Archive for March 2015
Paul Tedjasurja, Mata Sejarah dan Sang Pewarta Kesetiaan
Teks & Foto oleh galih sedayu
Pada suatu malam yang dingin di Kota Bandung, di pertengahan bulan April tahun 1955, seorang pemuda sederhana berusia 25 tahun tengah mempersiapkan peralatan tempur fotografinya demi mengabadikan sebuah peristiwa yang sangat bersejarah yakni Konperensi Asia Afrika (KAA) Bandung. Kamera Leica III F seberat 1,5 kg, lampu kilat seberat 8 kg, perangkat aki untuk pencahayaan tambahan (blitz) serta sejumlah roll film hitam putih menjadi saksi bisu perhelatan KAA yang kini telah menjadi peristiwa legendaris di dunia. Di hari senin yang cerah, tanggal 18 April 1955, tepat pukul 07.00 pagi, pemuda tersebut langsung bergegas menuju Gedung Merdeka Bandung di Jalan Asia Afrika dengan menunggangi motor 250 cc merk Jawa miliknya. Saat itu ratusan warga baik dari dalam Kota Bandung maupun dari luar Kota Bandung sudah berkerumun berdiri dan berbaris rapi di sisi-sisi jalan Asia Afrika sembari menunggu kedatangan para tamu delegasi KAA. Sekitar pukul 08.00 pagi, akhirnya para undangan yang dihadiri 29 negara peserta KAA tersebut mulai keluar dari persinggahannya di Hotel Savoy Homann yang juga terletak di Jalan Asia Afrika. Mereka semua berjalan kaki menuju Gedung Merdeka yang letaknya tidak terlalu jauh dari Hotel Savoy Homann. Kala itu sejumlah wajah para pemimpin dunia pun tercatat dan terekam oleh mata pemuda ini dari mulai Jawaharlal Nehru (India), Chou En Lai (Cina), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Norodom Sihanouk (Kamboja), U Nu (Birma) dan lain sebagainya. Sekira pukul 10.00 pagi, sebuah mobil buick buatan tahun 1945 berhenti di persimpangan Jalan Braga & Jalan Asia Afrika (Tepat di depan Apotek Kimia Farma Braga Sekarang).
Tak lama kemudian muncul dari dalam mobil tersebut, Presiden & Wakil Presiden pertama negara Indonesia yakni Bung Karno & Bung Hatta, sebagai tuan rumah yang akan membuka kegiatan KAA. Kemudian pemuda itu pun mengikuti kedua tokoh tersebut hingga masuk ke dalam Gedung Merdeka yang menjadi tempat utama kegiatan KAA yang berlangsung dari tanggal 18 – 24 April 1955. Dan dari dalam gedung itulah, sejarah mencatat nama baik Bandung dan Indonesia kala itu. Rentetan kejadian dan momen yang sangat langka itu, secara apik berhasil dibekukan oleh pemuda yang penuh semangat tersebut. Dimana karya foto hasil bidikan pemuda itu kini telah menjadi bukti nyata keharuman dan kebesaran peristiwa KAA yang terjadi 60 tahun silam.
