ini
dihadirkan galeri-galeri tempat pameran karya para desainer/arsitek
museum desain, restoran/kafe, ruang pertemuan yang disewakan, retail
desain dan kantor-kantor firma desain.
Di sini pula didirikan departemen Creative Entrepreneurs Club (CEC),
sebuah wadah serius tempat memotivasi dan melatih para desainer pemula
untuk berani mengembangkan bisnis desainnya dengan serius dan
mengglobal. Menariknya wadah ini membuka diri untuk menerima anggota
diri seluruh penjuru dunia.
[4]
Bagaimana dengan Indonesia?
Tahukan anda, bahwa di Indonesia bertebaran para desainer, arsitek dan
pekerja ekonomi kreatif lainnya yang sangat berbakat dan bedeterminasi
tinggi. Leo Theosabarata dengan karya kursi Accupunto; Castle
Production di Pasar Baru Jakarta yang menghasilkan animasi kelas dunia
Carlos the Catterpilar dan The Jim Elliot Story; Sibarani Sofyan
seorang urban designer muda yang karya-karyanya bertebaran di
Malaysia, Cina dan Dubai; Christiawan Lie, komikus GI Joe yang naik
daun di Amerika, Budi Pradono, arsitek muda yang mendapatkan
penghargaan Architectural Review. Dan masih banyak lagi yang
tersembunyi bergerilya mendunia dengan karya-karyanya tanpa kita tahu.
Salah satu masalah kita ada ketidakhadiran infrastruktur dunia desain.
Semua kelompok dalam industri desain, mulai dari dunia grafis sampai
arsitektur tercerai berai bergerak sendiri-sendiri. Tidak ada visi
bersama untuk arah jangka panjang yang jelas. Di luar negeri pun
Indonesia tidak punya reputasi atau `brand image’ yang kuat untuk
produk-produknya. Hal ini diperparah dimana pemerintah pun belum
melihat desain dan ekonomi kreatif sebagai prioritas. Sangat khas
Indonesia. Atau dengan istilah Florida, Indonesia itu penuh memiliki
bakat (talent) kelas dunia tetapi tidak memiliki jejaring (network)
dan kewirausahaan yang inovatif (entrepreneurship).
Sudah umum jika kita mendengar bahwa banyak para desainer yang
kebingungan mencari manufaktur yang bisa membantu mewujudkan idea-
idenya briliannya yang mungkin berpotensi bisnis milyaran rupiah.
Banyak arsitek muda yang kebingungan bagaimana memulai bisnis desain
dan menetukan fee desain. Para desainer juga sering kesulitan untuk
mencari modal ke Bank karena sering ditolak karena tidak punya fixed
asset kecuali ide-ide kreatifnya.
Tidak seperti di Skotlandia dengan Lighthouse atau Thailand dengan
Thailand Design Center (TDC), ketiadaan infrastruktur industri desain
di negeri kita, akhirnya melunturkan semangat `entrepreneurship’ dari
para desainer muda berbakat. Jangan heran jika terjadi yang dinamakan
Richard Florida sebagai `The Flight of Creative Class’, dimana para
manusia-manusia berbakat akhirnya mengungsi ke luar negeri yang lebih
kondusif.
Bayangkan jika seluruh desainer dari seluruh industri desain
bersepakat untuk menjadikan desain dan ekonomi kreatif sebagai
lokomotif ekonomi Indonesa di masa depan. Bayangkan jika ide-ide
kreatif yang brilian selalu bertemu dengan nafas semangat
kewirausahaan. Di Inggris, perkawinan inilah yang menghasilkan nilai
ekonomi sebesar 28 milyar poundstering untuk industri desain dan
arsitektur dan 112 milyar Poundsterling keseluruhan ekonomi kreatif.
Seperti yang pernah diwacanakan oleh Nigel Cross, bahwa peradaban
manusia berkembang dengan kemajuan tiga ranah keilmuan: Sains
(kebenaran), Humaniora (keadilan), dan Desain (kecocokan). Karenanya
kapan lagi kita bergerak bersama mewujudkan Indonesia yang lebih
makmur melalui desain dan reputasi global yang lebih baik jika tidak
sekarang.
Mari kita selamatkan peradaban dengan Desain. Setidaknya untuk anak
cucu kita.
Desain Urban sebagai Alat Kolonialisme
“Desain Urban sebagai Alat Kolonialisme”
Oleh : Ridwan Kamil
27 September 2008
LORONG-LORONG itu terasa sempit, gelap dan becek. Ujungnya pun selalu hilang dipeluk kelokan-kelokan yang meliuk. Hilang orientasi terasa begitu menakutkan, salah arah terasa begitu mencemaskan. Menelusuri kota tua ini bak beradu nasib di dalam permainan labirin yang tak berujung pangkal. Gampang masuk, susah keluar.
Kefrustasian itulah yang menyergap serdadu-serdadu Perancis ketika berkejar-kejaran dengan para pejuang muslim di Casbah, Algeria. Derap langkah sepatu lars mereka selalu menjadi tertatih-tatih dan perlahan ketika memasuki lorong-lorong kota tua tempat dahulu bajak laut terkenal Barbarossa ini bermukim. Naluri berorientasi atau mental map serdadu-serdadu kulit putih ini serasa mati kutu ketika bertemu dengan pola organik kota muslim tua ini.
