Archive for September 2012
Dari Gelap, Sepakbola, Lalu Matahari
Foto & Teks : galih sedayu
“Semangat Tanpa Perjuangan adalah Omong Kosong”
– Ginan Koesmayadi –
Masalah stigma dan diskriminasi bagi kaum marjinal seperti orang-orang dengan HIV/AIDS (ODHA) maupun mantan pengguna Narkoba, selalu menjadi isu yang menghadirkan sekelumit polemik di Bumi Pertiwi yang kita cintai ini. Bagi sebagian orang yang tidak mengerti, mereka yang tergolong ke dalam kelompok minoritas tersebut kerap dicap dan dipandang sebelah mata bahkan dianggap sebagai sampah dalam sebuah tatanan komunitas yang semestinya egaliter. Melihat perspektif miring dan gelombang sosial yang timbul dari sebagian besar masyarakat tersebut, tentunya perlu sebuah upaya untuk melawan stigma dan diskriminasi yang kadang menjadi tidak adil. Tidak adil karena stigma itu kadang datang menyerbu dan membabi buta tanpa adanya tawaran solusi secuil pun. Namun demikian kita harus percaya bahwa matahari pasti akan menunjukkan sinar terangnya. Saat ini mulai lahir individu-individu maupun kelompok yang berjuang untuk membela komunitas marjinal tersebut. Meski kadang mereka harus muncul dari kandang gelap yang dimilikinya.
Ginan Koesmayadi (31 tahun) bersama Komunitas Rumah Cemara yang dirintisnya sejak tahun 2003, memberikan warna sejarah dengan melakukan sebuah lompatan perubahan melalui Sepakbola demi melepaskan paradigma negatif yang ditujukan bagi para ODHA. Ginan adalah salah satu dari orang yang terjangkit virus HIV Positif. Tapi takdir yang menimpa dirinya tidak menjadikan alasan baginya untuk berhenti berjuang. Horor kematian karena menderita HIV/AIDS tidak membuat ia menjadi rapuh. Kecintaannya kepada olahraga sepakbola akhirnya membawa Ginan kepada sebuah dunia yang penuh perubahan. Ia pun membentuk tim sepakbola Rumah Cemara. Dengan sepakbola ia mengajak masyarakat untuk berbaur sehingga ia bisa menceritakan kisahnya kepada dunia. Tim sepakbola ini akhirnya menjadi sebuah roda harapan. Sederet prestasi pun diraih oleh Tim Sepakbola Rumah Cemara dari mulai menjuarai Street Soccer Competition 2010 hingga Turnamen Sepakbola yang digelar oleh Badan Narkotika Nasional selama dua tahun berturut-turut (2009 & 2010). Bahkan tim Rumah Cemara ini berhasil meraih penghargaan internasional dalam kompetisi ide bertajuk “Changing Lives through Football” yang diadakan oleh Ashoka dan Nike Internasional. Atas dasar prestasi tersebut akhirnya buah ide mereka tentang program sepakbola diganjar dengan hadiah sebesar US $30.000. Ide sederhana mereka yang menjadikan sepakbola sebagai medium komunikasi antara kaum minoritas dengan masyarakat dunia dianggap tepat sebagai solusi permasalahan & ajang perubahan sosial. Lalu pada tahun 2009 tim Rumah Cemara ditunjuk menjadi Official National Organizer oleh pihak “Homeless World Cup”, yaitu sebuah kejuaraan Street Soccer Internasional dimana para pesertanya adalah kelompok minoritas dari seluruh dunia. Kemudian tahun 2010 mereka mendapatkan tanggung jawab untuk memberangkatkan Tim Indonesia pada ajang Homeless World Cup di Brazil. Hanya saja karena tidak adanya dukungan dana, Tim tersebut tersendat mewujudkan keinginannya untuk membawa nama Indonesia di kancah internasional. Tapi mereka pun tidak mau menyerah. Dengan dukungan semua pihak, pada tahun 2011 mereka berhasil memberangkatkan Tim Nasional Indonesia di Homeless World Cup yang diadakan di Paris, Perancis. Sepulangnya dari sana, tim Rumah Cemara menggelar sebuah ajang yang bernama “League of Change” (Liga Perubahan) berupa turnamen nasional street soccer untuk orang dengan HIV/AIDS, mantan pengguna NAPZA & masyarakat termarjinal dari delapan provinsi di Indonesia.
