I’LL FOLLOW THE SUN | Love, Light, Live by galih sedayu
Pada mulanya cahaya. Cahaya kasih dan persaudaraan yang dengan tulus saya pancarkan dan haturkan bagi para sahabat. Sahabat sekalian yang telah berkenan meluangkan sepenggal waktunya untuk hadir. Hadir di kandang digital yang dibangun sejak tahun 2010 dengan nama “I’ll Follow The Sun”, sebagaimana saya menghargai matahari. Matahari dalam wujud syukur terhadap anugerah cinta, terang & hidup yang dilimpahkan oleh Sang Semesta. Sang Semesta yang sejak dulu kala bersabda pada manusia dan ruang. Ruang pun dimaknai melalui himpunan citra dan kata yang berjalan berdampingan bersama ide, kreativitas, dan empati. Empati yang terus mengasah keterampilan, wawasan, dan rasa dalam menjalani hidup. Hidup dalam laku perbuatan melalui belajar, berkarya, berjejaring, berdoa, berserah, bersyukur, dan berbagi. Berbagi mata waktu yang ada di jagat raya agar menjadi pelita. Pelita kecil yang terus menyalakan manfaat serta mewartakan kebaikan bagi siapapun yang ingin melihat dan membaca. Membaca catatan yang dinyatakan ke dalam ruang maya ini sehingga kelak menjadi jejak cerita. Cerita yang dipersembahkan teruntuk keluarga tercinta, para sahabat dan handai taulan, serta dunia. Dunia yang senantiasa menawarkan keajaiban. Keajaiban hubungan manusia beserta penciptanya.
In the beginning it was light. The light of love and brotherhood that I give to my friends. Friends who have made a little time to come. Come to the digital cage that I have built since early 2010 with the name “Ill Follow The Sun”, as I appreciate the sun. The sun is in the form of gratitude for the gift of love, light & life bestowed by the Universe. The Universe who has long spoken to humans and space. Space is also interpreted through a collection of images and words that go side by side with ideas, creativity and empathy. Empathy that continues to hone skills, insights, and a sense of life. Life in action through learning, working, networking, praying, surrendering, giving thanks, and sharing. Sharing the eyes and the words of time in the universe in order to become torch. Torch that continues to ignite benefits and proclaim goodness to anyone who wants to see and read. Read the notes that are stated in this virtual space so that later they become traces of the story. Story that dedicated to beloved family, friends and friends, and the world. The world that always offers miracles. The miracles of the relationship between humans and their creators.
***
galih sedayu adalah putra pertama dari pasangan orang tua yang bernama Agustinus Kayat & Dorothea Komyana. Menikah dengan Tya (Alm) dan dikarunia tiga orang putri yang bernama Trima (Alm), Tara serta Thalia. Mulai meniti karir secara profesional di bidang Industri Kreatif sejak tahun 1999. Saat ini menjabat sebagai Kurator dan Konsultan Event bidang Ekonomi Kreatif di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf RI), Deputi Pemasaran dan Komunikasi Publik di Indonesia Creative Cities Network (ICCN), dan Wakil Ketua Komite Penataan dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Bandung (Create.bdg). Menjadi salah satu pendiri berbagai organisasi diantaranya Indonesia Creative Cities Network (ICCN), Masyarakat Fotografi Indonesia (MFI), Asosiasi Profesi Fotografi Indonesia (APFI), dan Bandung Creative City Forum (BCCF). Menerbitkan beberapa Buku diantaranya Bandung From Spaces To Places, Bandung Nu Urang, Home Of Creative Minds, Bandung 1955 dan Deus Providebit. Direktur & Inisiator berbagai Festival Skala Internasional diantaranya Asian African Carnifal (Bandung), Indonesia Festival (Malaysia), Indonesia Week (Jepang), Wonderful Indonesia Festival (Thailand), dan Rawayan World Music Festival (Bandung). Direktur berbagai Festival Skala Nasional diantaranya Bandung Creative Hub Fest, Bandung Light Festival, Caang Fest, Cijaringao Music Festival, Crafashtival, Helar Fest, Indonesia Creative Cities Festival (ICCF), Milangkala Bandung Festivals, Ngora Bandung, dan Pasar Cijaringao Festival. Menjadi salah satu inisiator berbagai Ruang Publik seperti Bandung Creative Hub (BCH), Perpustakaan AFN, Simpul Space, dan Taman Foto Bandung. Menjadi Manajer di berbagai proyek seperti AJAR (ICCN), Bandung Creative Belt (Disbudpar Bandung), Kampung Kreatif (BCCF), Cijaringao Placemaking (Saung Udjo), Mata Warga (AFN), Peta Jalan Ambon Kota Musik (Kemenparekraf RI), dan UKM Award (Kemenkop & UKM RI). Aktif menjadi Juri, Konsultan, Kurator, Mentor, Nara Sumber, Pengajar, dan Fotografer. Aktif membuat karya foto dan menulis di kandang digital galihsedayu.com (I’ll follow the sun).
galih sedayu is the first son of an elderly couple named Agustinus Kayat & Dorothea Komyana. Married to Tya (RIP) and gifted with three daughters named Trima (RIP), Tara, and Thalia. Started a Professional Career in Creative Industry since 1999. Currently has various positions including Creative Economy Curator and Consultant of Event at Ministry of Tourism and Creative Economy of the Republic of Indonesia (Kemenparekraf RI), Deputy of Marketing & Public Communication at Indonesia Creative Cities Network (ICCN), and Vice Chairman of Bandung Creative Economy Committee (Create.bdg). Co-Founder of Indonesia Creative Cities Network (ICCN), Indonesian Photography Society (MFI), Association of Indonesian Photography Profession (APFI), and Bandung Creative City Forum {BCCF}, Ruang Kolaborasa, and Air Foto Network. Publish several books including Bandung From Spaces To Places, Bandung Nu Urang, Home Of Creative Minds, Bandung 1955, and Deus Providebit. Festival Director of International Festivals including Asian African Carnival (Bandung), Indonesia Festival (Malaysia), Indonesia Week (Japan), Rawayan World Music Festival (Bandung), and Wonderful Indonesia Festival (Thailand). Also Director of National Festivals including Bandung Creative Hub Fest, Caang Fest, Crafashtival, Helar Fest, Light Fest, Milangkala Bandung Festivals, Ngora Bandung Fest, Rempug Jukung Festival, and Indonesia Creative Cities Festival (ICCF). Co-Founder of Creative Spaces including AFN Library, Bandung Creative Hub (BCH), Simpul Space (BCCF), and Taman Foto Bandung. Head of Creative at several projects including AJAR (ICCN), Bandung Creative Belt (Disbudpar Bandung), Kampung Kreatif (BCCF), Cijaringao Placemaking (Saung Udjo), Mata Warga (AFN), Roadmap of Ambon City (Kemenparekraf RI), and UKM Award (Kemenkop & UKM RI). Active as a Creative Consultant, Curator, Judge, Keynote Speaker, Lecturer, Mentor, and Photographer. Making Photography Works and Writting at galihsedayu.com (I’ll Follow The Sun).
“Lost For Words” | A Photography Project by galih sedayu
Pada mulanya cahaya.
Cahaya menjadi pokok utama serta kemuliaan pandangan mata.
Mata yang memiliki kuasa melihat, memejam, dan mencipta.
Mencipta dengan curahan empati, wawasan dan rasa.
Rasa membingkai momen waktu ke dalam sebuah citra.
Citra yang mengandung serta mencurahkan makna dan kata.
Kata pun tidak banyak ditulis untuk menemani karya.
Karya kelak akan senantiasa menjadi bahasa.
Bahasa yang terus berbunyi dan abadi.
Abadi berbicara dalam hening dan sunyi.
Sunyi berkata dalam diam dan sendiri.
Sendiri, namun tak sendirian.
***
In the beginning was the light.
The light is the main subject and the glory of the eyes.
Eyes that have a power to see, to close, and to create.
Create with an outporing the emphaty, insights and taste.
Taste take a moment of time into an image.
Image that contain meanings and words.
Words don’t have to be written too much often to accompany the works.
The works itself become the sound language.
Language that keeps ringing and eternal.
Eternal speaks & talks in silence, alone.
Alone, but not lonely.
***
Teks & Foto / Text & Photographs: galih sedayu
Thanks to Pink Floyd for the Inspiring Song, “Lost For Words”
#178KaryaFoto #178Photographs