Kefrustasian para serdadu perancis adalah tawa kemenangan bagi pejuang Casbah. Bagi mereka, kelokan-kelokan jalan di kota tua ini begitu sempurna bagi penyusupan dan strategi gerilya. Secepat kilat mereka menyerang pasukan penjajah Perancis, secepat itu pula mereka lenyap ditelan bumi Casbah. Artileri-artileri modern pasukan Perancis pun terdiam, tak berkutik dan tertahan diujung jalan.
Di tahun 1958, penguasa kolonial Perancis akhirnya sampai pada satu kesimpulan. Untuk menumpas gerakan gerilyawan ini, struktur kota Casbah haruslah dihancurkan atau minimal dikikis perlahan-perlahan. Maka diundanglah para arsitek aliran Modern dari Perancis untuk mendesain struktur baru di batas kota dengan pola grid, lengkap dengan boulevard lebar-lebar ala kota Paris. Kawasan baru ini kemudian dihuni oleh ras kulit putih, sementara ribuan warga asli diusir paksa ke luar untuk menempati pemukiman baru sejauh 10 kilometer dari Casbah dengan pola desain urban yang sama untuk memudahkan pengontrolan.
Dengan pola morfologi kota yang baru ini, penguasa Perancis mengharapkan kota Casbah tradisional bisa dimatikan secara sosial, ekonomi maupun politik. Mereka kemudian menargetkan minimal 50 persen penduduk muslim asli harus terusir dari kota yang dulu bernama Icosum ini. Icosum konon adalah sebuah pusat perdagangan kuno di Mediterania yang konon didirikan sosok mitologi Hercules.
***
SELAIN dipakai sebagai jerat kontrol terhadap lingkungan binaan kaum terjajah, praktek desain urban juga sering diboncengi sebagai media yang jitu untuk mengekspresikan hegemoni kaum kolonial. Fenomena ini terlihat jelas jika kita membaca morfologi kota Delhi di India. Morfologi kota lama atau Old Delhi yang sumpek dan super padat terlihat begitu kontrasnya dengan morfologi kota baru atau New Delhi yang lapang dan lega rancangan para arsitek kolonial Inggris.
Pengap, gelap, kotor dan bau adalah aliran nafas yang biasa dihirup etnis pribumi India dalam keseharian di Old Delhi. 8 sampai 12 anggota keluarga telah terbiasa dan rela berbagi ruang untuk sekadar berteduh di hunian sempit yang rata-rata beralaskan tanah merah ini. Ironisnya, hanya beberapa ratus meter dari mereka, puluhan kapling-kapling luas untuk tipologi rumah kebun yang berkepadatan rendah begitu mendominasi kawasan New Delhi yang rata-rata dihuni etnis kulit putih.
Segregasi etnis dan pendekatan mono-neighborhood sebagai konsep zoning di Delhi ini juga dipertegas dengan keberadaan ruang terbuka yang begitu luasnya sebagai wilayah penyangga. Ruang terbuka yang rata-rata selebar lapangan bola Senayan ini juga dirancang pihak kolonial Inggris sebagai ruang pertahanan yang strategis jika terjadi pemberontakan pihak pribumi dari Old Delhi.
Begitu kuatnya aroma hegemoni kolonial di India, sampai-sampai keberadaan produk-produk desain urban paksaan kaum kolonial atau Barat pun dijadikan tolak ukur kemajuan budaya mengkota mereka. Di tahun 1951, desain urban untuk Chandigarh sebagai ibukota Punjab pun diserahkan kepada pelopor arsitekur Modern yaitu Le Corbusier. Rasa inferior pribumi India ini begitu kental ketika mereka mengamini tudingan Corbusier bahwa India tidak punya warisan urbanitas yang baik untuk dijadikan referensi. Mereka juga pasrah saja ketika dirayu bahwa arsitektur Modern-lah yang bisa menjadi identitas baru India. Namun India kemudian harus membayar mahal ketika sejarah akhirnya membuktikan bahwa Chandigarh ternyata malah dijadikan sebagai salah satu contoh dari kegagalan gerakan arsitektur Modern.
Di Indonesia sendiri ketika era kolonialisme Belanda, jerat kontrol melalui desain urban ini juga muncul sejak awal abad ke-19. Menurut Bagoes P. Wiryomartono, konsep segregasi etnis antara pribumi dan kulit putih Belanda di Indonesia biasanya diperhalus dengan penempatan daerah transisi berupa kampung-kampung yang dihuni oleh etnis Cina, Arab maupun India. Namun, di kota-kota dengan pusat kekuasaan tradisional seperti halnya Yogyakarta, Surakarta ataupun Cirebon, pola segregasi etnis ini tidaklah begitu terlihat.
