Archive for July 2013
Sel Nomor 5 Penjara Banceuy
Teks & Foto : galih sedayu
“Jadikanlah deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa”.
– Bung Karno –
Sunyi, sepi & sendiri. Barangkali rasa itulah yang dialami oleh seorang Bung Karno tatkala ia mendekam di sebuah penjara banceuy kota bandung sekitar 84 tahun yang silam. Tepatnya di bulan desember tahun 1929, Ir. Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia ini terpaksa meringkuk di sebuah sel kecil dengan nomor 5 yang hanya berukuran 2,5 x 1,5 meter. Atas tuduhan melakukan kegiatan subversif dan pergerakan nasional yang membuat ketar ketir pemerintahan Hindia Belanda kala itu, Bung Karno pun dengan tegar menjalani penderitaannya.
Selama kurun waktu 8 bulan, Bung Karno bersama ketiga rekannya yakni Gatot Mangkoepradja yang seorang guru, Maskun Somadiredja yang seorang administratur harian Banteng Priangan, dan Supriadinata yang seorang anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang bandung, menjadi penghuni ruangan sempit dan kotor serta dikenakan jerat hukum yang terkenal dengan nama pasal-pasal karet atau Haazai Artikelen.
Namun ternyata dari sel yang gelap ini justru kelak melahirkan sebuah catatan terang bagi noktah sejarah bangsa indonesia, karena dari sinilah Bung Karno mulai menyalakan lilin terang yakni pidato pembelaan (pleidoi) yang terkenal dengan sebutan “Indonesia Menggugat” (Indonesie Klaagt Aan). Pleidoi ini dibacakan dengan lantang oleh Bung Karno pada saat sidang Pengadilan Hindia Belanda di Gedung Landraad dimana kini namanya menjadi Gedung Indonesia Menggugat (GIM) yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan No.5 Bandung.
Akhirnya sejarah pun mencatat bahwa setelah beberapa kali sidang, pada tanggal 22 Desember 1930, Bung Karno bersama ketiga rekannya dijatuhi hukuman penjara. Saat itu Tokoh Nasionalis tersebut divonis 4 tahun penjara. Setelah hakim mengetuk palu sebagai simbol putusan pengadilan, maka Bung Karno bersama para sahabatnya dijebloskan ke Penjara Sukamiskin di Jalan A.H.Nasution, sebuah penjara yang ironisnya dirancang oleh Bung Karno sendiri ketika ia masih bekerja di biro arsitek milik gurunya yaitu Prof. C.P. Wolff Schoemaker. Atas dasar cerita itulah kini bekas Penjara Banceuy tersebut menjadi monumen yang dibangun untuk mengenang keberadaan Bung Karno.
Bekas Penjara Banceuy ini terletak sekitar 100 meter dari sebelah utara alun-alun kota bandung yang dikelilingi oleh Jalan Banceuy di sebelah barat, Jalan ABC di sebelah utara, dan Jalan Belakang Factory di sebelah selatan. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Penjara Banceuy yang dulu bernama Bantjeujweg ini adalah sebuah penjara yang digunakan untuk menahan para pribumi yang melakukan tindakan kriminal dan menjadi tahanan politik.
Bangunan penjara ini didirikan pada akhir abad ke-19 tepatnya pada tahun 1871. Kemudian pada tahun 1985, bangunan penjara ini dibongkar mengingat kondisinya yang sudah rapuh karena sudah menginjak usia seratus tahun lebih. Penjara Banceuy yang baru kini berada di Jalan Soekarno Hatta. Bekas Penjara Banceuy ini lalu dijadikan kawasan pertokoan yang bernama Banceuy Permai. Sebagai penanda bahwa kawasan itu dulunya adalah bekas penjara, maka hanya disisakan dua unit bagian dari penjara tersebut. Yang pertama adalah menara pengawas sebelah timur yang terletak di Jalan ABC yang mengarah ke Jalan Naripan dan Jalan Cikapundung. Yang kedua adalah bekas Sel No. 5 yang pernah dihuni oleh Bung Karno, sekitar 200 meter dari menara pengawas tersebut.
