I'LL FOLLOW THE SUN

Love, Light, Live by galih sedayu

Archive for April 2015

Litani Paul Tedjasurya | Photo Book of “Bandung 1955”

with 4 comments

Teks oleh galih sedayu | Foto oleh Paul Tedjasurya

Pada suatu malam yang dingin di Kota Bandung, di pertengahan bulan April tahun 1955, seorang pemuda sederhana berusia 25 tahun tengah mempersiapkan peralatan tempur fotografinya demi mengabadikan sebuah peristiwa yang sangat bersejarah yakni Konperensi Asia Afrika (KAA) Bandung. Kamera Leica III F seberat 1,5 kg, lampu kilat seberat 8 kg, perangkat aki untuk pencahayaan tambahan (blitz) serta sejumlah roll film hitam putih menjadi saksi bisu perhelatan KAA yang kini telah menjadi peristiwa legendaris di dunia. Di hari senin yang cerah, tanggal 18 April 1955, tepat pukul 07.00 pagi, pemuda tersebut langsung bergegas menuju Gedung Merdeka Bandung di Jalan Asia Afrika dengan menunggangi motor 250 cc merk Jawa (BSA) miliknya. Saat itu ratusan warga baik dari dalam Kota Bandung maupun dari luar Kota Bandung sudah berkerumun berdiri dan berbaris rapi di sisi-sisi jalan Asia Afrika sembari menunggu kedatangan para tamu delegasi KAA. Sekitar pukul 08.00 pagi, akhirnya para undangan yang dihadiri 29 negara peserta KAA tersebut mulai keluar dari persinggahannya di Hotel Savoy Homann yang juga terletak di Jalan Asia Afrika. Mereka semua berjalan kaki menuju Gedung Merdeka yang letaknya tidak terlalu jauh dari Hotel Savoy Homann. Kala itu sejumlah wajah para pemimpin dunia pun tercatat dan terekam oleh mata pemuda ini dari mulai Jawaharlal Nehru (India), Chou En Lai (Cina), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Norodom Sihanouk (Kamboja), U Nu (Birma) dan lain sebagainya. Sekira pukul 10.00 pagi, sebuah mobil buick buatan tahun 1945 berhenti di persimpangan Jalan Braga & Jalan Asia Afrika (Tepat di depan Apotek Kimia Farma Braga Sekarang). Tak lama kemudian muncul dari dalam mobil tersebut, Presiden & Wakil Presiden pertama negara Indonesia yakni Bung Karno & Bung Hatta, sebagai tuan rumah yang akan membuka kegiatan KAA. Kemudian pemuda itu pun mengikuti kedua tokoh tersebut hingga masuk ke dalam Gedung Merdeka yang menjadi tempat utama kegiatan KAA yang berlangsung dari tanggal 18 – 24 April 1955. Dan dari dalam gedung itulah, sejarah mencatat nama baik Bandung dan Indonesia kala itu. Rentetan kejadian dan momen yang sangat langka itu, secara apik berhasil dibekukan oleh pemuda yang penuh semangat tersebut. Dimana karya foto hasil bidikan pemuda itu kini telah menjadi bukti nyata keharuman dan kebesaran peristiwa KAA yang terjadi 60 tahun silam.