***
Menurut sejarawan Michele Lamprakos, sejarah kolonialisme dalam konteks kota dan arsitektur ini memang biasanya menyeret para arsitek untuk ikut menjadi agen kolonialisme aktif di negara-negara terjajah. Visi-visi radikal seringkali ditancapkan para arsitek dengan tujuan agar fisik kota dan arsitektur rancangan mereka bisa terbawa ke masa depan sebagai artefak dan simbol hegemoni kaum kolonialis.
Visi-visi radikal ini bisa terlihat jelas pada desain urban kota Mexico City yang dibangun ulang setelah kotanya dihancurkan. Terbaca pada desain urban berkepadatan rendah Kota New Delhi yang berdampingan dengan slum padat di Old Delhi. Terekam pada pemisahan zoning antara kaum koloni baru dan penduduk asli diawal pendirian kota New York. Terlihat juga pada pelarangan pembangunan lingkungan binaan kecuali untuk kaum koloni Inggris di Sydney, Australia.
Contoh-contoh diatas, menurut sejarawan P.J. Taylor, merupakan kelaziman dari perencanaan kota-kota di dunia baru yang terjadi pada rentang waktu antara tahun 1500 sampai 1950. Pada awal-awal penaklukan dunia baru ini, menurut sejarawan Anthony King, kaum kolonialis biasanya selalu memandang dan membelah dunia ini menjadi dua strata. Strata pertama adalah masyarakat berkulit putih, berbudaya maju, beragama Kristen, dan berasal dari daratan Eropa yang dulu sempat disebut ‘Western Christendom’. Sedangkan masyarakat terbelakang, kulit berwarna, penganut non-Kristen, dan negeri-negeri di luar daratan Eropa dilecehkan sebagai strata lapis kedua. Dengan cara pandang inilah mereka kemudian melakukan pembenaran atas nafsu kolonialnya.
Misi mereka di dunia baru juga sering mereka sebut sebagai misi memberadabkan uncivilized culture. Bahkan terkadang misi suci agama pun sering dibonceng sebagai alat justifikasi dalam pemberangusan budaya maupun pengurasan kekayaan alam negeri-negeri jajahan. Berbagai cara seringkali mereka halalkan termasuk melalui represi militer, desain urban, politik adu domba, pembelokan sejarah maupun pengontrolan psikologis kaum terjajah melalui konsepsi orientalisme.
Konsepsi orientalisme sendiri yang menurut Edward Said merupakan kerangka psikologis dalam memahami emansipasi dan pola pikir bangsa terjajah, ternyata malah diselewengkan oleh para kaum kolonialis. Orientalisme ini kemudian sering digunakan sebagai metoda terakhir untuk menyempurnakan penaklukan peradaban dan kebudayaan kaum tersubjugasi, seperti halnya kasus Snouck Hurgronje di Aceh atau kasus William Jones di India
Di pasca kemerdekan di dunia ketiga pun, aroma kolonialisme ini masih begitu terasa walaupun sudah berubah bentuk. Menurut King yang mengutip F. Jameson, kolonialisme terhadap negara ketiga di pasca kolonial ini tetaplah eksis menjadi wajah baru dengan istilah yang ia sebut sebagai imperialist capitalism. Kekuatan besar kapital dari Barat di pasca kolonial ini memang secara implisit menyeret kembali para arsitek dan perancang kota untuk menjadi agen aktif dari kolonialisme jenis baru ini.
Dengan kekuatan kapital ini, biasanya negara-negara Barat bisa seenaknya menyetir wujud fisik lingkungan binaaan di dunia ketiga yang terkadang hanyalah menjadi misi pelebaran pangsa pasar produk-produk mereka juga. Permukiman sub-urban yang membengkak tidak terkontrol di Jakarta adalah salah satu contohnya. Sehingga terkesan bahwa bermukim yang ideal itu selalu identik dengan tinggal di sub-urban. Padahal banyak sekali alternatif-alternatif budaya bermukim lainnya yang belum pernah dielaborasi secara mendalam untuk mengakomodasi tekanan dahsyat dari urbanisasi demografi. Konsep budaya bermukim mixed-use di kota yang efisien seperti halnya di daerah Pecinan, kemudian terlihat mulai punah ditelan gaya hidup rekaan masyarakat Barat tersebut.
Mudah-mudahan sejalan dengan bertambahnya usia republik ini, bertambah pula kearifan nurani kita untuk tidak gampang terjebak dengan lilitan kolonialisme kapital tersebut. Semoga pula kita bisa dengan jernih mengambil hikmah dari sejarah kolonialisme kota-kota dunia untuk memperkaya kita dalam mencari wujud lingkungan binaan yang demokratis, humanis dan cocok menurut ukuran kita, bukan ukuran mereka.
Bius gaya hidup pada lingkungan binaan di jaman Orde Baru memang sering melenakan kita. Mimpi indah dan mimpi buruk seringkali bertukar tempat tanpa kita sadari. Mungkin bagi kaum marjinal saat ini, ketimpangan sosial yang mereka warisi dari era tersebut seolah tidak ada bedanya dengan penderitaan keseharian kakek nenek mereka di jaman kolonialisme Belanda dulu. Bahkan seperti Gus Dur bilang, bahwa sebenarnya bangsa Indonesia ini -pada momen reformasi 1998 lalu- baru mungkin baru memulai kemerdekaannya.