Saat ini kita dapat melihat berbagai artefak sejarah dan sejuta memori yang tersisa dari sel kecil bernomor 5 tersebut. Di dalam sel tersebut terpasang sebuah bingkai yang bertuliskan kalimat yang pernah diujarkan oleh Bung Karno yaitu “Koe korbankan Dirikoe di Penjara ini Demi Bangsa dan Negaraku Indonesia. Ada pula bendera merah putih yang menutupi salah satu sudut ruang kecil sel tersebut. Kemudian dua buah foto Bung Karno ikut melekat pada salah satu sudut dinding sel itu tepat di bawah ukiran Burung Garuda dengan teks Pancasilanya. Tembok sel dengan warna cat hijau pun masih tetap dibiarkan sama seperti yang dulu. Pintu sel dari bahan besi baja berwarna hitam yang diberi celah untuk melihat berserta kunci-kuncinya pun tampak masih kokoh menyangga. Lalu bekas kamar mandi Bung Karno yang terletak di luar sel tersebut dijadikan sebuah tugu batu.
Barangkali sel ini lah yang semestinya dapat menjadi simbol sebuah kesadaran dan kebangkitan bagi kita semua. Bahwa sesungguhnya kita tidak diajarkan untuk mencintai yang jahat lebih dari pada yang baik. Dan mencintai yang dusta lebih dari pada perkataan yang benar. Meski jaring-jaring yang terpasang di dalam setiap langkah kita, meski sumpal-sumpal yang menutup mulut kita, meski tembok dan besi yang mengurung diri kita, namun kita harus percaya bahwa mereka tidak akan bisa menaklukkan jiwa kita. Jiwa-jiwa yang mematahkan busur panah, yang menumpulkan tombak dan yang membakar kereta-kereta perang dengan api. Sebuah jiwa yang merdeka.
Bandung, 25 Juli 2013
copyright (c) 2013 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Menyapa Pagi Di Tahura
Teks & Foto : galih sedayu
Barangkali bumi akan bersorak sorai ketika alam beserta penghuninya tak pernah berhenti dikunjungi & dirawat oleh manusia. Begitupun dengan hutan. Sejatinya ia adalah bagian dari pusaka alam yang menjadikan manusia tetap hidup dan bernafas dengan udara segarnya. Karena Tuhan menciptakan terang di bumi, maka jadilah pagi. Dan rasa-rasanya pagi adalah waktu yang tepat untuk menyambangi hutan yang kita miliki. Salah satunya adalah hutan milik warga Kota Bandung yang bernama Taman Hutan Raya Ir.H.Juanda (TAHURA) atau yang sering disebut dengan Hutan Dago Pakar. Menikmati aroma pagi di hutan ini, pastinya akan selalu membuat hati ini ceria. Kawasan konservasi ini memang menyimpan berjuta kesegaran bagi para tamu yang datang. Dari mulai wanginya pohon pinus, merdunya suara kicau burung kutilang hingga tingkah polah tupai yang berlarian di atas pepohonan.