Paul Tedjasurja. Itulah nama pemuda tersebut yang kini telah menjadi tokoh legenda Kota Bandung, yang berhasil merekam sekitar 300 gambar perihal kegiatan KAA dari mulai suasana konperensi hingga para tokoh dunia yang hadir waktu itu. Saat peristiwa KAA berlangsung, Paul Tedjasurja yang akrab dipanggil dengan sebutan Om Paul ini masih menjadi fotografer lepas atau Freelance di berbagai media cetak. Salah satunya adalah Media Pikiran Rakyat (PR) yang kerap menggunakan kontribusi karya foto milik Paul. Menurut Paul, ada beberapa rekan fotografer lain yang turut pula mengabadikan momen KAA tersebut yakni Dr. Koo Kian Giap (Antara), Lan Ke Tung (PAF/Antara), Johan Beng (Antara), dan AS James. Namun kini mereka semua telah tiada. Sesungguhnya, pendokumentasian peristiwa KAA yang dilakukan Paul tersebut merupakan momen perdana atau pertama kalinya ia memotret kegiatan bertaraf internasional. Ketika Paul meliput acara pembukaan KAA, ia pun menuturkan bahwa selama di dalam Gedung Merdeka, para wartawan tulis dan foto diminta untuk tidak boleh terlalu dekat dengan para delegasi negara sehingga mereka ditempatkan di sebuah balkon khusus di sana. Acara pembukaan KAA tersebut berakhir sekitar pukul 13.00 siang yang dilanjutkan dengan penyelenggaraan sidang di Gedung Dwi Warna (sekarang menjadi kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Jawa Barat) yang terletak di Jalan Diponegoro Bandung.
Menjelang sore, Paul pun bergegas pergi untuk mencuci dan mencetak roll film hasil rekamannya yang dilakukan di kamar gelap sebuah ruangan, yang berlokasi di Jalan Naripan No.4 Bandung (Kini menjadi halaman parkir Bank Jabar). Untuk proses tersebut, Paul melakukannya dengan cepat selama kira-kira setengah jam agar hasil fotonya dapat segera dikirim ke redaksi PR sebelum pukul 4 sore. Kala itu pula, seorang fotografer AP sempat meminta tolong kepada Paul untuk dapat membantu mencetak foto-fotonya. Setelah semuanya selesai, Paul pun kembali mendatangi resepsi yang digelar untuk menjamu para tamu delegasi negara peserta KAA.
Surabaya menjadi kota kelahiran seorang Paul Tedjasurja, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1930. Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, ia masih duduk di bangku sekolah MULO (sekolah belanda setingkat SMP) di daerah Praban yang kini terletak di sekitar SMP 3 Surabaya. Ia pun menuturkan bahwa pada tanggal 7 November 1945, Jenderal Mansergh NICA kala itu menjatuhkan ultimatum lewat selebaran yang dijatuhkan dari ketinggian pesawat di atas langit biru surabaya. Ia ingat benar dengan peristiwa tersebut karena saat itu ia pun ikut berebut memunguti selebaran tersebut bersama kawan-kawannya. Setelah ia lulus sekolah menengah pada tahun 1949, ia pun hijrah dari Kota Surabaya menuju Kota Bandung atas ajakan seorang pamannya dikarenakan ayahnya yang bekas tahanan Kenpeitai, Jepang meninggal dunia setelah menderita sakit-sakitan selama kurang lebih 5 tahun. Di Kota Bandung lah, ia mulai jatuh cinta kepada dunia fotografi dan mulai belajar memotret sejak berumur 21 tahun. Ia pun kemudian menjalani kehidupannya sebagai pewarta lepas di sebuah majalah yang bernama “Gembira” serta menjadi pewarta lepas di sebuah agensi yang bernama “Preanger Foto” yang bertugas memasok karya foto ke perusahaan Jawatan Penerangan Jawa Barat, dimana calon mertuanya bekerja di sana.