Dirgahayu Indonesia
Merebut ruang yang hilang
“Merebut ruang yang hilang”
Oleh : Ridwan Kamil
27 September 2008
Kota sebagai Ruang Publik
Kota adalah simbol peradaban. Tinggi rendahnya sebuah peradaban manusia bisa dilihat dari takaran kompleksitas fisik dan struktur sosial sebuah kota. “City air makes you free,” cetus pepatah Jerman kuno. Ini karena kota adalah artefak terbesar dari aspirasi budaya manusia. Tempat mimpi beradu dan ambisi hidup bebas bersaing.
Kekayaan peradaban Barat yang lahir di Yunani kuno pun berasal dari dinamika kota atauPolis di Athena. Di sana, kualitas spasial dan organisasi sosial umumnya hadir di ruang-ruang publik. Teater, stadium, kuil peribadatan sampai Agora (pasar yang juga berfungsi sebagi forum publik) adalah tipologi-tipologi fungsi yang hadir untuk merespon pentingnya ruang publik.
Pentingnya kota sebagai wajah peradaban bisa dilihat bagaimana masyarakat Romawi Kuno memberikan istilah untuk kota berkala besar (civis atau city) dengan kota berskala kecil(urbs atau town). Dari konsep ’civis’ inilah lahir kata ’civil’ dan ’civilized’ yang bermakna beradab. Konsep ini sengaja untuk membedakan perilaku warga kota dengan perilaku kaum pedalaman atau ’country side’ yang cenderung dianggap kurang beradab (uncivilized). Sama halnya dengan ungkapan ’urbane’ yang berlaku untuk konteks komunitas di kota kecil Romawi. Sementara padanan kata ’kota’ sendiri terlahir dari kata ’kuta’ atau ’karta’. Seperti terdapat pada Kartasura, Kota Gede, Surakarta atau Yogyakarta.
Karenanya urbanitas sejatinya adalah modernitas. Modernitas lahir di kota. Urbanisme pada awal Renaisans dan Barok adalah konteks munculnya pemikiran metafisik Barat seperti halnya konsep ‘matesis universalis’ yang dicetuskan Rene Descartes di tahun 1637. Filosofi modern yang mengagungkan rasionalitas ini menyandarkan wacananya pada analogi-analogi dinamika kota yang terjadi di ruang publik. ”Not all life is modern, but all modern life is city life,” ungkap sosiolog Zygmunt Bauman
Karenanya ruang publik adalah elemen terpenting dalam peradaban kota. Ia menjadi wadah lahirnya kerekatan sosial yang bisa membawa kota menuju masyarakat madani atau civil society. Dalam sejarahnya, seperti diwacanakan Habermas, ruang publik atau offentlichkeit ini menjadi wadah dari institusi kelas menengah yang punya pengaruh kuat dalam proses revolusi sosial.
Kekuatan kelas menengah kelas borjuasi di Eropa misalnya tumbuh berkembang di kafe-kafe yang menjadi ruang untuk mendiskusikan isu bisnis sekaligus isu-isu kemasyarakatan. Dalam sejarahnya, di Eropa Timur, kafe menjadi ajang untuk berdiskusi politik dan isu-isu besar dunia, Bahkan Trosky pun tengah mengirup kopi di kafe saat terjadinya revolusi Oktober di Rusia. Khususnya di Paris, budaya diskusi di kafe-kafe ini membidani lahirnya karya-karya seni dan sastra modern.
Ruang Publik sendiri sejatinya adalah ruang demokratis tempat bertemunya semua khalayak. Ia milik semua orang. Ia menjadi tempat manusia bertoleransi terhadap perbedaan. Ia menjadi di tempat manusia berlatih menghadapi kejutan-kejutan sosial. Pada puncaknya, toleransi pluralisme pada ruang publik ini akan mendorong lahirnya konsepsi public domain, yaitu wacana tempat kita mendiskusikan ruang publik atau bertukar pikiran antar grup sosial yang berbeda. Media publik seperti halnya koran, televisi dan ruang maya di internet, kemudian menjadi sarana dalam bernegosiasi di ruang publik tadi. Syaratnya, public domainini haruslah independen.
8 Permasalahan Spasial & Sosio-kultural Kota dalam Perspektif Ruang Publik
[1] Ketidaksiapan hidup berkota secara mendasar
Secara mendasar, permasalahan di kota-kota besar Indonesia seperti halnya Jakarta, justru bukan melulu dari ketidaksiapan sistem ruang dan spasialnya saja, akan tetapi lebih ekstrim yaitu disebabkan oleh ketidaksiapan dan ketidaktahuan tentang esensi budaya berkota atau’being urban’ oleh warganya sendiri. Mengerti budaya berkota atau dengan matang, artinya kita siap untuk bernegosiasi terhadap 4 aspek kehidupan kota: densitas, heterogenitas, anonimitas dan intensitas sosial.
