Archive for March 2014
Nyala Bandung Kala Malam
Teks & Foto : galih sedayu
*lirik lagu ini dinyanyikan pertama kali oleh willy derby & kemudian dilantunkan kembali oleh wieteke van dort
Hallo! Bandoeng!
‘t Oude moedertje zat bevend
Op het telegraafkantoor
Vriend’lijk sprak de ambt’naar
Juffrouw, aanstonds geeft Bandoeng gehoor
Trillend op haar stramme benen
Greep zij naar de microfoon
En toen hoorde zij, o wonder
Zacht de stem van hare zoon
Hallo! Bandoeng!
Ja moeder hier ben ik!
Dag liefste jongen,zegt zij met een snik
Hallo, hallo!
Hoe gaat het oude vrouw?
Dan zegt ze alleen:
Ik verlang zo erg naar jou!
Jongenlief, vraagt ze,hoe gaat het Met je kleine bruine vrouw?
Best hoor, zegt hij,en we spreken
Elke dag hier over jou
En m’n kleuters zeggen ’s avonds
Voor het slapen gaan een gebed
Voor hun onbekende opoe
Met een kus op jouw portret
Wacht eens, moeder, zegt hij lachend
‘k Bracht mijn jongste zoontje mee
Even later hoort ze duidelijk
Opoe lief, tabeh, tabeh!
Maar dan wordt het haar te machtig
Zachtjes fluistert ze:
O Heer Dank dat ‘k dat heb mogen horen…
En dan valt ze wenend neer
Hallo! Bandoeng!
Ja moeder hier ben ik!
Ze antwoordt niet.
Hij hoort alleen ‘n snik
Hallo! Hallo!…klinkt over verre zee
Zij is niet meer en het kindje roept: Tabeh
Bandung, 28 Januari 2014
copyright (c) 2014 by galih sedayu
all right reserved. no part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Oh Borobudur
oleh galih sedayu
Candi Borobudur. Keajaiban dunia ini sungguh ada nyata di bumi pertiwi yang kita pijak. Yang lama sudah sering dielukan dan kerap menjadi kebanggaan tanah air tercinta. Bahkan ketika Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra memiliki mimpi & kemudian membangunnya sekitar tahun 800 masehi. Candi seluas 123 x 123 meter persegi dengan 504 patung Buddha, 72 stupa berlubang dan 1 stupa yang menjadi mahkotanya tersebut, telah diakui sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO. Sejak ditemukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Pulau Jawa pada tahun 1814, Borobudur menjadi semakin harum namanya di belantara dunia. Candi Borobudur yang megah ini berjarak sekitar 40 kilometer (25 mil) arah barat laut dari Kota Yogyakarta. Terletak di atas bukit dimana borobudur seolah-olah dikawal oleh dua pasang gunung kembar yang mistis yakni Gunung Sundoro-Sumbing di sebelah barat laut dan Gunung Merbabu-Merapi di sebelah timur laut.
Namun sayang, warisan sejarah tersebut saat ini perlahan-lahan seperti dimutilasi. Banyak bagian tubuh patung Buddha yang bersemayam di sana kini mulai hilang. Terutama pada bagian kepala dan tangan patung Buddha tersebut yang lenyap entah kemana. Entah mengapa, bahwa di dunia ini masih ada orang-orang yang memilih untuk menjadi seorang perusak sekaligus pencuri artefak historis sebuah bangsa. Yang barangkali hanya demi alasan setumpuk uang, mereka rela menodai keluhuran dan kemuliaan sebuah warisan dunia yang semestinya masih bisa dipertahankan.
Sesungguhnya borobudur adalah sabda yang sudah menjadi daging dan tinggal di antara kita sejak lama. Yang hendaknya mesti kita rawat supaya bangsa kita dapat menikmati janji para leluhur sebelumnya. Agar kita selanjutnya dapat menanamkan pengertian akan keselamatan bagi generasi penerus bangsa. Sehingga Borobudur selalu dapat menyinari bangsa kita tatkala meringkuk dalam kegelapan. Dan mengajarkan kita bahwa Indonesia memang patut dibanggakan.
@galihsedayu | yogyakarta 4 maret 2014
Copyright (c) 2014 by galih sedayu
All Right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Perjalanan Mensyukuri Kehidupan | “Through Flowery Eyes” Book by Ria Pasaman
Teks : galih sedayu
Ria Pasaman adalah satu dari sekian banyak traveller, seseorang yang gemar bepergian jauh untuk mendatangi serta menjelajahi tempat-tempat wisata yang ada di dalam maupun di luar negeri. Namun sesungguhnya ia bukanlah sekedar traveller biasa. Baginya berkeliling dunia adalah sebuah proses menikmati sekaligus wujud syukur dan rasa cintanya terhadap alam semesta. Karenanya ia memilih fotografi sebagai media rekam segala apa yang dilihatnya. Tak heran bila kemanapun ia pergi, kamera menjadi teman setia sejati yang selalu dibawa. Apalagi memotret adalah sebuah hobi yang sudah ia gemari sejak masih dibangku SMP.
