Archive for July 2010
Sebuah Cara Lain Merebut Ruang Kota
Teks & Foto : galih sedayu
Melihat perkembangan sebuah kota erat kaitannya dengan melihat keberadaan dan pemanfaatan ruang publik yang dimiliki oleh kota itu sendiri. Kota bandung yang berdiri sejak tahun 1810 yang lampau banyak sekali menyisakan ruang publik yang belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat maupun pemerintahnya. Tentunya isu ini menjadi sebuah pekerjaan rumah bersama bagi kita semua yang menyandang predikat sebagai warga kota bandung. Adalah Bandung Creative City Forum (BCCF) yang mencoba menghadirkan sebuah program yang bernama Semarak.Bdg dengan tujuan untuk mengintervensi ruang publik kota bandung. Intervensi ini dilakukan melalui cara-cara kreativitas yang melibatkan komunitas kreatif, masyarakat, pemerintah, swasta & media sebagai stakeholder dan komponen masyarakat utama sebuah kota. Rangkaian program kreatif yang mengisi kegiatan Semarak.Bdg tersebut diantaranya yaitu Facade Lighting Gedung Merdeka berupa pemasangan instalasi lampu warna-warni pada Gedung Merdeka dengan tujuan agar Gedung Merdeka tidak lagi kelihatan suram, gelap dan terkesan dihindari oleh warganya terutama pada malam hari. Lalu ada program Piknik.Bdg berupa memindahkan ruang bermain dan kreatif anak di sekitar sungai cikapundung agar anak-anak dan keluarga tidak hanya merasakan pengalaman beraktivitas di mal atau tempat bermain indoor serta dapat merespon sungai cikapundung yang telah lama ada bersama kita. Dan kemudian ada program Bragakeun Bragaku yang mecoba untuk mengolah braga menjadi wadah energi kreatif dari sekumpulan komunitas dan warga masyarakat braga itu sendiri.
Sebagian peristiwa nyata yang terjadi pada rangkaian Semarak.Bdg tersebut saya coba refleksikan kembali lewat citra fotografi sebagai penanda visual dan jejak kerja hasil kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, swasta, media & komunitas sebagai aset berharga kota. Sekelumit kisah dan romantika kejadian dalam Semarak.Bdg melalui rangkaian karya foto. Meski saya sadar sepenuhnya bahwa tidak semua momen yang ada dapot terekam oleh lensa kamera, tetapi setidaknya fotografi telah membekukan dan menjadi saksi bisu atas segala upaya yang telah dikerjakan oleh sekelompok muda kreatif yang peduli akan kota bandung. Dengan harapan bahwa secuil ide kreatif tentang intervensi ruang kota ini dapat menggelitik yang lain agar dapat berbuat serupa bahkan mungkin lebih baik. Karenanya lupakanlah kata siapa yang melakukan ini melainkan mulailah dengan kata apa yang dapat kita lakukan untuk kota ini. Agar Kota Bandung menjadi ada, tetap ada dan selalu ada bagi kita selamanya.
Bandung, 25 Juli 2010
copyright (c) 2010 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Jazz & Pencitraan
Teks : galih sedayu
Membaca sejarah kehadiran musik jazz di dunia, tentunya seperti mendengar berbagai penggal cerita yang agak sulit bagi kita untuk mengetahui mana cerita yang sebenarnya. Karena banyak sekali sekelumit kisah tentang awal musik jazz. Salah satunya adalah Buddy Bolden. Seorang pemilik kedai cukur rambut di New Orleans, dapat dikaitkan dengan sejarah keberadaan musik jazz di dunia. Dimana sekitar tahun 1891, salah satu orang yang dipercaya sebagai legenda jazz ini meniupkan cornet-nya (sejenis alat musik tiup mirip terompet) sebagai pertanda dikumandangkannya musik jazz ke seluruh antero jagat. Meskipun sejarah mengatakan bahwa latar belakang kehadiran musik jazz sedikit banyak dipengaruhi berbagai musik seperti musik spiritual, cakewalks, ragtime dan blues. Musik jazz pun menjadi semakin menarik karena beberapa sejarah mengatakan bahwa asal kata “jazz” berawal dari sebuah istilah vulgar yang berkaitan dengan aksi seksual. Sebagian irama musik jazz pun identik dengan rumah-rumah bordil dengan para wanita penghuninya.