Taman Hutan Raya Ir.H.Juanda adalah sebuah hutan kota yang berjarak sekitar 7 km dari pusat kota bandung. Berada di ketinggian 800 sampai 1350 meter di atas permukaan laut, dulunya kawasan hutan yang dilalui aliran Sungai Cikapundung dan membentang mulai dari Curug Dago, Dago Pakar hingga Maribaya ini, merupakan bagian areal dari kelompok Hutan Lindung Gunung Pulosari yang kemudian diubah fungsinya menjadi Taman Wisata Alam Curug Dago. Kemudian bertepatan dengan kelahiran Bapak Ir.H.Juanda (seorang pahlawan Kota Bandung) yaitu pada tanggal 14 Januari 1985, secara resmi namanya berubah menjadi Taman Hutan Raya Ir.H.Juanda. Kawasan ini merupakan Taman Hutan Raya (TAHURA) pertama yang ada di Indonesia. Hutan dengan luas sekitar 590 hektar ini merupakan hutan alam sekunder dan hutan tanaman dengan susunan vegetasi campuran yang terdiri dari 2500 jenis pepohonan seperti pohon Mahoni (Switenia Macrophylla), Bungur (Lagerstroemia sp.), Ekaliptus (Eucalyptus Deglupta), Saninten (Castanopsis Argentea), Pasang (Quercus sp.), Damar (Agathis Damara), dan Waru Gunung (Hibiscus Similis) serta tumbuhan bawah seperti Teklan (Eupatorium Odoratum) yang paling dominan. Selain itu di hutan ini sengaja ditanam berbagai jenis tumbuhan yang berasal dari luar daerah agar kawasan ini dapat berfungsi sebagai laboratorium alam (Arboretum). Di area hutan inilah kita dapat memanjakan mata dan hati dengan menikmati berbagai wisata alam seperti Goa Jepang, Goa Belanda, Curug Dago, Curug Omas, Curug Lalay & wisata air panas Maribaya.
Tidak baik memang bila hutan kita selalu merasa kesepian. Tidak baik pula bila kita sebagai manusia selalu kerap berdiam diri di rumah. Karena di hutanlah barangkali kita bisa kembali berdamai dan berikrar dengan alam yang sesungguhnya telah lama disakiti oleh manusia. Pohon yang ditebangi, air yang diracuni & udara yang dikotori menjadikan alam bak diperkosa oleh manusia sendiri. Maka dari itu jadikanlah kembali embun yang datang dari langit, udara pagi yang harum semerbak dan tanah-tanah yang gemuk di dalam hutan. Agar kita percaya bahwa hutan selalu menjadi berkat bagi manusia hingga berabad-abad dan menjadi kemah suci yang kekal abadi selamanya.
Bandung, 21 Juli 2013
copyright (c) 2013 by galih sedayu
all right reserved. o part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Embrio Dari Bawah Kolong Jembatan
Teks : galih sedayu
Sebuah ide biasanya lahir dari sesuatu yang sederhana. Dari kegiatan kecil semisal diskusi pun bisa melahirkan sejumlah ide yang besar. Berawal dari program regular yang digagas oleh air foto network yakni Ngopi #4 {Ngobrol santai & tukar pikiran soal fotografi}, berlokasi di bawah kolong jembatan pasopati, tepatnya di taman kampung pulosari, lahirlah embrio fotografi di Kota Bandung yang bernama Kampung Foto Bandung. Sejatinya Kampung Foto Bandung ini adalah sebuah gerakan kolektif melalui fotografi yang berupaya mengaktivasi ruang publik kampung kota. Kampung pulosari adalah salah satu kampung urban yang terletak di bawah jembatan pasopati bandung, di depan lapangan bawet yang biasanya sering digunakan oleh komunitas Rumah Cemara untuk kegiatan sepak bola. Kampung ini sangat beruntung karena dilewati oleh aliran Sungai Cikapundung, sehingga suara air sungai menjadi bagian yang tak terpisahkan ketika kita menyambangi tempat tersebut. Adalah Kang Handoko atau yang akrab dengan sebutan Mang Han, seorang tokoh masyarakat yang sejak 3 tahun lalu ikut memberikan kontribusi besar terhadap perubahan Kampung Pulosari. Kawasan yang tadinya gersang, perlahan-lahan kini menjadi hijau karena berbagai pohon yang ditanam oleh Mang Han beserta warga. Kampung inipun memiliki sebuah taman kecil yang bersih sehingga menjadi salah satu ruang publik tempat berkumpulnya warga sembari menikmati pemandangan sungai cikapundung. Dari kampung inilah inspirasi & gagasan perihal Kampung Foto Bandung tercipta.