Sejak kecil, sang ayah seringkali mengajak Ria dan keluarganya bepergian. Banyak kenangan indah yang ia dapatkan dari perjalanan-perjalanan tersebut. Namun, ada satu kenangan yang masih membekas indah di hatinya, yaitu saat ia dan sang ayah berkunjung ke World Trade Centre di Kota New York pada tahun 1979. Ketika berada di atas ketinggian gedung kembar tersebut, ia begitu kagum saat melihat indahnya pencakar langit yang menjulang tinggi. Dan saat itulah ia pun menyadari betapa indahnya dunia yang dilihat melalui matanya. Momen itulah pada akhirnya yang melahirkan mimpi dan keinginan yang begitu besar untuk dapat melakukan perjalanan ke seluruh penjuru dunia. Ia ingin dapat mempelajari adat istiadat masyarakat dari berbagai negara yang kelak dikunjunginya.
Harus diakui bahwa Ria jatuh cinta dan sangat menyukai travelling. Tapi yang dicintainya bukanlah jenis travelling yang dikejar-kejar oleh waktu atau yang dilakukan dalam waktu yang singkat. Ia adalah seseorang yang ingin menikmati keindahan dengan tempo dan ritme-nya sendiri, tanpa diburu-buru. Ia begitu menikmati perjalanannya ke tempat-tempat bersejarah, menjelajahi pasar tradisional, atau saat menyelam (diving) ke dalam laut sambil berenang bersama ikan-ikan cantik maupun whale shark seperti yang dilakukan olehnya di Nabire, Papua. Terbang di ketinggian 2000 meter dengan menggunakan pesawat jenis Ultralight di Nepal pun dilakukannya, hanya karena rasa penasarannya untuk menyentuh awan. Namun, ditengah semua petualangan tersebut, traveller yang satu ini tetap bisa meluangkan waktu sejenak sembari minum secangkir cappuccino serta menikmati santapan khas yang dihidangkan sebuah café di suatu negara. Biasanya sebelum bepergian jauh, ia mempelajari terlebih dahulu tempat-tempat yang akan dikunjungi. Dari mulai mengetahui suhu setempat agar ia tahu pakaian apa yang akan dibawanya sehingga dapat menyesuaikan dengan cuaca di sana. Serta menyusun rencana kunjungan hari demi hari sehingga waktu yang ia miliki tak akan terbuang sia-sia.
Ria Flowery demikianlah julukan yang melekat dalam dirinya. Nama unik itu muncul karena kecintaannya terhadap bunga-bunga dari mulai warna, wangi, hingga keunikan bentuk daun beserta putiknya. Saat perjalanan dimanapun, misalnya di sebuah pedesaan, sebisa mungkin ia akan berhenti untuk memotret bunga-bunga indah yang dilihatnya. Ketika berada di Tuscany, Itali, ia sengaja berhenti saat melihat himpunan bunga matahari yang sedang merekah indah di sebuah ladang yang luas. Butterflowery adalah julukan lain untuk Ria yang diberikan sahabatnya. Ria bagaikan seekor kupu kupu nan lincah yang terbang kesana kemari tanpa lelah dan hinggap di atas bunga-bunga untuk melihat keindahan dunia. Dari situlah muncul julukan Butterflowery, julukan yang benar-benar menangkap esensi dari seorang Ria Pasaman.
Keunikan lain yang dimiliki oleh Ria adalah gaya berbusana ketika melakukan travelling. Atribut fesyen dengan motif dan nuansa bunga seperti baju, tas, koper, topi serta payung warna warni selalu menjadi ciri khas yang melekat dalam dirinya ketika ia bepergian. Busana tradisional khas Indonesia pun selalu ia kenakan di setiap kesempatan perjalanannya. Dari mulai kain tenun asal Bali, Makasar dan Nusa Tenggara Timur hingga kain songket asal Palembang dan Padang. Tak sungkan ia berdandan bak wanita bali ketika mengunjungi Danau Bedugul di Negeri Dewata tersebut. Begitu juga dengan senang hati ia akan mengenakan kain sari saat mengunjungi Taj Mahal di Agra, India. Atau mengenakan baju kimono saat menyusuri keindahan kota tua di Kyoto, Jepang.
Di usianya yang genap mencapai setengah abad, tepatnya di bulan Maret 2014, terhitung ada sekitar 42 negara dengan ratusan kota yang sudah ia lihat, sentuh dan rasakan. Kini saatnya ia ingin berbagi kebahagiaan & pengalaman perihal perjalanan yang telah dilakukannya. Rasa syukur tak terkira atas semuanya itu dipersembahkan olehnya melalui sebuah buku fotografi. Harapannya, buku foto ini dapat menjadi rekaman abadi dan kenangan berarti bagi dirinya beserta keluarga serta para sahabat yang dicintainya. Selain tentunya menyumbangkan sebuah jejak kecil bagi dunia fotografi Indonesia. Selama ada nafas yang masih bisa ia hirup, selama ada kaki yang masih bisa ia jejakkan, matanya tak kan pernah berhenti untuk merekam dan terus merekam keindahan abadi yang dimiliki planet ini. Seperti sekuntum bunga yang sedang mekar, semerbak mewangi dan mengharumi bumi.
*Tulisan ini dibuat sebagai pengantar dari kurator untuk buku foto “through flowery eyes” karya ria pasaman
Bandung, 7 Februari 2014
copyright (c) by ria pasaman
all right reserved. no part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.