Archive for October 2012
Angin Yang Berhembus Ke Kampung Cicukang
Foto & Teks : galih sedayu
Angin perubahan itu bisa terjadi di setiap sudut manapun dimana manusia bermukim. Ia bukan hanya keluar memanggil di pusat kota saja, melainkan kadang berhembus menuju kampung-kampung nun jauh di pinggir kota sana. Dari kampunglah, saat ini mulai terungkap berbagai cerita perihal semangat dan harapan yang sebelumnya jarang terdengar. Karenanya keberadaan entitas kampung tersebut dapat menjadi momentum awal akan sebuah pemahaman baru. Bahwasanya kekuatan sebuah kota yang dulunya kerap muncul dari tengah, kini ia hadir mengepung dari pinggir-pinggir kota yang kadang tak terlihat oleh mata kita. Meski kadang himpunan energi kampung ini mesti berjuang keras dan terus berproses demi membuktikan bahwa mereka bisa bermartabat di kampungnya sendiri.
Salah satu contoh dari yang telah disebutkan di atas adalah Kampung Cicukang. Kampung Cicukang II tepatnya RT 05 RW 07 ini termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Husein S, Kecamatan Cicendo yang diapit oleh Jalan Komud Supadio Bandung. Kampung Cicukang merupakan salah satu pemukiman padat di Kota Bandung yang lokasinya terletak di sepanjang pinggir rel Kereta Api. Di sanalah kita dapat menatap sebuah kampung yang hampir setiap 15 menit sekali, dilewati oleh gerbong-gerbong Kereta Api dengan suara gemuruh roda besinya. Karenanya Kampung Cicukang tersebut kerap dijadikan simbol gerbang masuk bagi gerbong-gerbong besi yang mengangkut ratusan manusia ke Kota Bandung. Sebagaimana kampung kota pada umumnya, beberapa permasalahan pun melekat di dalam tubuh Kampung Cicukang ini. Dari mulai kesulitan untuk mendapatkan air bersih, pembuangan sampah, tawuran pemuda, kesulitan ekonomi masyarakatnya, tata ruang yang semerawut, dan sejumlah masalah sosial yang timbul dari berbagai aspek yang ada. Namun ternyata, warga Kampung Cicukang ini memiliki modal yang sangat berharga. Mereka memiliki semangat kekompakan yang luar biasa. Mereka sangat mendambakan sentuhan kolaborasi dari sesamanya. Dan akhirnya aliran setrum itu pun menyengat di Kampung Cicukang. Melalui Program Akupuntur Kota yang dihadirkan oleh Bandung Creative City Forum (BCCF) dengan konsep Kampung Kreatifnya, keintiman yang berbuah kreativitas pun lahir di sana. Letupan-letupan kecil potensi & ide yang dimiliki oleh warga Kampung Cicukang ini menjadi sesuatu yang amat dibutuhkan demi membangun peradaban baru.
Dan denyut nadi lain di Kampung Cicukang ini pun mulai berdetak. Terdapat sekelompok ibu-ibu Kampung Cicukang yang membentuk sebuah grup bernama Musik Dapur Mekar Asih. Uniknya, mereka memainkan alat musik dari perabotan dapur yang sudah tidak terpakai. Ada wajan bolong, rantang-rantang bekas yang dirakit dengan pipa paralon, bekas galon minuman yang disulap jadi alat tabuh, dan lain sebagainya. Cerita humor pun muncul dari salah satu personil grup Musik Dapur Mekar Asih ini yang bernama Ibu Euis. Teman-temannya sering menyapa Ibu Euis dengan sebutan Agnes Monica. Entah mengapa yang pasti ngga banget miripnya. Ibu Euis sempat berujar bahwa sebelum meninggal, ia ingin sekali bertemu dengan idolanya semenjak kecil yaitu Haji Roma Irama. Biar tidak penasaran dan melengkapi hidup katanya. Semoga Bang Haji membaca tulisan ini dan segera pindah rumah. Pada saat ibu-ibu ini tampil di depan panggung, semangat dan keceriaan mereka sangat tampak terlihat. Tak kelihatan raut wajah mereka yang menunjukkan ekspresi canggung saat tampil di depan penonton. Meski kadang suara-suara musik dapur itu hilang ditelan suara roda besi yang menyentuh rel di saat Kereta Api datang melewati kampung tersebut. Lalu energi lain muncul dari kelompok anak mudanya. Selain mereka membuat mural kampung, mereka menciptakan wayang yang terbuat dari seng dan memasangnya di sepanjang pinggir kampung mengikuti jalur Kereta Api. Semacam Kinetic Art konsepnya. Menurut mereka, rencananya suatu saat akan dibuat wayang seng skala gigantik sebagai penanda keberadaan Kampung Cicukang tersebut. Lain halnya dengan kuliner Kampung Cicukang yang tak kalah uniknya. Ada makanan yang dinamai Martabak Israel, Cidog (Aci & Endog), Perkedel Bondon, dan Kerupuk Seblag oleh para warganya. Semuanya ini terlihat jelas kala diadakan Festival Kampung Cicukang sekaligus peresmiannya pada hari minggu tanggal 7 Oktober 2012.