Banyak yang menyimpulkan bahwa Jakarta bukanlah kota dalam arti yang sebenarnya. Ia hanyalah sebuah aglomerasi dari perkampungan-perkampungan yang membesar. Jakarta adalah kampung raksasa. Carut marut fisik dan sistem kota Jakarta sedikit banyak dipengaruhi oleh masyarakat yang secara psikologis ternyata tetap berperilaku pikir bawaan dari desa. Dengan pemahaman tentang konsekuensi hidup berkota yang terbatas mereka harus menyelami keseharian konteks sosial urban dengan intensitas yang ekstrim.
Akibatnya sangat fatal. Benturan-benturan budaya pun tidak terelakkan. Tidak adanya respek terhadap ruang publik dan menegasikan hak-hak warga kota lainnya sering terjadi. Jalur pedestrian seringkali diambilalih oleh pedagang kakilima, diintervensi oleh sepeda motor, atau diokupasi sebagai pangkalan ojek. Perkampungan-perkampungan kota pun seringkali memiliki tata hukum dan nilai sosial sendiri. Hidup membangun rumah di tanah-tanah tidak bersertifikat menjadi hal yang lazim.
Permasalahan besar lainnya justru datang dari kalangan yang secara ekonomi lebih mapan dan secara sosial lebih siap. Mereka ini umumnya tidak memahami filosofi hidup berkota yaitu bertoleransi dengan heterogenitas dan bernegosiasi dengan densitas. Secara ekonomi golongan ini hidup lebih baik namun seringkali menegasikan dan tidak mampu berbaur dengan baik dengan golongan dan kelompok diluar mereka. Secara spasial hal ini diperparah dengan tawaran-tawaran cara hidup di kawasan-kawasan ekslusif berbenteng tinggi berdensitas rendah. Maka bom waktu sosial ini pun hanya menunggu waktu untuk tiba-tiba meledak dan menghancurkan sistem sosial kota.
Esensi berkota atau ’being urban’ akhirnya menjadi penting untuk dipahami oleh setiap warga kota atau pendatang yang bermigrasi ke kota. Di kota Tokyo misalnya, setiap pendatang yang akan bergabung menjadi warga kota harus ditatar dan dikuliahi tentang tata tertib, aturan dan etika hidup di kota Tokyo. Hal ini untuk menjamin bahwa semua warga kota memahami esensi dan nilai-nilai filosofis hidup di kota besar.
[2] Ideologi ’visuality over tactility’
Kota yang baik mampu memberikan pengalaman ruang yang kaya. Pengalaman tersebut memberikan stimulasi pada seluruh panca indera manusia. Perjalanan di kampung Kota Gede misalnya akan membawa kita pada pengalaman melihat, mencium bau, mendengar dan merasakan tekstur sebuah ruang arsitektur atau yang disebut sosiolog Ken-Ichi Sasaki sebagai ’tactility experience’. Ini bisa terjadi karena faktor skala ruang yang baik, intim, emosional dan antropometris.
Namun yang terjadi di kota-kota besar, pengalaman ruang ini banyak direduksi menjadi pengalaman visual semata. Garis sempadan banguan yang jauh, yang terkadang tidak jelas alasan ilmiahnya telah manjauhkan hubungan emosional manusia dengan arsitektur. Akibat hilangnya aspek ’tactility’ ini, arsitekturpun menjadi asing dari konteksnya. Ia menjauh dari hakikatnya sebagai elemen urban. Ia mematikan lahirnya interaksi sosial warga kota di koridor jalan tempat arsitekur itu berdiri. Tidak ada aktivitas duduk-duduk rileks, ‘window shopping’ ataupun interaksi spasial antara arsitektur dan warga kota sebagai pilihan berkegiatan santai di konteks urban. Tidak pula eksis para urban flanuer ala Charles Baudelaire, karena tidak tersedia konteksnya..
Padahal secara konsep, lahirnya peraturan garis sempadan adalah untuk memastikan adanya jarak dari ruang publik ke ruang privat. Ini awalnya ditujukan untuk bangunan-bangunan hunian atau pemerintahan/militer yang membutuhkan privasi tinggi. Namun di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia, konsep sempadan secara membabi buta diterapkan secara salah kaprah untuk segala tipologi bangunan, termasuk secara tidak sadar didukung oleh arsitek-arsitek perancangnya.
Ciri khas kota-kota Asia adalah pengalaman ruang yang emosional yang sering tidak bisa dibaca dengan lugas oleh kacamata rasionalitas Barat. Tidak heran jika Roland Barthes dalam ‘Empire of Sign’, menceritakan kebingungannya berorientasi di Tokyo. Di Tokyo, menurut Barthes, rasionalisasi urutan jalan, alamat yang mudah dibaca dari peta, ‘main street’, maupun pusat kota tidaklah hadir seperti di kota-kota Amerika atau Eropa. Ini karena, cara penduduk Tokyo berorientasi memang berasal dari pengalaman mereka menyelami ruang-ruang organik kotanya. Dari memori sebuah ‘lived space’. Bukan dari pembacaan rasionalitas sistem kotanya seperti halnya kota-kota Amerika
[3] Ruang sebagai komoditas ekonomi pasar.