Fotografi yang dilahirkan ke jagat raya sejak tahun 1839 oleh Louis Jacques Mande Daguerre, setidaknya dapat menaruh harapan khususnya pada catatan perkembangan sejarah musik jazz itu sendiri. Setidaknya sebagai catatan visual dan media informasi yang gampang dicerna bagi komunitas jazz. Misalnya saja sebagai bahan untuk melacak citra foto pertama tentang jazz di dunia. Memang sulit untuk mengatakan karya foto mana yang menjadi citra pertama di dalam dunia musik jazz. Tetapi bukan tidak mungkin bahwa kita dapat melacaknya dari karya-karya foto para fotografer jazz dunia semisal William Gottlieb yang mulai memotret musisi jazz ternama seperti Duke Ellington, Louis Armstrong, Frank Sinatra, Dizzy Gillespie dan Billie Holiday sejak tahun 1938. Lalu ada nama Herman Leonard yang banyak memotret tokoh-tokoh jazz seperti Charlie Parker, Sarah Vaughan, Lena Horne, Thelonius dari tahun 1940. Atau William Claxton yang mulai berkarya merekam aksi para musisi jazz legendaris seperti Chet Baker, Miles Davis, Nat King Cole, Joe Williams, Dinah Washington sejak tahun 1950. Tentunya dibutuhkan penelitian yang serius untuk melacak sejarah tersebut.
Barangkali dengan paparan itu pula ada sebuah gagasan untuk mencatat perkembangan sejarah musik jazz di indonesia. Dimana fotografi dapat menjadi sebuah medium untuk menghadirkan kembali citra tentang romantika dan perjalanan musik jazz. Seperti yang disuguhkan oleh Mia Damayanti Sjahir dalam Pameran Fotonya yang bertajuk Jazz – Poster & Post It di Potluck Coffee Bar & Library dari tanggal 11 Juli 2010 s/d 7 Agustus 2010. Pameran foto ini dikuratori oleh Dwi Cahya Yuniman, seorang pendiri klab jazz plus aktivitis jazz asal Kota Bandung. Uniknya, foto-foto yang dipamerkan tersebut tidak hanya mengisi tembok-tembok kosong yang disoroti lampu belaka. Melainkan ada beberapa foto yang sengaja ditampilkan untuk mengisi dan menjadi bagian estetika perabotan di tempat pameran itu digelar. Toples, bingkai kecil di rak buku, tempat cashier, dan sebagainya menjadi aksen bagi keutuhan pameran tersebut. Tentunya kita semua berharap bahwa pada suatu saat nanti, karya-karya foto tentang jazz ini dapat menjadi sebuah buku yang dapat meninggalkan jejak karya dan dapat dibagikan bagi masyarakat agar peradaban musik jazz terus mengalir seiring dengan dunia yang terus berputar tanpa henti.
*Tulisan ini diberikan pada acara diskusi kecil bersama Syaharani (Musisi Jazz), Dwi Cahya Yuniman (Klab Jazz) dan Mia Damayanti Sjahir pada tanggal 12 Juli 2010 yang merupakan rangkaian Pameran Foto “Jazz-Poster and Post It” karya Mia Damayanti Sjahir yang diadakan oleh Klab Jazz pada tanggal 11 Juli 2010 s/d 7 Agustus 2010 di Potluck Coffee Bar & Library.
@Bandung, 13 Juli 2010
Sekilas Foto Cerita
Teks : galih sedayu
Di dalam dunia fotografi kita telah banyak mengenal istilah karya Single Photo (foto tunggal). Pada umumnya telah banyak para pemotret yang menghasilkan karya Single Photo tersebut misalnya saja foto seorang bocah kecil, sebuah bangunan tua ataupun sekilas pemandangan pagi. Ada istilah lain tentang karya foto dalam dunia fotografi yang berbeda dengan karya foto tunggal yaitu Photo Story. Ada juga yang menyebutnya dengan istilah Picture Story atau Photo Essay. Apa itu sebenarnya Photo Story?