SIRING / 20 July 2022

BEKANTAN / 20 July 2022

ROPE / 20 July 2022

DISCUSS / 30 May 2022

AMSI / 30 May 2022

DIORAMA / 30 May 2022

EXILE / 30 May 2022

ENDE / 30 May 2022

WOLOGAI / 29 May 2022

BLESS / 29 May 2022

GRATEFUL / 29 May 2022

KELIMUTU / 29 May 2022

LODGE / 28 May 2022

LUXURY / 27 May 2022

FRONT / 27 May 2022

LAPRIMA / 26 May 2022

ESCAPE / 25 May 2022

TIMOR / 30 March 2022

SASANDO / 30 March 2022

KUPANG / 30 March 2022

LAMA / 29 March 2022

UDENG / 18 February 2022

STAY / 17 February 2022

CANANG / 16 February 2022

PATH / 1 January 2022

DREAM / 22 December 2021

SIT / 22 December 2021

FUTURE / 23 October 2021

SOMEWHERE / 23 October 2021

TIME / 5 October 2021

WAITING / 14 June 2021

HEALER / 14 June 2021

SHORE / 13 June 2021

ANVAYA / 12 June 2021

YELLOW / 9 May 2021

HEART / 9 May 2021

SAURON / 9 May 2021

SPECTRUM / 9 May 2021

DASAMUKA / 8 April 2021

HUNGRY / 28 March 2021

TUKAD / 29 November 2020

SAMSARA / 28 November 2020

AMAHUSU / 8 November 2020

TIAHAHU / 8 November 2020

GANDRUNG / 6 November 2020

JAZZ / 6 November 2020

ISLAND / 5 November 2020

URGENT / 5 November 2020

WANGI / 5 November 2020

BANYU / 5 November 2020

BREEZE / 4 November 2020

GREET / 17 September 2020

THATCH / 16 September 2020

BAR / 8 September 2020

SOUND / 18 August 2020

WARM / 18 July 2020

BARONG / 26 June 2020

SHELL / 21 June 2020

CORNER / 26 February 2020

WIJAYAKUSUMA / 22 November 2019

BEATLE / 5 September 2019

RADIO / 4 September 2019

RAINBOW / 2 September 2019

ALBERT / 2 September 2019

FAB4 / 2 September 2019

CROWD / 1 September 2019

VICTORIAN / 30 August 2019

HIDE / 30 August 2019

NGADE / 30 July 2019

BARELANG / 22 June 2019

THALIA / 21 January 2019

BOTTLES / 13 December 2018

CONTEMPLATE / 17 November 2018

BATH / 17 November 2018

CARCASS / 15 November 2018

HANG / 24 August 2018

GREEN / 20 August 2018

WISNU / 20 August 2018

JEPUN / 18 August 2018

WISDOM / 12 August 2018

TIGHT / 10 August 2018

SHOW / 22 July 2018

BAMBOO / 22 July 2018

MOONLITE / 18 July 2018

BRIDGE / 18 July 2018

STEP / 29 May 2018

DAWN / 29 May 2018

TALL / 29 April 2018

GUARDS / 26 April 2018

SPOT / 2 April 2018

SNOW / 4 February 2018

TOWER / 2 February 2018

OHAYO / 2 February 2018

MAUNG / 12 January 2018

ARUN / 26 October 2017

HUB / 5 September 2017

RHYME / 25 January 2017

HOLY / 19 December 2016

SING / 19 December 2016

ALONE / 19 December 2016

LUNCH / 16 December 2016

LEAVING / 15 December 2016

KASTUBA / 15 March 2016

ECLIPSE / 9 March 2016

THIRSTY / 9 March 2016

SACRIFICE / 25 December 2015

BLUR / 19 December 2015

TRAVELING / 28 September 2015

COFFEE / 18 July 2015

BALANGAN / 2 July 2015

SIN / 2 July 2015

JOY / 1 July 2015

DRIED / 30 June 2015

LITE / 1 April 2015

TOMB / 29 March 2015

PROMISE / 3 February 2015

PATH / 28 January 2015

KEY / 22 January 2015

SPEED / 10 December 2014

PAINT / 10 December 2014

SINDORO / 9 August 2014

FUN / 2 August 2014

DIFFERENT / 1 August 2014

LOOK / 2 March 2014

MISSING / 2 March 2014

SWEEP / 19 February 2014

HALLO / 28 January 2014

EAT / 11 January 2014

CROWD / 1 January 2014

NEW / 1 January 2014

YEAR / 31 December 2013

PASSING / 25 October 2013

ABOVE / 11 August 2013

BLIND / 29 July 2013

FALL / 28 July 2013

BARONG / 10 March 2013

STAIRS / 29 December 2012

RAIN / 22 December 2012

ALWAYS / 9 October 2012

BUBBLES / 29 July 2012

DIAGONAL / 10 July 2012

WALK / 10 July 2012

LIGHT / 13 June 2012

RITE / 31 May 2012

SOUND / 28 May 2012

FLAG / 3 May 2012

SIT / 3 May 2012

KISS / 12 October 2011

SACRED / 12 October 2011

RAINDROP / 16 February 2011

LOST / 9 March 2010

ENDEMIC / 14 November 2008

ARCH / 13 September 2008

QUAKE / 4 September 2009

OPPOSITE / 16 November 2008

SAIL / 28 August 2008

LUST / 4 June 2008

FREE / 14 May 2008

CLICK / 19 March 2008

RUN / 21 February 2008

DEW / 2 February 2008

STARE / 8 August 2007

FACE / 31 January 2007

WOOD / 6 November 2006

TIME / 4 March 2005

CLIMB / 22 April 2004

JOY / 2001

DISHES / 2001

BOND / 2001

GOD / 2001

BLOOM / 2001

YELLOW / 2001

HARMONY / 2000

OFFERING / 2000

BIMA / 1999

GOLD / 1998
Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Pangkal Pesona Leluhur Desa Wologai
Teks & Foto / Text & Photographs: galih sedayu
Mencermati permasalahan kehidupan kota di masa seperti ini, sangat mudah rasanya untuk meromantisasi apa yang kita bayangkan apabila menjalani kehidupan di sebuah desa tradisional. Karena pada umumnya kehidupan penduduk desa tradisional didorong oleh pertimbangan kelangsungan hidup pribadi dan keluarga meski tetap tunduk dalam sebuah aturan adat. Di sanalah komunitas menjadi metode keberadaan bagi masyarakatnya, bukan cita-cita yang memperkaya sekelompok orang. Desa tradisional memiliki nilai dan keunikannya masing-masing sesuai dengan lingkungan geografis, sumber daya alam, serta warisan budaya yang berbeda-beda.