Njoo Swie Goan adalah nama calon mertua Paul yang pertama kali mengajarinya ilmu fotografi. Njoo sendiri sebenarnya merupakan anggota Perhimpunan Amatir Foto (PAF), yaitu sebuah klub foto tertua di Indonesia yang hingga kini masih ada. Njoo terkenal dengan hasil karya fotonya yang berani tatkala merekam peristiwa keganasan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) dengan tokohnya Kapten Westerling yang terjadi di bandung pada bulan januari 1950. Berkat Njoo itulah, Paul muda dibekali kamera Leica III F yang menjadi kamera pertama miliknya untuk digunakan dalam meliput kegiatan KAA tahun 1955. Ia menyebutkan bahwa kamera Leica tersebut saat itu merupakan satu-satunya tustel yang kecil dan bisa menghasilkan frame dalam format panjang atau format panorama. Sayangnya, pada tahun 2000 kamera tersebut ia jual kepada seorang kolektor seharga ratusan ribu rupiah saja dan ditukar dengan beberapa lensa. Yang lebih mengenaskan adalah pada saat peringatan 30 tahun KAA pada tahun 1985, dimana ia kehilangan sejumlah karya foto KAA 1955 beserta negatif miliknya, yang dipinjam oleh seseorang dari pemerintah dan hingga kini tidak pernah dikembalikan dan tidak pernah jelas rimbanya. Kemudian malang kembali menimpanya, dimana semua album dan negatif foto yang dimilikinya, termasuk dokumentasi KAA 1955 ludes terbakar tatkala redaksi Pikiran Rakyat di Jalan Soekarno Hatta 147 Bandung mengalami musibah kebakaran pada tanggal 4 Oktober 2014. Beruntung ketika pada bulan April tahun 2005, sebagian file negatif miliknya telah disimpan dalam format file digital dan diselamatkan oleh beberapa sahabatnya untuk kemudian digunakan dalam Pameran 50 Tahun KAA.
Namun ajaibnya ia masih tetap bisa tersenyum atas segala kejadian pahit yang menimpanya. Ia pun merasa bersyukur dalam hidupnya bahwa ia masih memiliki pengalaman yang menyenangkan hati. Salah satunya selama memotret kegiatan KAA 1955, tatkala seorang wartawan asing menjadikan pundaknya sebagai tripod atau penyangga kamera saat berada di bandara Hussein Sastranegara. Meskipun begitu ia tidak marah dan dengan senang hati melakukan hal tersebut demi solidaritas terhadap rekan seperjuangannya. Bila kita bayangkan peristiwa tersebut, barangkali momen itu adalah sebuah pemandangan langka yang jarang kita lihat dewasa ini.
Kiprah Paul Tedjasurja sebagai seorang pewarta foto sebenarnya sudah mulai tercium oleh berbagai media di jamannya. Terbukti ketika ia masih menyimpan dengan baik kliping dari sebuah majalah “Gembira” yang memuat profilnya pada tanggal 11 Februari 1956. Di dalam majalah tersebut, dimuat foto Paul muda yang terlihat sedang mengintip jendela pembidik kamera Leica miliknya. Dan di dalam majalah tersebut diberitakan seperti ini,
Memperkenalkan :
WARTAWAN FOTO KITA
Bagi penduduk kota Bandung dan sekitarnja ia sudah tjukup dikenal. Baik dikalangan djembel maupun dikalangan ningratnja. Atau bagi parapeladjari mahasiswa maupun diorganisasi bahkan sampai kepada kalangan Angkatan Perangnja.
Kemudian di bawah foto Paul Tedjasurya tertulis seperti ini,
Paul sedang beraksi ketika ada pertandingan poloair dipemandian Tjihampelas Bandung.
Lihat duduk seenaknja dispringlank jang paling atas, dan tjoba gojang sedikit sadja pangkal papan itu pasti ia akan terdjun kedasar pemandian.
Pun tjoba lihat persiapan jang selalu dibawanja kalau ia bertugas.
Toestel Leica dengan telelensanja dan resvre Super Ikonta tamabah satu tas berisi pilem2 dan lain jang diperlukan untuk melantjarkan kerdjanya.
Tahan tuh ………………………………………………………..
Lalu berita tentang Paul Tedjasurya tertulis seperti ini,
Sebab hampir pada tiap upatjara umum apa sadja atau pada kedjadian2 penting dia selalu muntjul dengan “sendjata”nja, untuk hilir mudik di tempat tsb. Guna “menembaki” sesuatunja jang dianggap djadi objek jang baik.
Itulah Sdr.Paul The jang selalu dipanggil oleh rekan wartawan lain dengan Bung Paul. Ia adalah wartawanfoto dari Preanger Studio Bdg, inklusip
wartawanfoto madjalah kita : “GEMBIRA”.