Tepatnya tanggal 15 Juli 2013, di pagi yang cerah pada masa bulan ramadhan, secara resmi Kampung Foto Bandung berdiri. Hadir menjadi saksi di sana yaitu Ihsan Achdiat (Mahasiswa IMTelkom Bandung), Herlambang Bayu S (Mahasiswa IMTelkom Bandung), Geiofanny (Komunitas Sesater Indonesia), Sugih Wiramantri (Komunitas Sesater Indonesia), Pam Adinugroho (Mahasiswa Unpad Bandung), Isma Dasir Maulinda (Mahasiswa IMTelkom Bandung), Rivira (Mahasiswa IMTelkom Bandung), Ahmad Shifauka (Mahasiswa UPI Bandung), Destari M.H (Mahasiswa Unpad Bandung), Bilfahmi Ilmi H (Pelajar SMA 25), Aji Kurniawan (Pekerja Kantor), Handoko (Tokoh Masyarakat Kampung Pulosari) dan galih sedayu (pegiat fotografi). Pada momen ini juga, Isma Dasir Maulinda didaulat untuk menjadi komandan atau ketua Kampung Foto Bandung agar program-program ke depan dapat terealisasi dengan baik. Karena dari diskusi inilah muncul berbagai ide dari mulai pelatihan fotografi untuk anak-anak kecil yang bermukim di kampung tersebut, pameran foto aktivitas warga, perpustakaan kampung, pembuatan buku atau jurnal visual warga, dan lain sebagainya.
Barangkali ada secuil harapan dari gerakan kecil yang bernama Kampung Foto Bandung ini. Karena sesungguhnya kolaborasi adalah jembatan hidup bagi dunia kreativitas apapun termasuk fotografi. Di film “Women Are Heroes”, seorang fotografer muda yang berinisial JR membuat pameran foto di ruang-ruang publik di seluruh dunia seperti di tempat pembuangan sampah, bangunan tua, gerbong kereta api hingga atap rumah perkampungan penduduk. Ia menganggap bahwa media ekspresi tidak hanya dapat dilakukan di ruang-ruang tertutup saja. Dunia ini adalah galeri terbesar baginya. Karenanya sebuah kampung bisa menjadi awal kaki melangkah bagi komunitas atau individu yang menggeluti disiplin fotografi. Agar fotografi menjadi egaliter dan lebih dekat dengan masyarakat tentunya. Karena fotografi bukanlah kecanggihan alat atau “Gear”, melainkan ide manusia.
Bandung, 15 Juli 2013
Copyright (c) 2013 by galih sedayu
All Right reserved. No part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Merindukan Ringkikan Kuda Besi Di Lampegan
Teks & Foto : galih sedayu
“I never travel without my diary. One should always have something sensational to read in the train”. – Oscar Wilde
Salah satu kenangan masa kecil yang paling saya ingat adalah tatkala berlibur ke rumah nenek dengan menggunakan Kereta Api. Meski kadang harus mencium aroma tak sedap dari keringat kambing yang dibawa serta oleh penumpang Kereta Api tersebut, namun suasana tersebut masih membekas dan menjadi salah satu memori yang mengesankan dalam hidup saya. Kereta Api yang saya gunakan adalah Kereta Api ekonomi Argo Peuyeum jurusan Bandung – Cianjur. Rute yang biasa saya lalui berawal dari Stasiun Cikondang Cianjur dan berakhir di Stasiun Cireunghas. Kemudian dari Cireunghas saya melanjutkan perjalanan dengan angkot menuju tempat kediaman nenek saya di Gegerbitung. Selama perjalanan Kereta Api dari Cianjur menuju Cireunghas, ada banyak pemberhentian yang harus dilakukan karena Kereta Api mesti mengambil penumpang dari setiap stasiun yang dilewati. Entah mengapa, saya selalu merasa gembira sekaligus gugup ketika Kereta Api tersebut berhenti atau melalui Stasiun Lampegan. Karena setelah itu Kereta Api akan masuk ke dalam sebuah terowongan dan serta merta suasana di dalam Kereta Api menjadi gelap gulita selama beberapa menit. Kadang bila Kereta Api yang saya tumpangi berhenti cukup lama di Stasiun Lampegan tersebut, saya sering keluar dan berjalan kaki sambil menikmati suasana heritage yang hadir di kawasan itu.