Desa Wologai adalah sebuah desa adat yang menjadi salah satu destinasi wisata di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Desa Wologai hingga kini tetap mempertahankan nilai-nilai adat dan tradisional leluhurnya. Desa adat yang telah berusia sekitar 800 tahun ini berada di Desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, sekitar 43 km dari Kota Ende. Sebelum memasuki kawasan ini, di bagian depan sebelah kanan pintu masuk kita akan menemukan sebuah pohon beringin besar yang menurut masyarakat adat ditanam oleh leluhur mereka sebagai penanda waktu awal pendirian sekaligus batas Desa Adat Wologai yang memiliki luas sekitar satu hektar. Arsitektur bangunan Desa Wologai menyerupai kerucut dengan titik pusatnya yang berada di sebuah bangunan batu tinggi bernama Tubu Kanga. Dimana masyarakat setempat mempercayai bahwa Tubu Tanga tersebut merupakan kubur batu leluhurnya sehingga tidak boleh sembarang orang naik kecuali pada saat upacara adat. Batu ceper yang terdapat di tengah Tubu Tanga digunakan serupa altar untuk meletakkan persembahan bagi Sang Leluhur.
Bentuk rumah-rumah adat di Desa Wologai sangatlah dengan unik. Sekilas bentuk rumah-rumah mereka sama, yaitu bangunan berbentuk panggung dan berdiri di atas pondasi batu pipih dengan atap menjulang. Namun ternyata setelah menatapnya dari dekat, bangunan rumah adat tersebut satu sama lain memiliki perbedaan yang jelas, bahkan memiliki nama-nama yang berbeda setiap rumahnya. Ada rumah adat yang bernama Saopanggo, Attawolo, Saolabo, Lewabewa, Analamba, dan lain sebagainya. Menurut mosalaki ria bewa atau juru bicara para tetua adat, Desa Wologai ini memuat 18 rumah adat, 5 rumah suku, dan satu rumah besar. Bentuk rumah adat yang menjulang memiliki filosofi yang berhubungan dengan kewibawaan para ketua adat yang di dalam struktur adat dianggap dan dipandang lebih tinggi dari masyarakat adat biasa. Bagian kolong rumah (lewu) dahulunya difungsikan untuk memelihara ternak seperti babi dan ayam. Ruang tengah digunakan sebagai tempat tinggal, sedangkan loteng digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang yang akan diperlukan pada saat ritual adat. Pada setiap dinding kayu luar rumah adat tersebut terdapat berbagai ukiran yang mengisahkan keseharian masyarakat adat seperti bertani, hingga ukiran hewan-hewan yang akrab dalam kehidupan masyarakat setempat. Rumah suku berada di lingkar terluar dari Tubu Tanga dan digunakan sebagai tempat penyimpanan benda pusaka atau peninggalan milik suku. Sedangkan rumah besar hanya ditempati saat berlangsung ritual adat.
Untuk membangun rumah adat tidak boleh dilakukan sembarang. Satu rumah hunian tersebut akan menghabiskan satu pohon besar di hutan dengan kayu jenis ampupu serta genting ijuk yang berasal dari pohon enau atau moke. Sebelum membangun wajib didahului dengan ritual adat Naka Wisu yaitu aturan memotong pohon di hutan untuk digunakan sebagai tiang penyangga rumah. Ritualnya harus dilakukan pukul 12 malam, dengan terlebih dahulu menyembelih seekor ayam sebagai kurban. Masyarakat Dewa Wologai masih mempertahankan bentuk kampung adat karena tunduk dan taat pada perintah leluhur yang berpesan untuk selalu menjaga tradisi yang telah dilakukan secara turun-temurun. Musibah kebakaran pernah melanda Desa Wologai pada tanggal 9 Oktober 2012 yang menghanguskan sebanyak 20 rumah adat.
Dalam setahun di Desa Wologai terdapat dua ritual besar yakni panen padi, jagung dan kacang-kacangan (Keti Uta) yang digelar pada bulan April, dan tumbuk padi (Ta’u Nggua) yang digelar pada bulan September. Puncak ritual Ta’u Nggu’a adalah Pire dimana selama 7 hari masyarakat tidak boleh menjalankan aktivitas hariannya. Selama masa ini seluruh masyarakat adat Wologai dilarang melakukan aktivitas pekerjaan seperti bertani, mengiris tuak dari pohon enau dan lain sebagainya. Setelah melewati berbagai upacara, maka masyarakat adat Desa Wologai akan menggelar ritual Gawi atau menari bersama di atas pelataran mengelilingi Tubu Kanga sebagai simbol mengucap syukur dalam kegembiraan dan kebersamaan.
Melihat warisan sosial dan kultural yang masih dipertahankan serta dilestarikan di Desa Wologai, tentunya dapat menjadi pembelajaran abadi bagi kita semua bahwa sesungguhnya tatanan hidup yang seimbang akan menjadikan manusia yang lebih bijak dalam laku keseharian. Sebentuk surga di bumi yang penuh kemuliaan dengan komunitas sebagai pengawal setianya. Tak tergerus oleh industri yang mengatasnamakan kemajuan jaman, tak terkikis oleh dunia yang menawarkan kesenjangan. Hanya ada satu kehidupan yang harmoni dan selaras antara manusia, alam dan Sang Semesta.
Desa Adat Wologai, Flores, NTT – 29 Mei 2022









































Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
“Shadows and Light” | A Photography Project by galih sedayu
Pada mulanya bayangan.
Bayangan membersamai langkah.
Langkah mengikuti sinar mentari.
Mentari menghangatkan isi bumi.
Bumi yang tak henti berputar.
Berputar dalam harmoni keseimbangan.
Keseimbangan menjadikan kehidupan.
Kehidupan membentuk manusia seutuhnya.
Seutuhnya agar kita mampu memahami.
Memahami dan mengetahui sebuah tujuan.
Tujuan akan menentukan arah.
Arah yang lebih penting dari kecepatan.
***
In the beginning was shadow.
Shadow accompany steps.
Steps follow the sun.
The sun warms the earth.
The earth which never stop spinning.
Spinning with harmony in balance.
Balance makes life.
Life that create humans fully.
Fully so that we will be understanding.
Understanding and knowing a goal.
Goal will show the direction.
Direction is much more important than speed.
***
Teks & Foto / Text & Photographs: galih sedayu
Thanks to Joni Mitchell for the Inspiring Song, “Shadows and Light”
#13KaryaFoto #13Photographs

Banjarmasin, South Kalimantan – 20 July 2022

Kuta, Bali – 12 June 2022

Kuta, Bali – 12 June 2022

Kuta, Bali – 12 June 2022

Kuta, Bali – 12 June 2022

Kuta, Bali – 12 June 2022

Kuta, Bali – 12 June 2022

Kuta, Bali – 12 June 2022

Liverpool, UK – 1 September 2019

Liverpool, UK – 1 September 2019

Liverpool, UK – 1 September 2019

Victoria Park, Hongkong – 31 January 2018

La Plancha Beach, Bali – 6 July 2015
Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Warna Keagungan Semesta di Kelimutu
Teks & Foto: galih sedayu
Gunung api menjadi bagian tubuh yang tak terpisahkan dari raga alam nusantara kita. Karena bumi pertiwi dengan segala keajaibannya termasuk ke dalam sabuk Cincin Api (Ring of Fire) dunia yakni rangkaian gunung berapi sepanjang 40.000 km dan situs aktif seismik yang membentang di samudera pasifik. Seperti halnya Kelimutu. Kelimutu merupakan sebuah gunung api di pulau Flores, tepatnya di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Gunung Kelimutu dengan ketinggian 1690 mdpl ini berada di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Kelimutu (Kelimutu National Park). Meskipun luasnya sekitar 5.356,50 hektare, namun kawasan konservasi ini menjadi taman nasional terkecil dari 54 Taman Nasional yang ada di Indonesia. Di kawasan Taman Nasional Kelimutu ini terdapat pula Gunung Kelido dan Gunung Kelibara yang menjadi teman penghuni bagi Gunung Kelimutu sebagai kerucut alam tertua yang masih aktif.
Adapun magnet yang menjadi pesona Taman Nasional Kelimutu adalah 3 buah danau vulkanik dengan warna yang berbeda dan terkenal dengan sebutan Danau Tiga Warna. Danau Kelimutu dengan masing-masing warna yang berbeda tersebut memiliki makna tersendiri bagi penduduk lokal di sana. Danau yang berwarna biru memiliki nama “Tiwu Nuwa Muri Ko’ofai” yang dipercayai sebagai tempat berhimpunnya para arwah dan jiwa dari pemuda dan pemudi yang telah meninggal. Danau yang berwarna merah memiliki nama “Tiwu Ata Polo” yang dipercayai sebagai tempat berhimpunnya para arwah dan jiwa dari orang-orang yang telah meninggal dimana selama hidupnya kerap melakukan kejahatan tenung. Danau yang berwarna putih memiliki nama “Tiwu Ata Mbupu” yang dipercayai sebagai tempat berhimpunnya para arwah dan jiwa dari orang tua yang telah meninggal. Walaupun cerita penduduk setempat menyatakan demikian, namun ketiga danau tersebut tidak selamanya tetap berwarna biru, merah, dan putih saja. Menurut catatan waktu, dari tahun ke tahun ketiga danau tersebut sudah pernah mengalami perubahan warna bahkan lebih dari sekali entah itu menjadi warna hijau, coklat, hitam, dan abu-abu. Perubahan warna yang terjadi pada danau Kelimutu sangat dipengaruhi oleh aktivitas vulkanis yang mendorong gas-gas di dalam bumi keluar ke permukaan dan kemudian bereaksi serta bercampur sehingga mengakibatkan perubahan warna pada air danau.
Perjalanan menuju ke kawasan Taman Nasional Kelimutu akan melewati Desa Moni yang berjarak sekitar 52 km dari Kota Ende. Sekitar dua jam lamanya, kita akan melalui jalan aspal yang berkelok-kelok dengan atmosfir bentangan alamnya yang begitu hijau. Sesampainya di Desa Moni, kita akan banyak temukan penginapan untuk bermalam dan beristirahat di kaki gunung Kelimutu. Saat itu saya menginap di sebuah penginapan yang bernama Ecolodge. Untuk mencapai puncak pemandangan agar dapat melihat keindahan danau 3 warna, kita harus berjalan kaki melakukan hiking dan trekking dari area parkir Taman Nasional Kelimutu yang pada umumnya ditempuh dengan waktu sekitar 30 menit. Matahari terbit di gunung Kelimutu merupakan sabda alam tersendiri yang bisa dinikmati kala pagi menjelang. Bila ingin mendapatkan sunrise setelah malam yang panjang di pulau flores, sebaiknya kita mulai berjalan kaki dari sejak subuh sekitar pukul 4 pagi. Tak usah kuatir, karena perjalanan mendaki puncak Kelimutu saat waktu masih subuh sembari diterpa udara yang begitu dingin, akan terbayar seketika tatkala pada akhirnya kita dapat melihat momen pertama kalinya mentari pagi yang muncul dari balik awan sekaligus merasakan hangatnya sinar yang dipancarkan saat menyentuh tubuh kita. Setelah itu, karunia terbesar akan kita dapati dimana sejauh mata memandang, semesta alam danau Kelimutu akan menampakkan wajahnya yang begitu mempesona dengan keajaiban warna-warni alam yang dimilikinya. Bagaikan berada di sebuah nirwana, surga di atas awan yang menjadi penghuni abadi Sang Terang Dunia. Saat itulah yang kita sebut hanya namaNYA dengan ucapan serta seruan syukur yang tak terhingga.
Taman Nasional Kelimutu, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia – 29 Mei 2022
































Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Mencambuk Buai Eksotisme Desa Liang Ndara
Teks & Foto / Text & Photographs: galih sedayu
Gagasan kebudayaan yang berisi norma-norma luhur untuk mengatur kehidupan manusia dalam sekelompok masyarakat, diwariskan secara turun-menurun ke dalam sebuah adat. Adat pun menciptakan masyarakat dan ruangnya tersendiri yang kerap disebut sebagai desa adat. Seperti Liang Dara. Inilah nama desa adat yang terletak di Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. Desa adat ini jaraknya sekitar 20 km dari Kota Labuan Bajo. Adalah Kristoforus Nilson, Ketua Lembaga Budaya desa adat Liang Ndara yang mendirikan kawasan ekowisata ini. Awalnya bersama warga Kampung Cecer, ia mendirikan sebuah sanggar budaya pada tahun 2010 dan kemudian dilanjutkan membangun sebuah kampung wisata yang hingga kini terkenal dengan sebutan Liang Ndara.
Sejauh mata memandang, desa adat Liang Ndara merupakan kawasan hijau nan tradisional dengan udara yang sejuk dan menyegarkan. Apalagi tatkala kabut datang, menambah suasana magis yang sangat menenangkan hati. Sesampainya di sana, kita akan disambut oleh kepala desa adat beserta masyarakatnya yang ramah sembari dikalungi selendang tenun khas daerah Manggarai Barat. Setelah itu kita akan dibawa masuk menuju rumah adat yang terbuat dari kayu dan beratap jerami. Di dalam rumah tersebut kita akan menjumpai para tetua adat yang dengan hangat menyapa dan bercerita dengan menggunakan bahasa Manggarai. Setelah itu ketua desa adat menyerahkan sejumlah uang sebagai simbol perkenalan yang harus kita terima dan kita pun diwajibkan untuk memberikan sejumlah uang kembali secara ikhlas. Perjamuan dilanjutkan dengan makan buah pinang bersama. Buah pinang yang telah selesai dikunyah kemudian disimpan ke dalam sebuah wadah dari bahan bambu. Di akhir perjamuan ditutup dengan mencicipi minuman adat berupa tuak bernama sopi yang disuguhkan di dalam cawan terbuat dari bahan kelapa. Ritual dan tradisi penyambutan dengan minum tuak secara bersama-sama ini disebut Reis. Usai acara perjamuan dari rumah adat, kita akan diajak bergabung di area teras rumah untuk menyaksikan berbagai suguhan tarian adat yang memiliki filosofi berdampingan dengan tata cara hidup masyarakat desa adat Liang Ndara. Dari mulai tarian sirih pinang atau reis meka, tarian caci, akumawo, rangkuk alu hingga tarian sanda. Para penampil himpunan tarian tersebut dilakukan secara berkelompok oleh wanita dan pria warga desa adat secara bergantian.
Diantara berbagai suguhan tarian tersebut, yang sangat menarik perhatian adalah tarian caci. Tarian caci merupakan adu ketangkasan yang dilakukan oleh dua orang pemuda dengan menggunakan cambuk yang dipasang kulit kerbau tipis dan perisai dari kayu, dimana masing-masing akan mencambuk dan menangkis secara bergantian. Nama “Caci” yang digunakan sebagai tarian ini memiliki arti ujian satu lawan satu, yaitu “Ca” yang berarti satu dan “Ci” yang berarti uji. Kostum yang digunakan para penari ini terdiri dari 1) Panggal yang terletak pada bagian kepala, terbuat dari kulit kerbau, dilapisi kain khas adat Manggarai bermotif renda, berbentuk persegi empat, bagian atasnya menyerupai tanduk kerbau yang berhiaskan bulu ekor kambing ; 2) Nggorong atau giring-giring yang terbuat dari logam dan diikatkan pada pinggang pemain untuk menambah kegagahan para pemain karena suaranya yang berbunyi pada saat pemain bergerak ; 3) Lipa Songke atau kain songke Lipa berupa kain sarung berwarna hitam bersulam khas Manggarai (menggunakan benang yang disisipkan di tengah kain tenunan) yang dipakai hanya sebatas lutut dengan kombinasi warna-warni minim yang disebut lipa laco dan kombinasi sulaman yang disebut dengan Jok ; 4) Tubi Rapa berupa perhiasan manik-manik yang digunakan pada wajah bersamaan dengan Destar (pakaian adat laki-laki yang hampir mirip dengan sapu, dipakai dengan cara dililitkan pada kepala dan berfungsi sebagai pelindung wajah) ; 5) Selendang yang diikatkan di pinggang dan merupakan kain tenunan khas Manggarai ; 6) Ndeki yang merupakan aksesoris terbuat dari bulu ekor kambing dan berfungsi sebagai pelindung punggung serta melambangkan kejantanan. Pertunjukan tari Caci dibuka dengan tarian Danding atau Tandak Manggarai. Sebelum beradu, setiap penari pria terlebih dahulu melakukan gerakan pemanasan otot sambil menggerakan badannya bak gerakan kuda. Dengan destar atau ikat kepala dan sarung songket, para pemuda berjejer menari dan menyanyikan lagu daerah yang dinyanyikan dengan lantang untuk menantang lawannya. Dengan lincah dan gemulai penyerang menghentakkan pecutnya ke tubuh lawan sambil melompat tinggi, yang kemudian akan ditahan oleh lawannya dengan menggunakan perisai. Setiap pemain beresiko memiliki bekas sabetan, tapi meski begitu tidak ada dendam antar pemain. Seluruh tarian ini diiringi oleh alunan musik yang wajib dimainkan oleh para wanita masyarakat adat Liang Ndara sebagai simbol kelembutan.