Makanja kalau selama ini Tuan atjap menemukan gambar2 jang tertera dihalaman madjalah kita ini, baik dihalaman tengah atau dihalaman lain jang tak bertanda, itu adalah hasil dari “tembakan2”nja.
Djadi wartafoto melelahkan sekali – katanja – dan kadangkala mendjemukan. Tjoba – katanja lagi – kalau sedang menghadiri suatu upatjara atau lain perajaan apa sadja, saja harus menunggu sampai babak terakhir. Beruntung kalau upatjara itu berdjalan dengan landjar, tapi paling mendjengkelkan kalau sudah djam karet jang dipergunakan dan ditambahi dengan pertelean yang bertele-tele. Kalau wartawan tulis bisa meninggalkan itu lalu esoknja bisa meminta berita selengkapnja, tapi bagi kami – wartawanfoto – hal ini tak mungkin, tertambah tak sampai hati meninggalkan upatjara itu atau lainnja sebelum habis.
Memang utjapan ini ada betulnja. Sebab tak djarang dia pulang larutmalam, kalau sudah menghadiri satu perajaan atau lainnja, jang mungkin termasuk upatjara jang memakai djam karet dan bertele-tele pula. Kadang lewat djam malam, sedang selalu pula ia pada siangnja hanja mengaso satu atau dua djam sadja. Malah tak djarang ia nonstop dari pagi sampai tengah malam terus2an tjetrak-tjetrek dengan alatnja. Bergantung dengan banyaknja undangan jang semua harus didatangi dan minta semua diabadikan.
Namun demikian Paul tidak pernah lelah kelihatan. Ia menjadari bahwa wartawan adalah trompet masjarakat. Abdi rakjat. Dan sama dimengerti bahwa wartawan tulis hanja bisa muat berita disuratkabar untuk dibatja, tapi tidak mendalam kesan akan sesuatunja kalau tidak ada gambar2nja.
Last but not least : bahwa wartawan fotolah jang paling berbahagianja diantara wartawan2 lainnja. Tjona sadja, kalau tiap menghadiri satu perajaan dll, baru sadja dia masuk sudah banjak – jang minta diopname walaupun simanusia itu bukan orang penting pada upatjara tsb. Dan jang begini ini sudah terang menimbulkan keirian pada wartawan2 tulis lainnja. (JW).
Meski Paul Tedjasurja sudah menjadi kontributor koran Pikiran Rakyat sejak tahun 1953, namun baru pada tahun 1985, ia secara resmi menjadi wartawan Pikiran Rakyat dan sejak saat itu telah mengabdi selama kurang lebih 20 tahun lamanya. Berkat dedikasinya terhadap PAF dan dunia fotografi pula, pada tahun 1997 bersamaan dengan HUT PAF ke-73, ia mendapat gelar kehormatan Honorary Perhimpunan Amatir Foto (Hon.PAF). Penghargaan ini diberikan oleh Dewan Pertimbangan Gelar PAF kepada Paul Tedjasurja yang bernomor anggota PAF 026, yang disaksikan oleh 217 anggota PAF yang hadir di Cisarua Lembang. Selain fotografi, ternyata ia pun memiliki hobi lain yaitu mengumpulkan perangko. Uniknya, ia menggabungkan kedua hobi antara fotografi dan mengumpulkan perangko ini yang sering disebut sebagai Foto-Filateli. Boleh jadi Paul Tedjasurja adalah orang pertama di Indonesia yang memadukan obyek foto dengan filateli dan autogram. Karenanya sebelum KAA berlangsung, ia pun sudah memotret Gedung Merdeka sebagai tempat berlangsungnya konperensi tersebut. Bertepatan dengan pembukaan konperensi, pihak Pos & Giro (Pos Telepon dan Telegram / PTT pada waktu itu), menerbitkan perangko seri KAA. Kemudian Paul pun membeli beberapa edisi perangko tersebut, untuk kemudian ditempelkan di belakang foto Gedung Merdeka yang telah ia persiapkan sekaligus meminta stempel hari pertama kepada petugas PTT setempat. Foto perangkonya ini tentunya memiliki nilai lebih dibandingkan dengan sampul hari pertama (first day cover) yang biasa. Tak heran bila Paul dapat membiayai kuliah anaknya di Universitas Katolik Parahyangan berkat menjual koleksi perangkonya tersebut.