Paul Tedjasurya. Itulah nama pemuda tersebut yang kini telah menjadi tokoh legenda Kota Bandung, yang berhasil merekam sekitar 300 gambar perihal kegiatan KAA dari mulai suasana konperensi hingga para tokoh dunia yang hadir waktu itu. Saat peristiwa KAA berlangsung, Paul Tedjasurya yang akrab dipanggil dengan sebutan Om Paul ini masih menjadi fotografer lepas atau Freelance di berbagai media cetak. Salah satunya adalah Media Pikiran Rakyat (PR) yang kerap menggunakan kontribusi karya foto milik Paul. Menurut Paul, ada beberapa rekan fotografer lain yang turut pula mengabadikan momen KAA tersebut yakni Dr. Koo Kian Giap (Antara), Lan Ke Tung (PAF/Antara), Johan Beng (Antara), dan AS James. Namun kini mereka semua telah tiada. Sesungguhnya, pendokumentasian peristiwa KAA yang dilakukan Paul tersebut merupakan momen perdana atau pertama kalinya ia memotret kegiatan bertaraf internasional. Ketika Paul meliput acara pembukaan KAA, ia pun menuturkan bahwa selama di dalam Gedung Merdeka, para wartawan tulis dan foto diminta untuk tidak boleh terlalu dekat dengan para delegasi negara sehingga mereka ditempatkan di sebuah balkon khusus di sana. Acara pembukaan KAA tersebut berakhir sekitar pukul 13.00 siang yang dilanjutkan dengan penyelenggaraan sidang di Gedung Dwi Warna yang terletak di Jalan Diponegoro Bandung. Menjelang sore, Paul pun bergegas pergi untuk mencuci dan mencetak roll film hasil rekamannya yang dilakukan di kamar gelap sebuah ruangan, yang berlokasi di Jalan Naripan No.4 Bandung (Kini menjadi halaman parkir Bank Jabar). Untuk proses tersebut, Paul melakukannya dengan cepat selama kira-kira setengah jam agar hasil fotonya dapat segera dikirim ke redaksi PR sebelum pukul 4 sore. Kala itu pula, seorang fotografer AP sempat meminta tolong kepada Paul untuk dapat membantu mencetak foto-fotonya. Setelah semuanya selesai, Paul pun kembali mendatangi resepsi yang digelar untuk menjamu para tamu delegasi negara peserta KAA.

Surabaya menjadi kota kelahiran seorang Paul Tedjasurya, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1930. Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, ia masih duduk di bangku sekolah MULO (sekolah belanda setingkat SMP) di daerah Praban yang kini terletak di sekitar SMP 3 Surabaya. Ia pun menuturkan bahwa pada tanggal 7 November 1945, Jenderal Mansergh NICA kala itu menjatuhkan ultimatum lewat selebaran yang dijatuhkan dari ketinggian pesawat di atas langit biru surabaya. Ia ingat benar dengan peristiwa tersebut karena saat itu ia pun ikut berebut memunguti selebaran tersebut bersama kawan-kawannya. Setelah ia lulus sekolah menengah pada tahun 1949, ia pun hijrah dari Kota Surabaya menuju Kota Bandung atas ajakan seorang pamannya dikarenakan ayahnya yang bekas tahanan Kenpeitai, Jepang meninggal dunia setelah menderita sakit-sakitan selama kurang lebih 5 tahun. Di Kota Bandung lah, ia mulai jatuh cinta kepada dunia fotografi dan mulai belajar memotret sejak berumur 21 tahun. Ia pun kemudian menjalani kehidupannya sebagai pewarta lepas di sebuah majalah yang bernama “Gembira” serta menjadi pewarta lepas di sebuah agensi yang bernama “Preanger Foto” yang bertugas memasok karya foto ke perusahaan Jawatan Penerangan Jawa Barat, dimana calon mertuanya yang bernama Njoo Swie Goan bekerja di sana. Njoo sendiri sebenarnya merupakan anggota Perhimpunan Amatir Foto (PAF), yaitu sebuah klub foto tertua di Indonesia yang hingga kini masih ada. Njoo terkenal dengan hasil karya fotonya yang berani tatkala merekam peristiwa keganasan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) dengan tokohnya Kapten Westerling yang terjadi di bandung pada bulan januari 1950. Berkat Njoo itulah, Paul muda mendapatkan ilmu fotografinya serta dibekali kamera Leica III F yang menjadi kamera pertama miliknya untuk digunakan dalam meliput kegiatan KAA tahun 1955. Ia menyebutkan bahwa kamera Leica tersebut saat itu merupakan satu-satunya tustel yang kecil dan bisa menghasilkan frame dalam format panjang atau format panorama. Sayangnya, pada tahun 2000 kamera tersebut ia jual kepada seorang kolektor seharga ratusan ribu rupiah saja dan ditukar dengan beberapa lensa. Yang lebih mengenaskan adalah pada saat peringatan 30 tahun KAA pada tahun 1985, dimana ia kehilangan sejumlah karya foto KAA 1955 beserta negatif miliknya, yang dipinjam oleh seseorang dari pemerintah dan hingga kini tidak pernah dikembalikan dan tidak pernah jelas rimbanya. Namun ia pun memiliki pengalaman yang menarik selama memotret KAA, yaitu tatkala seorang wartawan asing menjadikan pundaknya sebagai tripod atau penyangga kamera saat berada di bandara Hussein Sastranegara. Meskipun begitu ia tidak marah dan dengan senang hati melakukan hal tersebut demi solidaritas terhadap rekan seperjuangannya. Bila kita bayangkan peristiwa tersebut, barangkali momen itu adalah sebuah pemandangan langka yang jarang kita lihat dewasa ini.