Secara keseluruhan tarian caci merupakan kolaborasi unik antara keindahan gerak tubuh dan pakaian yang digunakan penari (Lomes), Seni Vokal (Bokak), dan ketangkasan mencambuk dan menangkis (Lime). Tarian ini menjadi bentuk ekspresi suka cita masyarakat adat Liang Ndara saat upacara perkawinan (tae kawing) serta acara syukuran (panti) baik itu syukuran menyambut tahun baru, syukuran membuka ladang, syukuran hasil panen, atau syukuran menerima tamu kehormatan. Namun sesungguhnya, makna yang lebih mendalam dari itu semua adalah bahwa tarian ini memiliki filosofi kontemplasi diri serta membawa simbol pertobatan manusia dalam hidup. Untuk itu marilah kita berbagi suka cita dengan berkunjung ke desa adat Liang Ndara yang ada di Kota Labuan Bajo. Menari dan bersorak sorailah bersama masyarakatnya karena kabut yang kelam akan lenyap dan surya yang redup akan kembali bersinar. Lambungkan segala pujian dan syukur bersama mereka agar kita senantiasa belajar perihal memperbaiki kesalahan diri dalam kehidupan sehingga hari esok akan lebih baik dari hari kemarin.
Desa Adat Liang Ndara, Labuan Bajo, Flores, NTT – 27 Mei 2022

























Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Museum Kehidupan Samsara: Ruang Keseimbangan Alam, Manusia & Semesta
Teks & Foto: galih sedayu
Bagaikan masuk ke sebuah dimensi lain di bumi. Itulah yang saya rasakan ketika pertama kalinya menempatkan hati di kawasan Museum Kehidupan Samsara yang lokasinya berada dekat dengan Gunung Agung, tepatnya di Banjar Yeh Bunga, Desa Jungutan, Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Gapura yang terbuat dari bebatuan alami dengan atap dari alang-alang menjadi pesona pertama yang menjadi pintu utama untuk memasuki kawasan ini. Sapaan hangat dari para penerima tamu perempuan dan laki-laki yang mengenakan busana adat bali seraya mengucap kata “Om Swastiastu” pun menjadi awal perkenalan hati. Kemudian dilajutkan dengan ritual mengenakan selendang yang diikat di pinggang (kamben) serta membasuh tangan dengan mengambil air yang disimpan di sebuah gentong dan menggunakan gayung tradisional yang terbuat dari batok kelapa. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara kayu beradu. Sambil menyusuri jalan setapak, tampak terlihat sekelompok ibu-ibu yang sedang menggunakan alat penumbuk padi dari kayu (alu dan lesung) di depan sebuah gubuk kayu sederhana. Benturan alu dan lesung tersebut menciptakan bunyi irama yang harmonis dan terdengar merdu di tengah suasana alam hijau yang banyak dikelilingi oleh pohon kelapa. Sungguh semua momen itu menjadi suguhan pembuka yang sangat berkesan di hati.
Di dalam kawasan Museum Kehidupan Samsara, terdapat sebuah ruang yang berisi adegan siklus hidup manusia di Bali berupa 14 rentetan upacara Hindu disajikan dalam bentuk foto, deskripsi, beserta peralatannya. Dimulai dari berbagai nilai serta tradisi yang melekat sejak bayi berada di dalam kandungan, kemudian lahir ke dunia, hidup dan mati bahkan hingga menyatu dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa hingga tercapainya kesempurnaan. Di ruang ini, siklus hidup manusia direkonstruksi ulang dalam bingkai ritual, pemaknaan simbol serta narasi kearifan lokal yang dapat menjadi pengetahuan dan pengalaman tersendiri. Sebentuk cerita perihal tahapan kehidupan yang ditandai dengan berbagai upacara dan ritual tradisional yang mengarah pada keyakinan akan tugas hidup sebagai manusia dalam kelahiran berulang menuju nirvana. Sistem pohon keluarga yang dianut oleh masyarakat bali pun dapat dilihat dan dibaca di ruang ini. Di sanalah kita bisa mengetahui bahwasanya pemilik Museum Kehidupan Samsara ini masih satu garis keturunan dengan Mpu Tantular, pencipta Kitab Sutasoma.
Aktivitas keseharian masyarakat pun menjadi bagian yang menyatu di dalamnya sehingga pengalaman mata & hati kita menjadi utuh tatkala kita hadir dalam kesadaran penuh di ruang ini. Dari mulai pembuatan arak secara tradisional, hingga memasak makanan tradisional. Salah satu pendiri Museum Kehidupan Samsara ini adalah Ida Bagus Agung Gunarthawa. Beliau adalah seorang sahabat baik dan saat ini kami bersama-sama di Indonesia Creative Cities Network (ICCN). Menurut Gus Agung, bingkai kata “Museum Kehidupan” tidak diartikan sebagai sebuah tempat disimpannya benda-benda bersejarah dalam kehidupan masyarakat. Namun memiliki dimensi tempat bersemainya sebuah proses pemaknaan kembali nilai-nilai luhur sebagai pengetahuan lokal (local wisdom) yang dapat dijalankan sebagai pedoman hidup manusia Indonesia dan dapat ditransformasikan menjadi pengetahuan baru kepada masyarakat lain dalam konteks pembangunan keragaman budaya dan toleransi dalam kehidupan sosial. Pemaknaan atas istilah “Museum Kehidupan” juga dapat diartikan sebagai upaya pemeliharaan dan pelestarian ritual, tradisi dan budaya yang berkembang dalam masyarakat Indonesia sebagai praktik dalam konteks peradaban yang dinamis. Bagi saya tempat ini bukan sekedar destinasi wisata namun ia juga menawarkan sebuah ruang kontemplasi bahwasanya kita adalah segala apa yang kita lakukan bagi alam, sesama & semesta.
Karangasem, Bali, 27 November 2020














































Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Kupang, Cendana Harum Dari Timur
Teks & Foto: galih sedayu
Himpunan imaji mural menyapa saya dengan hangat saat melangkahkan kaki untuk pertama kalinya di Kota Kupang pada suatu pagi yang terik selepas mendarat di Pulau Timor. Goresan visual warna-warni tersebut memenuhi bangunan-bangunan tua peninggalan masa kolonial yang berada di kawasan Pantai Lahi Lai Bissi Kopan (LLBK) Kota Lama, dekat dengan Dermaga Lama Kupang yang kini sudah tidak berfungsi lagi. Area bersejarah ini menjadi saksi bisu serta mewariskan ribuan cerita perihal keharuman Kayu Cendana yang menjadi kemuliaan pulau Timor terutama Kupang. Dimana kota ini dahulu menjadi pusat perdagangan antar pulau dan mulai ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Jawa pada abad ke-15. Karenanya Kota Kupang pun ditetapkan sebagai salah satu Kota Pusaka / Kota Warisan Budaya (Heritage City) di Indonesia pada tahun 2014. Mural ini bagi saya sangat merefleksikan jiwa semangat, identitas budaya, serta energi kreativitas yang dimiliki oleh pulau Timor dan seolah memanggil kita agar dapat berempati & berkolaborasi demi menyalakan kembali cahaya dari timur Indonesia.
Keseokan harinya saya kembali mengikuti mentari pagi yang membentuk wajah & bayang momen kehidupan di sekitar Pantai Kelapa Lima yang berlokasi di tepi Jalan Timor. Kawasan yang merupakan sentra penjualan ikan bagi masyarakat setempat ini rencananya akan dijadikan lokasi pusat kuliner Kota Kupang yang menawarkan berbagai sajian dan hidangan demi memuaskan dahaga lapar haus para wisatawan yang berkunjung ke sana. Ruang-ruang publik yang mencerminkan simbol kearifan lokal dapat terlihat dengan jelas di sana. Dari mulai gazebo berbentuk sasando (alat musik tradisional yang berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur), bangunan pusat kuliner dengan atap jerami yang menjorok ke laut, panggung budaya, hingga jetty atau dermaga untuk pedagang yang menjadi ikon ruang terbuka publik di kawasan tersebut.
Sungguh senang rasanya tatkala ruang-ruang publik seperti ini dapat dirasakan dan dinikmati oleh warga Indonesia di belahan timur. Percikan kreativitas yang dimiliki oleh warga sebuah kota tentunya mendambakan ruang-ruang untuk berekspresi. Sehingga dengan sendirinya nanti akan hadir pasukan semut komunitas yang berkerumun demi mengharumkan kotanya. Kiranya cahaya dari timur senantiasa bersinar terang di Kota Kupang agar menjadi bagi Indonesia keharuman abadi cendana yang sangat melegenda. “Uis Neno Nokan Kit”.
Kupang, 29-30 Maret 2022
***






























Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
JENAMA, KESIMA & GEMA KOTA KREATIF