Di Jakarta, misalnya, sangatlah sulit untuk mendapatkan tanah yang layak untuk alokasi rumah susun di pusat-pusat kegiatan kota. Ini dikarenakan harga dasar tanah yang terlalu tinggi sehingga tidak memungkinkan secara kalkulasi ekonomi untuk bisa direalisasikan. Di kita hajat hidup untuk khalayak ini dilemparkan ke sistem pasar bebas. Tidak dikendalikan dengan suatu sistem yang adil. Berbeda dengan Singapura dan Hongkong yang mampu mengelola sistem pertanahan (land bank) dengan baik.
Akibatnya kelas menengah bawah tidak punya pilihan lain kecuali mundur ke pinggiran kota dengan beban ongkos transportasi yang mahal atau berjejal-jejal di hunian perkampungan kota yang kurang manusiawi di tengah kota. Akibat lain yang paling mencolok namun tak terasa adalah bagaimana kapitalisme mendeformasi struktur dan wajah kota berdasarkan strata kelas ekonomi. Strata identitas ini mudah terbaca dari lokasi dan lingkungan tempat mereka tinggal. Kaum miskin kota umumnya tinggal di tempat kumuh dan sumpek, sementara kaum berpunya tinggal di lokasi mahal dan umumnya berdensitas rendah. Teori lokasi ini biasanya sebangun dengan strata sistem produksi ekonomi kapitalis yang dianutnya. Fenomena kapitalisme kota ini sering dikaji kelompok ‘Marxian Urbanism’, yang melihat kota sebagai arena konflik antar kelas sosial, seperti dirintis Manuel Castells sejak “The Urban Question” di tahun 1977
[4] Privatisasi dan pembalikan makna ruang publik
Salah satu permasalahan lainnya di kota-kota besar di Indonesia misalnya adalah seringnya ruang publik dikuasai oleh pihak dan kepentingan tertentu. Ia diperebutkan dan sering dikomersialkan. Pantai Ancol di Jakarta dimana kita harus membayar untuk menikmati ruang pantai adalah contohnya. Jalur pejalan kaki yang diambil alih oleh pemilik gedung Artha Graha di Sudirman CBD dan Hotel Marriott di Mega Kuningan dengan alasan kemanan atau Alun-alun Bandung yang kini menjadi ruang milik Masjid Agung adalah contoh-contoh lainnya. Akibatnya seringkali masyarakat tidak bisa mengerti dan menghargai apa itu esensi sebuah ruang publik.
Menjamurnya pusat perbelanjaan atau shopping center di kota-kota besar di Indonesia, seperti halnya Mal Pondok Indah 1& 2, Grand Indonesia, Senayan City dan Plaza Senayan dan puluhan lainnya di Indonesia adalah contoh simulasi bagaimana daya tarik realitas urbanisme sudah kalah oleh ruang artifisial dan konsumerisme. 60 persen warga Jakarta memilih menghabiskan waktu di shopping mall untuk rekreasinya. Berbelanja di shopping center ini pada dasarnya adalah simulasi pengalaman empirik berbelanja dan jalan-jalan kaum urban (strolling flaneur) di ruang-ruang kota yang dilipat, disatukan dan diminiaturkan ke dalam satu ruang atau bangunan. Sebuah simulation of urbanity dimana shopping center bertindak sebagai ruang simulacrum ala Jean Baudrillard.
[5] Koridor jalan sebagai ruang utilitas semata
Pola pikir sebagian besar perencana dan pengelola kota biasanya melihat keberadaan ruas jalan sebagai ’engineering space’ semata untuk mengakomodasi angka-angka aliran kendaraan bermotor. Ruas-ruas jalan seperti ini juga umumnya hanya direncana berdasarkan standar teknis dan jarang didesain secara baik untuk menjadi sebuah ruang sosial yang mampu mengundang warga untuk turun berinteraksi sosial secara suka rela.
Mulai punahnya potensi ruas jalan sebagai ruang interaksi demokratis masyarakat urban akhirnya menyebabkan kota pun menjadi rigid dan hambar. Seperti halnya robot, kota pun berfungsi secara teknis namun tidak berjiwa. Menurut sosiolog Jane Jacobs, kota-kota yang ’livable’ dimana nilai-nilai urbanitasnya berkembang dengan baik, ruang interaksi sosial masyarakat urban yang utama justru sering kali mengambil tempat di koridor jalan kota.
Dalam buku klasik ‘Great Streets’, Allan B Jacobs secara gamblang menyatakan jalan yang masuk dalam klasifikasi ‘great streets’, biasanya selalu memiliki kualitas spasial istimewa dan sukses merangsang warga kota, untuk turun berinteraksi sosial dan beraktivitas urban yang sehat. Di ruas-ruas ruang publik tersebut, warga kota tidak ragu-ragu untuk melangkahkan kakinya membeli susu dan koran pagi, berjalan mengamati pajangan dikaca-kaca toko, bergurau santai di kafe-kafe pinggir jalan ataupun duduk makan siang sambil mengamati lalu lalang pejalan kaki di trotoar jalan.
Mulai dari keriuhan koridor jalan Las Ramblas di Barcelona, eksotisme Malioboro di Yogya sampai kemeriahan Market Street di San Francisco. Kesemuanya menjadi cerminan wajah kota yang lebih manusiawi dan ’livable’. Bahkan tidak jarang, ruang linear jalan pun sering kali menjadi salah satu landmark kebanggaan warga kota, seperti halnya The Champs Elysees di Paris, ataupun Orchard Road di Singapura.