Kiprah Paul Tedjasurya sebagai seorang pewarta foto sebenarnya sudah mulai tercium oleh berbagai media di jamannya. Terbukti ketika ia masih menyimpan dengan baik kliping dari sebuah majalah “Gembira” yang memuat profilnya pada tanggal 11 Februari 1956. Di dalam majalah tersebut, dimuat foto Paul muda yang terlihat sedang mengintip jendela pembidik kamera Leica miliknya. Dan di dalam majalah tersebut diberitakan seperti ini,

Memperkenalkan :

WARTAWAN FOTO KITA

Bagi penduduk kota Bandung dan sekitarnja ia sudah tjukup dikenal. Baik dikalangan djembel maupun dikalangan ningratnja. Atau bagi parapeladjari mahasiswa maupun diorganisasi bahkan sampai kepada kalangan Angkatan Perangnja.

Kemudian di bawah foto Paul Tedjasurya tertulis seperti ini,

Paul sedang beraksi ketika ada pertandingan poloair dipemandian Tjihampelas Bandung.

Lihat duduk seenaknja dispringlank jang paling atas, dan tjoba gojang sedikit sadja pangkal papan itu pasti ia akan terdjun kedasar pemandian.

Pun tjoba lihat persiapan jang selalu dibawanja kalau ia bertugas.

Toestel Leica dengan telelensanja dan resvre Super Ikonta tamabah satu tas berisi pilem2 dan lain jang diperlukan untuk melantjarkan kerdjanya.

Tahan tuh ………………………………………………………..

Lalu berita tentang Paul Tedjasurya tertulis seperti ini,

Sebab hampir pada tiap upatjara umum apa sadja atau pada kedjadian2 penting dia selalu muntjul dengan “sendjata”nja, untuk hilir mudik di tempat tsb. Guna “menembaki” sesuatunja jang dianggap djadi objek jang baik.

Itulah Sdr.Paul The jang selalu dipanggil oleh rekan wartawan lain dengan Bung Paul. Ia adalah wartawanfoto dari Preanger Studio Bdg, inklusip

wartawanfoto madjalah kita : “GEMBIRA”.

Makanja kalau selama ini Tuan atjap menemukan gambar2 jang tertera dihalaman madjalah kita ini, baik dihalaman tengah atau dihalaman lain jang tak bertanda, itu adalah hasil dari “tembakan2”nja.

Djadi wartafoto melelahkan sekali – katanja – dan kadangkala mendjemukan. Tjoba – katanja lagi – kalau sedang menghadiri suatu upatjara atau lain perajaan apa sadja, saja harus menunggu sampai babak terakhir. Beruntung kalau upatjara itu berdjalan dengan landjar, tapi paling mendjengkelkan kalau sudah djam karet jang dipergunakan dan ditambahi dengan pertelean yang bertele-tele. Kalau wartawan tulis bisa meninggalkan itu lalu esoknja bisa meminta berita selengkapnja, tapi bagi kami – wartawanfoto – hal ini tak mungkin, tertambah tak sampai hati meninggalkan upatjara itu atau lainnja sebelum habis.

Memang utjapan ini ada betulnja. Sebab tak djarang dia pulang larutmalam, kalau sudah menghadiri satu perajaan atau lainnja, jang mungkin termasuk upatjara jang memakai djam karet dan bertele-tele pula. Kadang lewat djam malam, sedang selalu pula ia pada siangnja hanja mengaso satu atau dua djam sadja. Malah tak djarang ia nonstop dari pagi sampai tengah malam terus2an tjetrak-tjetrek dengan alatnja. Bergantung dengan banyaknja undangan jang semua harus didatangi dan minta semua diabadikan.