Inilah sekelumit cerita tentang Kampung Cicukang yang (memang) tak sepenuhnya lengkap dan indah. Karena masih banyak sebenarnya realitas permasalahan yang tersisakan dan mau tidak mau mesti dihadapi oleh warganya. Isu sampah dan air misalnya. Meskipun demikian, selalu ada seberkas cahaya mentari yang menyinari Kampung Cicukang ini. Dari sanalah semua kisah perubahan itu semestinya berawal. Sebuah kampung yang mandiri, yang bagi sebagian orang menjadi representasi wilayah kumuh dan tidak berestetika. Namun demikian, kita perlu mengupayakan ke depan agar citra Kampung Cicukang dapat menjadi semacam backstage tourism, yang memiliki potensi wisata dari sisi lain yang menyelimutinya. Meski ia tentunya berbeda dengan etalase wisata resmi yang eksotis plus indah menawan pada umumnya. Tetapi kita harus percaya bahwa keberadaan kampung-kampung seperti inilah yang sebenarnya menopang tubuh sebuah kota. Agar ia selalu berdiri tegak setiap harinya dari mulai matahari terbit di ufuk timur dan terbenam di ufuk barat. Sehingga kelak kita bisa menitipkannya kepada anak dan cucu kita seraya berkata, “Inilah Kampungmu, Jadikanlah Kotamu”.
Bandung, 13 Oktober 2012
copyright (c) 2012 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Kebhinnekaan Itu Bernama Nusantara
Foto & Teks : galih sedayu
Bumi pertiwi ini tidak pernah membedakan.
Ia selalu menjadikan keberagaman itu tetap satu.
Tatkala kadang kita cenderung memisahkan.
Lalu mengapa?
Ribuan budaya ini seharusnya menjadi kekuatan.
Bukannya ketakutan.
Sudah semestinya kita menyadari.
Bahwa jiwa & cita kita sebenarnya satu.
Ia tidak bisa dipecah belah.
Mungkin kita hanya perlu mengerti.
Tak perlu untuk dipertanyakan kembali.
Darimana asalnya?
Bangunlah dari tidur panjang kita.
Jangan pernah diam dalam kekayaan.
Bangsa kita menunggu kejayaan.
Jika tanah air adalah tempat kita berpijak.
Maka tunjukkanlah kepadanya.
Arti dari para penghuninya.
Jika memang benar bahwa kita merdeka.
Janganlah diam seribu basa.
Jadikanlah nusantara kita hidup selamanya.
Bandung, 8 Oktober 2012
copyright (c) 2012 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Pesan Dari Kampung Taman Hewan
Foto & Teks : galih sedayu
“Pada suatu tempat di Kampung Taman Hewan”
Pemantik semangat perubahan kota itu sesungguhnya tidak hanya datang dari otak-otak masyarakat kreatif yang tinggal di pusat kota saja. Himpunan Kampung Urban yang biasanya terpinggirkan dan dipandang sebelah mata oleh sebagian orang, ternyata dapat menjadi sebuah pusat energi kreatif pula yang membentuk peradaban kota. Meski kadang kelompok kampung ini terpaksa hidup terhimpit oleh tembok arogansi yang mengatasnamakan pembangunan kota. Mereka inilah sebenarnya yang diharapkan mampu untuk melawan segala superioritas dan rasa kecongkakan sekelompok orang/pengusaha yang berfikiran dangkal yang hanya memikirkan bagaimana menciptakan sejumlah ruang komersil di sebuah kota.
Kampung Taman Hewan adalah salah satu areal dan kawasan marjinal di Kota Bandung yang mencoba tumbuh dan bergerak di antara pembangunan fisik yang mulai mengepung. Kampung Taman Hewan RW 08 ini termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong dan terletak di belakang Kebon Binatang, Jalan Taman Hewan Kota Bandung. Bila kita berdiri tepat di lapangan tengah Kampung Taman Hewan (yang biasanya digunakan sebagai lapangan sepakbola) dan menghadap ke sisi sebelah barat , maka kita akan melihat bahwasanya kampung ini bak dipagari oleh bangunan tinggi menjulang yang rencananya akan dijadikan rumah susun. Tak ada lagi pemandangan belantara hijau menyejukkan dan kicau unggas beterbangan yang dulunya sempat dimiliki oleh kawasan tersebut. Uniknya, Kampung Taman Hewan ini memiliki salah satu tokoh masyarakat yang masih muda. Masyarakat kampung ini memanggil namanya dengan sebutan Tjuki atau Cuki. Maklum, ia adalah pentolan dari band punk bernama Tjukimay yang telah dirintisnya sejak tahun 2000. Saat ini Cuki banyak memprovokasi warga Kampung Taman Hewan untuk menjadi produktif dan mengajarkan nilai-nilai kemandirian yang kelak dapat meningkatkan martabat kampung tersebut.