[6] Maraknya ruang negatif (Placelessness)
Ruang negatif adalah ruang yang tidak sengaja hadir atau ruang positif tetapi digunakan bukan untuk interaksi sosial manusia kota. Ruang di depan gedung-gedung megah untuk parkir mobil atau sirkulasi kendaraan adalah contohnya. Ketimbang memberi ruang yang untuk publik berupa plaza atau taman duduk, memberikan ruang depan untuk parkir dan sirkulasi mobil ternyata tetap jadi pilihan nomor satu.
Kondisi anti urban ini juga sering diperburuk dengan kemacetan kota, dimana trotoar yang sudah sempit pun sering dipakai sebagai jalur alternatif oleh motor-motor nakal saat macet akut menghadang. Bahkan di kawasan Kota di Jakarta, trotoar publik juga sering direbut oleh parkir-parkir mobil ilegal, sehingga pejalan kaki harus banyak bermanuver diantara pantat dan knalpot mobil.
Pantaslah interaksi antar kelas sosial warga kota tidak pernah terjadi. Peluang dan hak urban-nya direbut oleh interaksi mati kendaraan bermotor. Kota kita banyak dikepung oleh ruang-ruang tidak berjiwa atau ’placelessness’. Tidak juga heran jika konsep tua arsitek Roger Trancik tentang membludaknya ruang-ruang kota mubazir dan negatif yang ia kategorikan sebagai lost space dan junk space masih berlaku di kota-kota besar kita
[7] ‘Architecture of fear’ dan fungsi-fungsi non publik di lantai dasar
Tidak bisa dipungkiri, ketakutan oleh kerusuhan dan demo-demo destruktif ala Indonesia ikut memperburuk perilaku berarsitektur gedung-gedung di kota-kota besar kita. Gedung-gedung tersebut dijaga ketat dan sering dipagari secara berlebihan. Secara psikologis, para pengelola gedung pun sering terkena sindrom paranoid terhadap kehadiran publik yang lewat di depan gedungnya.
Sindrom ‘architecture of fear’ ini juga membuat konsep ideal tentang pedestrianisasi di jalan Thamrin harus bersifat ala kadarnya. Pedestrianisasi ini memang secara teknis menyumbang pada kesinambungan sirkulasi pejalan kaki, namun kondisi eksisting urbannya menjadikan interaksi spasial antara arsitektur dan warga kota menjadi hal yang sangat mustahil.
Belum lagi sebagian besar fungsi-fungsi di lantai dasar yang cenderung tidak bersifat publik.Hal ini berakibat pada matinya kegiatan koridor urban di sore maupun malam hari. Kehadiran fungsi publik yang esensial seperti halnya restoran dan café pun malah umumnya menempati lantai-lantai atas di gedung perkatoran, yang jelas-jelas tidak berhubungan langung dengan ruang publik atau koridor jalan.
[8] Ketidakadaan konsep ‘urban linkage’ antar bangunan
Pentingnya konsep bertetangga yang baik di lingkungan kota untuk manusia juga berlaku untuk arsitektur. Sekalinya berdiri di konteks urban, maka arsitektur yang berperilaku positif terhadap konteksnya yang lebih besar. Saat ini kota-kota kita didominasi oleh ‘look at me architecture’ yang egois dan hampir tidak pernah memiliki keterkaitan dengan bangunan-bangunan di sebelahnya. Konsep egois ‘parcel-by-parcel development’ ini bermuara pada terputusnya sirkulasi publik yang menerus dan nyaman.
Akibatnya hanya untuk menuju suatu tempat yang tidak jauh dari gedung tempatnya bekerja, warga kota harus menggunakan kendaraan bermotor atau beresiko tertatih-tatih kelelahan dan kepanasan jika memilih berjalan kaki.
Salah kota yang ideal dari konsep ‘urban linkage’ atau ketertautan urban ini adalah kota Hong Kong. Ia menerapkan berlapis-lapis sarana sirkulasi urban antar bangunan yang nyaman. Dari mulai koneksi antar lobi bangunan yang bisa dilalui publik sampai jembatan-jembatan di lantai atas yang menghubungkan puluhan bangunan di kawasan bisnisnya. Hong Kong juga memiliki eskalator publik terpanjang di dunia yang meliuk-liku membelah kota dan menjadi alat sirkulasi urban antar bangunan yang banyak terletak di kemiringan yang curam.
6 Wasiat Eisenman
6 Wasiat Eisenman
Oleh : Ridwan Kamil
Torino, Juli 2008
Di Torino yang dingin berangin, menyeruput secangkir cappucino menjadi hal kecil yang luar biasa. Kelegitan kopi terbaik yang pernah saya minum hadir setiap pagi. Di kota tempat kongres UIA bulan Juli lalu ini tidak ditemukan satupun café Starbucks. Mungkin mereka minder dengan kualitas cappucino khas orang Italia. Apalagi jika yang menyeduh adalah Nicoletta, gadis ramping nan cantik mirip Angelina Jolie yang melayani delegasi Indonesia di restoran Vittorio. Perfecto.