Photo Story atau Foto Cerita adalah kumpulan karya foto yang dibuat dengan tujuan untuk menyampaikan sebuah cerita dari suatu tempat, peristiwa ataupun sebuah isu yang ada. Dimana foto-foto tersebut merepresentasikan karakter serta menyuguhkan emosi bagi yang melihatnya, berdasarkan sebuah konsep yang menggabungkan antara seni dan jurnalisme. Semua karya Photo Story merupakan kumpulan karya foto, tetapi tidak semua kumpulan karya foto merupakan karya Photo Story.
Ada dua Jenis Photo Story. Yang pertama adalah Foto Naratif yaitu kumpulan karya foto berdasarkan urutan dari sebuah kejadian atau peristiwa. Misalnya foto-foto tentang seorang ibu penjual jamu dimana si pemotret mengikuti dan merekam segala aktivitas ibu penjual jamu tersebut dari mulai mempersiapkan dagangan jamunya di rumah, berangkat keluar rumah untuk menjajakan jamunya hingga pulang kembali ke rumah. Jenis Photo Story yang kedua adalah Foto Tematik yaitu kumpulan karya foto yang memfokuskan pada sebuah tema sentral dimana foto-foto yang diambil tidak melulu mentitik-fokuskan pada sebuah tempat ataupun peristiwa tertentu. Tetapi foto-foto tersebut relevan dengan tema yang diambil misalnya isu pendidikan yang rendah, pengentasan kemiskinan, polusi pabrik dan lain sebagainya.
Adapun langkah- langkah yang dilakukan untuk membuat sebuah Photo Story yaitu:
-
Tentukan sebuah topik atau tema
-
Lakukan penelitian kecil
-
Membuat sebuah cerita yang nyata
-
Mencari emosi & karakter
-
Eksekusi foto
Eksekusi Photo Story yang baik yaitu foto-foto yang bercerita dimana foto-foto tersebut dapat berdiri sendiri, foto-foto dengan berbagai penyajian (sudut lebar, potret, detail), foto-foto yang memiliki urutan foto yang baik (menarik, logis & efektif bercerita), foto-foto yang memiliki Informasi & Emosi (mampu menyampaikan sebuah pesan yang baik) dan foto-foto yang menyertakan caption atau keterangan tentang foto.
Dalam proses pemilihan & penyusunan urutan Photo Story ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
-
The Lead Photo, yaitu Foto yang paling menonjol dari seluruh rangkaian foto.
-
The Scene, yaitu Foto yang menggambarkan suasana atau tempat dari tema sentral.
-
The Portraits, yaitu Foto potret yang dramatik & menggugah emosi.
-
The Details Photo, yaitu Foto yang terfokus pada detail sebuah obyek misalnya bangunan, wajah ataupun benda.
-
The Semiotic Photo, yaitu Foto sederhana yang memiliki nilai simbolis dan makna tertentu dari sebuah cerita
-
The Signature Photo, yaitu Foto yang menangkap sebuah kesimpulan dari sebuah cerita.
-
The Clincher Photo, yaitu Foto yang menentukan akhir dari sebuah cerita berupa harapan, kebahagiaan atau sesuatu yang membangkitkan inspirasi.
Ketika kita membuat Photo Story ada beberapa hal lain yang dapat mempengaruhi hasil karya diantaranya adalah penguasaan teknis pemotretan, wawasan & kreativitas pemotret, kejelian pemotret dalam merekam obyek foto, dan totalitas pemotret. Sehingga ketika kita memiliki semua hal itu, niscaya foto-foto yang telah kita hasilkan akan mengeluarkan sebuah citra yang utuh dari peristiswa atau isu yang kita pilih.
Akhir kata semoga segala citraan yang dihadirkan kembali oleh mata fotografi kita dapat menjadi adegan-adegan beku bersejarah yang terus dikenang dan terus dibagikan bagi kelangsungan peradaban cahaya juga bagi kelangsungan hidup manusia sampai akhir hayatnya.
Bandung, 2 Juli 2010