Namun demikian Paul tidak pernah lelah kelihatan. Ia menjadari bahwa wartawan adalah trompet masjarakat. Abdi rakjat. Dan sama dimengerti bahwa wartawan tulis hanja bisa muat berita disuratkabar untuk dibatja, tapi tidak mendalam kesan akan sesuatunja kalau tidak ada gambar2nja.

Last but not least : bahwa wartawan fotolah jang paling berbahagianja diantara wartawan2 lainnja. Tjona sadja, kalau tiap menghadiri satu perajaan dll, baru sadja dia masuk sudah banjak – jang minta diopname walaupun simanusia itu bukan orang penting pada upatjara tsb. Dan jang begini ini sudah terang menimbulkan keirian pada wartawan2 tulis lainnja. (JW).

Meski Paul Tedjasurya sudah menjadi kontributor koran Pikiran Rakyat sejak tahun 1953, namun baru pada tahun 1985, ia secara resmi menjadi wartawan Pikiran Rakyat dan sejak saat itu telah mengabdi selama kurang lebih 20 tahun lamanya. Berkat dedikasinya terhadap PAF dan dunia fotografi pula, pada tahun 1997 bersamaan dengan HUT PAF ke-73, ia mendapat gelar kehormatan Honorary Perhimpunan Amatir Foto (Hon.PAF). Penghargaan ini diberikan oleh Dewan Pertimbangan Gelar PAF kepada Paul Tedjasurya yang bernomor anggota PAF 026, yang disaksikan oleh 217 anggota PAF yang hadir di Cisarua Lembang. Selain fotografi, ternyata ia pun memiliki hobi lain yaitu mengumpulkan perangko. Uniknya, ia menggabungkan kedua hobi antara fotografi dan mengumpulkan perangko ini yang sering disebut sebagai Foto-Filateli. Boleh jadi Paul Tedjasurya adalah orang pertama di Indonesia yang memadukan obyek foto dengan filateli dan autogram. Karenanya sebelum KAA berlangsung, ia pun sudah memotret Gedung Merdeka sebagai tempat berlangsungnya konperensi tersebut. Bertepatan dengan pembukaan konperensi, pihak Pos & Giro (Pos Telepon dan Telegram / PTT pada waktu itu), menerbitkan perangko seri KAA. Kemudian Paul pun membeli beberapa edisi perangko tersebut, untuk kemudian ditempelkan di belakang foto Gedung Merdeka yang telah ia persiapkan sekaligus meminta stempel hari pertama kepada petugas PTT setempat. Foto perangkonya ini tentunya memiliki nilai lebih dibandingkan dengan sampul hari pertama (first day cover) yang biasa. Tak heran bila Paul dapat membiayai kuliah anaknya di Universitas Katolik Parahyangan berkat menjual koleksi perangkonya tersebut. Paul Tedjasurya saat ini tinggal dan menetap di sebuah rumah sederhana nan nyaman yang terletak di Komplek Kopo Permai Bandung bersama istri tercintanya Nyonya Herawati. Ia pun telah dikarunia 3 orang anak dan saat ini telah menjadi kakek dari 6 orang cucu yang dimilikinya. Meski usianya kini genap 85 tahun, namun tubuhnya masih tampak sehat dan daya ingatnya pun masih cukup tajam.

Berbicara perihal Konperensi Asia Afrika yang dilaksanakan di Kota Bandung, tentunya dilatar-belakangi oleh berbagai peristiwa dunia yang mendahuluinya. Sebagaimana kita ketahui, sebelum perang dunia kedua terjadi, negara-negara dunia ketiga yang terletak di kawasan benua Asia dan Afrika pada umumnya adalah daerah jajahan. Namun setelah berakhirnya perang dunia kedua pada bulan Agustus 1945, negara-negara tersebut mulai bangkit dan semakin meningkatkan perjuangan mereka untuk meraih kemerdekaan. Hal itulah yang menyebabkan timbulnya konflik dan pergolakan di berbagai tempat seperti konflik di Semenanjung Korea, Vietnam, Palestina, Yaman, Daratan China, Afrika, termasuk Indonesia. Kondisi keamanan dunia yang masih belum stabil pasca berakhirnya perang dunia kedua tersebut semakin diperparah dengan munculnya perang dingin antara dua blok yang saling berseberangan yakni Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet. Kedua kekuatan besar yang saling berlawanan baik secara ideologis maupun kepentingan tersebut terus berkompetisi untuk membangun senjata modern, sehingga situasi dunia pada saat itu selalu diselimuti oleh kecemasan akan terjadinya perang nuklir. Kondisi itulah yang kemudian mendorong negara-negara yang baru merdeka untuk menggalang persatuan dan mencari jalan keluar demi meredakan ketegangan dunia yang kian memuncak dan turut menjaga perdamaian.