Dari sekian banyak acara dan ceramah dari para arsitek dunia di kongres UIA ini, ada satu kuliah dari Peter Eisenman yang terus mengiang-ngiang di telinga saya. Dengan usianya yang sudah tua dan gayanya yang kebapakan, Eisenman mengemukakan sedikitnya 6 pesan tentang tentang arsitektur kontemporer.
Pertama. Eisenman mengingatkan bahwa kita sedang berada dalam krisis diskursus arsitektur. “Kita berada di dekade yang tidak menawarkan nilai baru,” ujarnya. Yang ada hanya “lateness” atau kebaruan demi kebaruan geometri arsitektur yang berubah secara periodik tahunan, bulanan atau bahkan mingguan. Menurutnya tidak ada kegairahan perdebatan arsitektur dunia seperti halnya ketika arsitektur Modern bergeser ke Postmodern. Ataupun kegairahan ketika kerumitan dan kegeniusan diskursus dekonstruksi Derrida dipinjam oleh para arsitek dunia untuk menjadi wacana hangat di jamannya.
Kedua. Eisenman melihat banyaknya karya arsitektur kontemporer yang sibuk dengan geometri yang semakin rumit, namun seringkali tidak memiliki kualitas yang mampu menghadirkan makna mendalam. “Just a piece of meaningless form,” kritiknya. Selain itu, banyak pula arsitektur yang tidak mampu memperkuat konteks kota dan budaya tempat ia berdiri. Karenanya Eisenman membenci Dubai. Baginya Dubai adalah sirkus arsitektur. Segala bentuk bisa hadir tanpa korelasi, tanpa preferensi dan tanpa didahului oleh esensi `livability’ atau roh berkehidupan dari sebuah kota. Kota adalah untuk manusia.
Dan Dubai tidak memilikinya.
Ketiga. Eisenman merenungi bahwa karya arsitektur seharusnya bisa dirasakan sampai ke lerung hati terdalam. Arsitektur tidak hanya cukup menjadi sebuah entitas dan objek visual semata. Arsitektur terbaik adalah arsitektur yang mampu menyentuh psikologis manusia secara emosional. “let the heart be your judge,” ungkapnya. Arsitektur harus mampu mengalirkan makna-makna di ruang-ruang tiga dimensional itu. Renungannya ini sejalan dengan konsep `tactility’ yang didengungkan sosiolog Kenichi Sasaki yang memuji arsitektur yang menstimulasi seluruh indra manusia. Arsitektur yang tidak memanjakan indra visual semata.
Keempat. Eisenman mengingatkan kita, terutama para mahasiswa arsitektur, untuk tidak mendewakan komputer. Eisenman mengkhawatirkan generasi sekarang yang menggantungkan 100 persen proses desain dengan komputer. “Mereka menjual keindahan melalui manipulasi photoshop,” debatnya. Dengan imaji-imaji yang secara visual spektakuler seolah urusan sudah selesai. Baginya proses desain harus
dimulai dari kerja keras kontemplasi berpikir. Konsep desain harus mampu dirasakan dengan hati. Kemudian mengalir deras ke syaraf-syaraf di sepanjang jari-jari tangan. Karenanya sensitivitas indrawi masih ia anggap yang terbaik dalam melatih pencarian konsep berarsitektur,
Kelima. Eisenman berpesan bagi para arsitek di negara-negar berkembang untuk tetap optimis dan selalu merasa beruntung. Beruntung karena pada umumnya Negara berkembang seperti kebanyakan negara di Asia masih memiliki referensi eksotisme budaya. Budaya yang masih memiliki tradisi kultural sebagai sumber konsep, legenda yang emosional sebagai sumber makna dan ritual referensional sebagai sumber cerita.Kekayaan-kekayaan kultural inilah yang tidak dimiliki di negara Barat seperti
halnya Amerika Serikat tempatnya bermukim dan berpraktek.
Keenam. Eisenman menceritakan bahwa tiada yang lebih bermakna dalam profesi arsitek selain dari sebuah ketulusan pertemanan dan kesetiakawanan sesama arsitek. Ia kemudian bercerita tentang struktur vertikal di proyek Galia Cultural di Spanyol yang ia bangun sebagai perwujudan wasiat terakhir dari mendiang sahabatnya John Hedjuk. Mendiang koleganya yang sering menjadi teman minum kopi, sahabat berdiskusi dan kritikusnya selama mereka berpraktek di New York. Persahabatan adalah keindahan.
Itulah enam pesan dari arsitek yang mendedikasikan dirinya untuk terus mengajar dan menularkan pemikiran-pemikiran kritis kepada ratusan muridnya dan ribuan pengagumnya. Dunia arsitektur yang saat ini miskin provokasi memang membutuhkan kehangatan pemikiran Eisenman.
Sehangat dan semenyentak cappucino yang diseduh Nicoletta, teman kita dari Torino. Kita memang butuh kehangatan yangmenyentakkan syaraf sekaligus menyegarkan pikiran.
Setiap pagi.