Paul Tedjasurja saat ini tinggal dan menetap di sebuah rumah sederhana nan nyaman yang terletak di Komplek Kopo Permai Bandung. Hidup damai bersama istri tercintanya Nyonya Herawati, seolah dibuktikan di dalam kartu namanya yang tertulis nama Paul Tedjasurja dan istri. Ia pun telah dikarunia 3 orang anak dan saat ini telah menjadi kakek dari 6 orang cucu yang dimilikinya. Meski usianya kini genap 85 tahun, namun tubuhnya masih tampak sehat dan daya ingatnya pun masih cukup tajam. Sekarang dan selamanya, Paul Tedjasurja adalah sebuah contoh sejati bagi pewarta kesetiaan. Nama dan karyanya akan selalu hidup dan menjadi berkat abadi dalam peradaban fotografi kita. Dengan pengantaraan cahaya yang menerangi Paul Tedjasurja, marilah kita selalu mengenangkannya dalam laku dan sikap kita.
Sumber Tulisan
– Wawancara dengan Paul Tedjasurya. Bandung, 25 Maret 2015.
– Media Indonesia. 25 April 2005. “Semangat Paul Setelah 50 Tahun”.
– Suara Pembaharuan. 20 April 2005. “Paul Ingin Hadir di Gedung Merdeka”.
– Pikiran Rakyat. 18 April 2005. “Jepretan Om Paul Abadikan KAA 1955”.
– Kompas. 18 September 1996. “Paul Tedja Surya : The Public Eye”.
– Majalah Fotomedia. Februari 1995. “Paul Tejasurya : Wartawan Foto Dari Kota Kembang”.
– Majalah Gembira. 11 Pebruari 1956. “Wartawan Foto Kita”.
@galihsedayu | bandung, 25 maret 2015
Copyright (c) 2015 by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Nyanyian Pemersatu Dari Lubuk Hati Soeria Disastra
Teks & Foto oleh galih sedayu
Umurnya sudah genap berusia 72 tahun, namun tubuhnya masih kelihatan tegap dan perawakannya pun masih tergolong sehat dan bugar. Meski rambutnya sudah mulai memutih, namun raut wajahnya masih memancarkan keramahan yang menghangatkan. Penampilannya sangat sederhana, dengan kemeja tangan pendek bermotif garis lurus serta celana panjang berbahan kain yang dikenakannya. Teh hangat yang langsung dituangkan olehnya sendiri ke dalam gelas-gelas kecil serta suguhan pisang yang diberikan, menjadikan bukti bahwa betapa baiknya manusia satu ini. Itulah sosok seorang Soeria Disastra, tatkala saya dan beberapa teman berkesempatan menyambangi rumah sekaligus toko peralatan musik miliknya yang terletak di Jalan Kepatihan No.61 Bandung. Soeria Disastra adalah seorang tokoh Tionghoa yang kerap disebut sebagai “seniman pemersatu”. Ia sangat menyukai sastra, yang sekaligus digunakan olehnya sebagai jembatan untuk menyambungkan berbagai perbedaan budaya. Kesusastraan Tionghoa, Sunda & Indonesia dilebur olehnya menjadi sebuah entitas penting dalam upaya mempersatukan keberagaman. Beratus-ratus puisi dan puluhan prosa telah ia terjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa serta menerbitkannya ke dalam sejumlah buku. Diantaranya Antologi Prosa & Puisi, “Senja di Nusantara” (2004), Terjemahan Puisi Baru Tiongkok “Tirai Bambu” (2006), dan sebuah buku berbahasa Tionghoa yang berjudul “Tak Pernah Aku Melihat Bulan” (2010). Karena jejak-jejak karya yang lahir darinya, ia pun terpilih sebagai salah satu dari sepuluh finalis Danamon Awards pada tahun 2010, yakni sebuah ajang penghargaan bagi tokoh-tokoh yang dianggap penting dalam gerakan kemanusiaan di bumi pertiwi.