Sebelum Konperensi Asia Afrika (KAA) dilaksanakan di Bandung, sebenarnya telah terlebih dahulu dilaksanakan pertemuan pendahuluan di Colombo (Srilanka) pada tanggal 28 April s/d 2 Mei 1954. Pertemuan inilah yang dikenal dengan nama Konperensi Colombo. Hasilnya adalah kesepakatan untuk menyelenggarakan konperensi lanjutan antar negara-negara Asia Afrika. Kemudian pertemuan selanjutnya digelar di kota Bogor, Jawa Barat pada tanggal 28-31 Desember 1954. Dimana pertemuan ini membahas mengenai persiapan penyelenggaraan KAA. Konperensi di Bogor ini dikenal sebagai Konperensi Panca Negara yang menghasilkan beberapa kesepakatan yaitu Mengadakan Konperensi Asia Afrika di Bandung pada bulan April 1955, Menetapkan kelima negara peserta Konperensi Panca Negara (Konperensi Bogor) sebagai negara-negara sponsor, Menetapkan jumlah negara Asia Afrika yang akan diundang serta Menentukan tujuan pokok Konperensi Asia Afrika. Adapun para tokoh yang menjadi pelopornya adalah Ali Sastroamijoyo (Perdana Mentri Indonesia), Shri Pandit Jawaharlal Nehru (Perdana Mentri India), Mohammad Ali Jinnah (Perdana Mentri Pakistan), Sir John Kotelawa (Perdana Mentri Srilanka) dan U Nu (Perdana Mentri Burma/Myanmar).

Selain isu kepentingan bersama negara-negara Asia Afrika dan juga isu peningkatan kerjasama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya, isu lain yang menjadi tujuan penyelenggaraan Konperensi Asia Afrika ini adalah masalah kedaulatan negara, imperialisme, dan masalah-masalah rasialisme serta masalah kedudukan negara-negara Asia Afrika dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia. Oleh karenanya, Konperensi Asia Afrika yang dilaksanakan Bandung pada tanggal 18-25 April 1955 menjadi titik terang dalam upaya memecahkan berbagai persoalan bangsa tersebut dari mulai masalah irian barat, masalah rakyat yang masih terjajah di Afrika Utara, masalah pelucutan senjata, kerjasama internasional, rasialisme (perbedaan warna kulit), hak menentukan nasib sendiri, serta usaha untuk meningkatkan kerjasama bidang ekonomi, sosial, budaya dan hak asasi manusia. Konperensi yang dibuka secara resmi oleh Presiden Sukarno pada tanggal 18 April 1955 tersebut dihadiri oleh 29 negara, dan 6 diantaranya adalah negara-negara Afrika. Sejarah pun mencatat ada 29 negara yang terlibat dalam Konperensi Asia Afrika di Bandung yaitu Afganistan, Burma, Ethiopia, Filipina, Ghana, India, Indonesia, Irak, Iran, Jepang, Kamboja, Laos, Libanon, Liberia, Libya, Mesir, Nepal, Pakistan, RRC, Saudi Arabia, Srilanka, Sudan, Suriah, Thailand, Turki, Vietnam Selatan, Vietnam Utara, Yaman, dan Yordania.