Teks : galih sedayu
“My City, My Responsibility”
Sejatinya kota kreatif adalah sebuah kota yang memiliki karakter khas sehingga mampu melahirkan jenama, kota yang merefleksikan identitas diri sehingga mampu menciptakan kesima, serta kota yang mewartakan berita baik sehingga mampu menghasilkan gema ke seluruh penjuru dunia. Karenanya sejumlah kota kreatif pada umumnya berkomitmen untuk mencapai tujuan mulia yang telah ditetapkannya ; bersikap terbuka terhadap perubahan dan bersedia mengambil segala resikonya ; berprinsip teguh dan menerapkannya secara strategis dengan upaya taktisnya ; bersedia untuk mengenali dan memberdayakan sumber daya lokal dengan segala potensinya ; serta menumbuhkembangkan dan menyebarkan jiwa kepemimpinan secara lebih luas & visioner melalui keteladannya. Secara keseluruhan semua hal tersebut dapat disederhanakan ke dalam konsep “City as a personality”, yang tentunya menjadi sangat relevan dalam konteks membangun kota kreatif sekarang ini. Dimana konsep kota yang mencerminkan sebuah kepribadian didasarkan atas analogi antara individu manusia dan kotanya masing-masing. Kota itu sendiri adalah komunitas manusia. Maka dari itu lah, kita semua yang mewakili individu manusia serta menjadi bagian dari masyarakat luas harus ikut mengambil tanggung jawab dan peran demi memberikan yang terbaik bagi kota yang kita huni. Membangun kota bisa dimulai dengan membangun diri sendiri.
“Without Empathy, Creativity is Empty”
– Kang Ayip, Founder Rumah Sanur Creative Hub –
Himpunan individu melahirkan sebuah komunitas. Individu yang kreatif, produktif & solutif akan melahirkan komunitas yang kreatif, produktif, dan solutif pula. Sebab itulah komunitas sebagai salah satu stakeholder kota, sangat berperan dalam menentukan kompas pengembangan kota kreatif. Salah satu alasan terbesarnya adalah karena komunitas dengan daya & cara kreativitasnya, dianggap mampu untuk memecahkan solusi permasalahan kota sekaligus menjadikan bentuk kreativitas sebagai wajah dan ekspresi dari sebuah kota kreatif. Apalagi bahasa visual kota kerap dikomunikasikan oleh ekspresi wajah tertentu dari sebuah kota. Dari sanalah kita bisa menilai perihal nilai serta tanda-tanda psikologis dari sebuah kota kreatif. Memaknai kota kreatif harus disadari sebagai perpanjangan dari kreativitas kita masing-masing sebagai komunitas yang bertanggung-jawab secara kolektif demi mewujudkan kota yang bersih, sehat, indah, aman, dan bahagia. Apalagi didukung oleh “Political Will” yang nyata dihadirkan oleh para pemimpin kotanya. Namun demikian, kreativitas yang dipersembahkan oleh komunitas dapat menjadi bermanfaat bagi kotanya hanya karena satu alasan mendasar yang paling penting sebagai awal mula dari segalanya. Empati.
“Padamu Negeri Kami Berkolaborasi”
Indonesia Creative Cities Network (ICCN) merupakan perkumpulan independen yang terdiri dari jejaring kota / kabupaten kreatif serta menjadi entitas komunitas nasional yang berupaya mengembangkan kota kreatif di tanah air. Sejak berdiri pada tahun 2015, ICCN hingga kini terus memperjuangkan dan menjunjung tinggi “10 Prinsip Kota kreatif” yang menjadi roh utama dalam pergerakan sosialnya. 10 prinsip ini menjadi jala utama bagi ICCN untuk menjaring lebih banyak manusia beserta komunitas kreatifnya, untuk kemudian menebarkan kembali hasil tangkapannya agar dapat melebarkan serta menguatkan ikatan jala sebelumnya. Adapun butir-butir 10 prinsip kota kreatif ini terdiri dari kota yang welas asih ; kota yang inklusif ; kota yang melindungi hak asasi manusia ; kota yang memuliakan kreativitas masyarakatnya ; kota yang tumbuh bersama lingkungan yang lestari ; kota yang memelihara kearifan sejarah sekaligus membangun semangat pembaruan ; kota yang dikelola secara adil, transparan, dan jujur ; kota yang dapat memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya ; kota yang memanfaatkan energi terbarukan ; serta kota yang mampu menyediakan fasilitas umum yang layak untuk masyarakat. Salah satu implementasinya, setiap tahun ICCN menggelar sebuah pertemuan ruang dan waktu demi menghimpun unsur pemangku kepentingan kota kreatif yakni perwakilan pemerintah, komunitas, akademisi, bisnis, media, dan yang kini mulai digaungkan yaitu unsur aggregator. Sehingga pada akhirnya narasi kolaborasi kota kreatif yang sebelumnya disebut sebagai Penta Helix, saat ini mulai berubah menjadi Hexa Helix. Pada awal mulanya, pertemuan tahunan ini dinamakan Indonesia Creative Cities Conference (ICCC) yang kemudian berubah menjadi Indonesia Creative Cities Festival (ICCF). ICCF ini menjadi momentum yang sangat istimewa karena setiap kota / kabupaten diberi kesempatan untuk menjadi tuan rumah bagi para tamu undangan yang merupakan jejaring kota / kabupaten kreatif dari seluruh pelosok tanah air. Dari mulai Kota Surakarta (ICCC 2015) ; Kota Malang (ICCC 2016) ; Kota Makassar (ICCC 2017) ; Kota Jogjakarta & Kabupaten Sleman (ICCF 2018) ; Kota Ternate (ICCF 2019) ; Kota Denpasar & Kabupaten Karangasem (ICCF 2020) ; hingga Kota Pekanbaru & Siak (ICCF 2021). Berkat konsistensi ICCF inilah, jejaring kota kreatif yang ada di bumi nusantara ini senantiasa terhubung untuk saling belajar dan berbagi pengalaman yang saling bermanfaat.
Badai pandemi Covid 19 yang menghantam kota di seluruh dunia, tentunya menjadi tantangan bagi kota kreatif untuk melakukan perubahan agar lebih tangguh menghadapi masa depan. Karena sesungguhnya masa depan kota kreatif adalah kota senantiasa yang belajar dari pengalaman masa lalu, untuk kemudian menciptakan pengalaman baru dalam wujud yang baru. Dimana empati menjadi pemantiknya, dan kreativitas tetap menjadi nyala terangnya. Karena pertanyaan abadi yang menjadikan kontemplasi dari kreativitas itu adalah bagaimana caranya agar kita dapat menciptakan diri kita yang lebih baik dari sebelumnya serta bagaimana caranya agar kita dapat menggunakan kreativitas yang kita miliki sehingga dapat memberikan manfaat bagi cahaya sebuah kota. “From Liveable Cities to Loveable Cities”.