Dalam pertemuan tersebut, Soeria banyak bercerita perihal berbagai pengalamannya waktu kecil. Salah satu yang menarik adalah peristiwa yang ia alami ketika masih duduk di bangku sekolah menengah dasar. Kala itu ia bersama seorang temannya, sedang bermain di area sekitar gedung merdeka Kota Bandung. Meski momen itu bertepatan dengan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955, Soeria kecil melihat bahwa suasana pada saat itu tidaklah begitu ramai. Kemudian ia menuturkan bahwa saat itu pula ia bertemu secara tidak sengaja dengan Chou En Lai, yakni Perdana Mentri Republik Rakyat Tiongkok yang sedang berjalan ditemani oleh para pengawalnya di sekitar Gedung Merdeka. Karena Nama Chou En Lai begitu sangat populer dan sering diajarkan di sekolah-sekolah Tionghoa, Soeria pun langsung mengenali sosok perdana mentri tersebut dan dengan serta merta memanggil nama Chou En Lai. Menurut Soeria, saat itu Chou En Lai hanya menengok ke arahnya sekejap dan kemudian kembali berjalan bersama para pengawalnya. Meski peristiwa itu hanya berlangsung singkat, namun ingatan tersebut masih membekas hingga kini di dalam kepala seorang Soeria Disastra.
Soeria Disastra lahir dan menetap di Kota Bandung meskipun seringkali ia berpindah-pindah tempat. Ia banyak mengeyam pendidikan di sekolah-sekolah Tionghoa dari mulai tingkat sekolah dasar, menengah hingga umum. Karena minatnya yang tinggi terhadap budaya dan bahasa, ia pun akhirnya memilih kampus Akademi Bahasa Asing (ABA) di Jalan Cihampelas Bandung yang sekarang namanya menjadi Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA). Setelah lulus kuliah, ia mulai fokus untuk mengelola usaha pribadi yang digelutinya sampai saat ini. Ia pun turut aktif dalam Komunitas Sastra Tionghoa Indonesia dan mengelola Paduan Suara Kota Kembang yang sejak dulu didirikan. Kini, Soeria tengah membantu penyusunan buku sejarah yang akan dibuat dalam rangka memperingati Konferensi Asia Afrika yang ke-60 tahun. Bahkan ia pun sengaja menciptakan lirik lagu yang berjudul “Bangkit dan Terbang Asia Afrika” sebagai salah satu persembahan yang diberikan olehnya bagi warga Kota Bandung dan bangsa Asia Afrika. Soeria berharap bahwa nilai-nilai Dasa Sila Bandung yang telah dihasilkan dari Konferensi Asia Afrika tahun 1955, dapat diterapkan dan dilaksanakan dengan baik oleh kita semua. Ia pun sangat menaruh harapan bahwa Bandung dapat menjadi simbol pemersatu bangsa Asia Afrika meski dengan berbagai perbedaan budaya. Bila Kota Jakarta adalah ibukota negara Indonesia, namun Bandung adalah ibukota Asia Afrika. Tentunya tanggung-jawab besar itu mesti kita pikul bersama. Karena sesungguhnya kekuatan Bandung itu adalah Kolaborasi yang menjadi Aksi.
@galihsedayu | Bandung, 23 Maret 2015
Copyright (c) 2015 by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.