Mengenai hasil utama Konperensi Asia Afrika yang terpenting adalah terjadinya sebuah kerjasama di antara negara-negara Asia Afrika. Selain itu, telah berhasil pula dirumuskan sepuluh asas yang tercantum dalam Dasasila Bandung yang berisi
poin-poin sebagai berikut 1) Menghormati hak-hak asasi manusia sesuai dengan Piagam PBB 2) Menghormati kedaulatan wilayah setiap bangsa 3) Mengakui persamaan semua ras dan persamaan semua bangsa baik besar maupun kecil 4) Tidak melakukan campur tangan dalam soal-soal dalam negara lain 5) Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian atau secara kolektif 6) Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain 7) Tidak melakukan agresi terhadap negara lain 8) Menyelesaikan masalah dengan jalan damai 9) Memajukan kerjasama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya 10) Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

Di tahun 2015 ini, di era kepemimpinan Presiden Jokowi yang kini menjadi pemimpin Indonesia, tatkala Bandung dipimpin oleh Walikota Ridwan Kamil, peringatan Konperensi Asia Afrika kembali dirayakan secara istimewa karena menginjak usia yang ke-60 tahun. Tentunya kita semua masih ingat, bagaimana tokoh proklamator sekaligus Presiden Indonesia pertama, Soekarno, menyerukan pidato pentingnya di hadapan para pemimpin bangsa Asia Afrika dari 29 negara saat berlangsungnya Konperensi Asia Afrika di Bandung pada tanggal 18 April 1955. “Let a New Asia and a New Africa be Born” (Mari Kita Lahirkan Asia Baru dan Afrika Baru). Begitulah judul pidato Bung Karno yang begitu terkenal di seluruh dunia kala membuka kegiatan KAA tahun 1955. Kira-kira beginilah isi dari bagian akhir pidato Bung Karno tersebut,

Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin-pemimpin Asia Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia Afrika tidak akan terjamin. Saya harap konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian. Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan, bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah lahir!”

Kini genap 60 tahun sudah, peristiwa bersejarah Konperensi Asia Afrika tersebut menjadi jiwa abadi yang tak terpisahkan dari raga Bangsa Indonesia dan Kota Bandung khususnya. Untuk itulah kita semua hadir dan berkumpul kembali di Bandung, untuk merayakan serta mengenang momen-momen dan nilai-nilai penting dari Konperensi Asia Afrika tersebut, yang ditunjukkan melalui sebuah Pameran & Buku Foto bertajuk “Bandung 1955” karya Paul Tedjasurya sebagai salah satu pencatat sejarah yang kini masih hidup. Anggaplah jejak visual ini sebagai sebuah persembahan murni yang diberikan oleh warga Kota Bandung bagi dunia. Sembari memohon, sudilah kiranya semangat persaudaraan Asia Afrika yang dulu pernah terpupuk, hadir kembali dan menjelma abadi di masa kini. Sebab kini hati Bandung haus dan rindu akan solidaritas, seperti tanah kering dan tandus merindukan air. Demikian kita ingin memandang Bandung di tempat kediamannya, untuk merasakan kekuatan dan kemuliaan Bandung seperti dulu. Sebab Bandung yang kini menjadi harapan, di bawah naungan tubuh kota Bandung kita dapat bersorak kembali pada dunia. Untuk menyatakan dengan lantang bahwa “Bandung adalah ibukota negara-negara Asia Afrika!”

Bandung, 26 Maret 2015

Data Buku

  • Judul : Bandung 1955 | Moments of Asian African Conference

  • Fotografer : Paul Tedjasurja

  • Editor Foto & Teks : galih sedayu

  • Desainer Grafis : Adhytia Rizkianto | Anjar Gumilar D | Muhammad Ihsanuddin

  • Penerbit : Air Foto Network

  • Ukuran : 21,5 x 15,5 cm

  • Tebal : 80 Halaman

  • Cetakan Pertama : April 2015 | 500 eksemplar

  • ISBN : 978-602-14408-3-4

  • Harga : Rp 150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah)

  • Pemesanan : Air Foto Network | Komplek Surapati Core Blok M32 | Jalan PHH. Mustofa 39 | Bandung 40192 | Telepon 022-87242729

  • Contact Person : Sdri. Putu (0896-87123300) dan Sdr. Anjar (0813-20030939)

bdg 1955

paul tedja surya

galih sedayu

galih sedayu

galih sedayu

bandung 1955

galih sedayu

galih sedayu

galih sedayu

Copyright (c) 2015 
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.