Stasiun Lampegan ini terletak di daerah Desa Cibokor, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur. Stasiun ini letaknya dekat pula dengan Situs Gunung Padang di Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur. Menurut catatan sejarah, Stasiun Lampegan dan terowongannya dibangun pada tahun 1879 hingga 1882 dan saat ini masuk menjadi kawasan Cagar Budaya. Menurut cerita, pembangunan terowongan ini dilakukan dengan cara meledakan bagian tengah badan Gunung Kancana yang menaungi kawasan tersebut. Awalnya terowongan ini digunakan untuk mengangkut palawija, kopi & rempah-rempah dari Sukabumi menuju Cianjur. Namun pada tahun 2001 dan tahun 2006, terjadi peristiwa longsor di kawasan Terowongan Lampegan ini akibat Gempa Bumi. Meski kondisi Terowongan Lampegan sudah diperbaiki, namun saat ini masih belum dilalui Kereta Api. Bangunan stasiun, rumah kepala stasiun serta terowongan Lampegan masih seperti saat pertamakali dibangun. Pada tahun 2009, kawasan ini direnovasi karena akan dioperasikan kembali pada bulan November 2010. Namun sayangnya rencana tersebut urung dilaksanakan karena kuatir bila terjadi kembali bencana longsor di dalam terowongan. Terowongan Lampegan awalnya memiliki panjang 686 meter. Namun setelah peristiwa longsor, panjang terowongan ini menjadi sekitar 415 meter. Dibangun oleh perusahaan kereta api SS (Staats Spoorwegen) untuk mendukung jalur kereta api Jakarta-Bogor, Bogor-Sukabumi dan Sukabumi-Bandung melalui Cianjur, Terowongan Lampegan merupakan salah satu terowongan jalan kereta api tertua yang pernah dibangun pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Sebenarnya, kawasan ini dulunya bernama Sasaksaat sebelum berganti nama menjadi Lampegan. Namun menurut penduduk setempat, nama Lampegan berasal dari bahasa percakapan orang Belanda tatkala kereta api memasuki terowongan. Dimana sebelum Kereta Api masuk ke terowongan itu, sang kondektur selalu meneriakan kata dalam bahasa belanda yakni ‘steek Lampen aan!’ yang berarti nyalakan lampu. Sehingga menurut penduduk di sana yang terdengar seperti kata “Lampegan”. Berbicara tentang Terowongan Lampegan, ada juga cerita mistik perihal Nyi Ronggeng Sadea, seorang ronggeng yang ternama kala itu. Dimana saat Terowongan Lampegan selesai dibangun (1882), Nyi Sadea diundang untuk menghibur para pejabat Belanda dan menak-menak Priangan. Usai pertunjukan, menjelang dinihari Nyi Sadea diantar pulang oleh seorang pria melalui terowongan yang baru diresmikan. Sejak itu pula Nyi Sadea hilang dan tidak diketahui keberadaannya.
Karena itulah saya sangat berharap bahwa suatu saat Stasiun & Terowongan Lampegan ini dapat dihidupkan kembali. Mungkin juga harapan yang sama bagi kita semua maupun penduduk setempat yang memerlukan jasa transportasi yang murah. Karena di sanalah berbagai cerita dan sejarah melekat erat bersama dengan alam dan manusianya. Ingin rasanya mendengar kembali suara deru roda besi kereta yang memecah kesunyian di Lampegan. Lalu kemudian merasakan sensasi gelapnya terowongan yang menyambut dengan ceria. Hingga akhirnya Lampegan menemukan kembali keluarganya yang telah lama hilang ditelan waktu. Tut…tut…tut…
“Peace Train is a song I wrote, the message of which continues to breeze thunderously through the hearts of millions of human beeings”. – Cat Steven
Cianjur, Lampegan, 10 Juni 2011
copyright (c) 2009 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.