Program Akupuntur Kota adalah sebuah gagasan sederhana dari Bandung Creative City Forum (BCCF) yang mencoba menciptakan berbagai Kampung Kreatif di Kota Bandung. Kampung-Kampung ini nantinya diharapkan mampu untuk menjadi model & contoh nyata dari sebuah Social Movement yang diusung oleh masing-masing warga kampung tersebut. Sehingga berkat perubahan kecil yang dilakukan oleh masing-masing kampung inilah, yang pada akhirnya diharapkan mampu membuat sejumlah perubahan besar di Kota Bandung. Kampung Taman Hewan adalah salah satu kampung kota yang menjadi titik akupuntur permasalahan sebuah kota. Melalui sebuah gelaran kreatif yang bernama Festival Kampung Tamansari, Lapangan Tengah Kampung Taman Hewan (yang merupakan bagian dari perkampungan di daerah tamansari) disulap menjadi sebuah arena ruang publik dan tempat bersinerginya sebagian besar komunitas Kota Bandung. Kampung Taman Hewan inilah yang diharapkan mampu menjadi salah satu ruang publik masyarakat Kota Bandung. Tidak hanya Mall & Factory Outlet saja yang malahan kerap menimbulkan kemacetan dan degradasi sosial.
Tentunya kita semua sadar benar, bahwa perlu adanya sinergi bersama untuk merealisasikan mimpi sebuah kota yang ideal. Untuk itu BCCF pun menggandeng Keluarga Mahasiswa Seni Rupa (KMSR) ITB sebagai pelaksana kegiatan Festival Kampung Tamansari khususnya aktivitas yang dilakukan di Kampung Taman Hewan. Karena selain di kampung ini, Festival Tamansari juga menggelar sebuah program Mural Atap di kawasan Kebon Kembang. Tepatnya tanggal 20 September 2012 hingga 22 September 2012, Festival Kampung Tamansari ini dipersembahkan bagi khalayak umum. Sejumlah komunitas, pihak akademisi, instansi, seniman, dan warga kampung pun turut memberikan andil pada perhelatan di Kampung Taman Hewan tersebut. Dari mulai Hay Man Movement yang memberikan workshop melukis layang-layang, TPB FSRD ITB 2012 & senior KMSR ITB yang mengerjakan Mural Lapangan, Air Foto Network yang memberikan workshop foto jurnalisme warga, Pemutaran Film oleh Komunitas Layar Kita, Sentuhan kuas Tisna Sanjaya yang berduet dengan suara harmonika yang dilantunkan Hari Pochang, serta Video Mapping dari Interacta. Bahkan sejumlah musisi seperti Kasada, Trah Project, Pancasura, Karinding Sagara, Teman Sebangku, Nada Fiksi & Sound of Hanamangke turut memeriahkan Festival Kampung Tamansari tersebut. Kehadiran Walikota Bandung (Dada Rosada) dan Wakil Walikota Bandung (Ayi Vivananda) juga melengkapi simbol sinergisitas masyarakat sebuah kota. Meski sebenarnya sebagian besar pidato tentang kebakaran yang disampaikan secara panjang lebar oleh Walikota Bandung pada saat itu, agaknya kurang relevan dengan konteks kreativitas yang digelar di Kampung Taman Hewan ini. Namun biarlah.
Apa yang telah dilakukan oleh warga Kampung Taman Hewan ini adalah sebentuk kesadaran kolektif yang menawarkan sebuah pemikiran sekaligus getaran emosional bagi masyarakat kota dimanapun. Bahwa nun di kaki langit urban sebuah kota, masih ada dimensi lain yang merindukan keintiman di sana serta masih ada artefak peradaban yang merindukan sebuah perubahan. Karena sesungguhnya persoalan yang ingin mereka komentari adalah sebentuk masa depan yang terhalang. Masa depan sebuah kampung yang mungkin tertutup oleh tembok, debu & suara bising pembangunan. Serta ketidak adilan bagi mereka yang hendak membungkam suara-suara protes warga. Walaubagaimanapun hari esok Kampung Taman Hewan hanya ada pada upaya keras yang diperlihatkan oleh warganya. Juga solidaritas dan empati dari komunitas kotanya. Dan tentunya kemauan baik serta tindakan nyata dari pemerintahnya. Dalam kekuatan itulah semestinya kita percaya.
“Pada suatu masa di Kampung Taman Hewan”
Bandung, 5 Oktober 2012
copyright (c) 2012 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.