Pada tahun 2012 ini, Tim Rumah Cemara kembali berusaha sekuat tenaga untuk menghadirkan Timnas Indonesia demi mengibarkan bendera Merah Putih pada ajang Homeless World Cup yang akan diadakan pada bulan oktober di Mexico. Tentunya mereka membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk mewujudkan impian mereka tersebut. Tak kehilangan akal, tim Rumah Cemara & manajemen timnas akhirnya menciptakan sebuah program yang dinamai “Gerakan Masyarakat Satu Mimpi” berupa #1000 untuk 1. Inti program ini adalah mengumpulkan donasi sebesar seribu rupiah per orang agar berhasil mengumpulkan sejumlah dana yang mereka butuhkan. Bayangkan apabila ada 500 ribu rakyat Indonesia yang masing-masing bersedia menyumbang seribu rupiah, maka akan terkumpul dana sebesar 500 juta. Dan akhirnya mimpi itu terjawab. Mereka berhasil mengumpulkan dana. Gerakan #1000 untuk 1 yang didapat dari komunitas, mahasiswa, musisi, seniman & berbagai lembaga menghasilkan Rp 90 juta lebih. Sedangkan hasil dari sumbangan pemerintah & pihak swasta yang berhasil dikumpulkan yakni sebesar 300 juta lebih.
Rupanya para pahlawan sepakbola ini bukanlah tipikal sekelompok orang yang lupa pada kasih Sang Semesta dan bukanlah merupakan kumpulan manusia yang tidak memiliki rasa syukur. Wujud cinta & terima kasih yang mereka lakukan karena telah berhasil mengumpulkan dana agar bisa menyambangi Mexico pada ajang Homeless World Cup 2012, ternyata diungkapkan melalui sebuah Nazar atau Kaul berupa bermain sepakbola selama 24 jam. Tepatnya pukul 5 sore pada hari Sabtu tanggal 22 September 2012 mereka memulai nazar bermain bola selama 24 jam di Lapangan Bawet yang terletak di bawah kolong jembatan flyover pasupati Bandung. Sejumlah tim sepakbola futsal dari berbagai klub menjadi lawan bertanding Timnas Indonesia yang akan tampil di Mexico. Dari mulai mantan pemain Persib Bandung hingga klub sepakbola Srikandi Pasundan yang pemainnya terdiri dari para waria dengan betis becaknya, turut menemani Timnas Indonesia menjalani nazarnya. Akhirnya tepat pukul 17.00 WIB pada hari Minggu 23 September 2012, Rumah Cemara & Timnas Indonesia berhasil menuntaskan janji bermain sepakbola 24 jamnya. Suasana pun berubah menjadi euforia kegembiraan sekaligus haru biru karena mereka telah rampung menunaikan apa yang telah menjadi kewajibannya. Para pemain yang rata-rata memiliki wajah sangar dengan tato di tubuhnya, saat itu menunjukkan sisi mereka yang paling lembut. Manajer Timnas Indonesia, Febby Arhemsyah terlihat haru dan tersungkur sembari berpelukan bersama teman-temannya di lantai lapangan bawet yang keras. Seorang pemain yang lain memeluk ibundanya erat-erat dan tak kuasa menahan isak tangis. Setelah itu Ginan Koesmayadi yang menjadi ikon Tim tersebut, sambil menggendong seorang anak kecil mencurahkan rasa terima kasih sekaligus memotivasi teman-temannya untuk terus berjuang agar bisa tampil dengan baik di Mexico.
Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Ginan bersama teman-temannya adalah sebuah cerminan nyata kepada kita manusia yang merefleksikan sebuah harapan, optimisme & perjuangan yang tekun. Bahwa kelenjar-kelenjar adrenalin dan butiran-butiran keringat mereka bukanlah tanpa hasil. Tanpa disadari doa-doa mereka bersatu. Dan hanya segelintir manusia seperti merekalah, yang memiliki jiwa, semangat dan perjuangan baja. Dia tak dapat dibeli dengan emas yang melimpah. Tak bisa diperoleh dengan arogansi kekuasaan yang membelenggu. Tak bisa dimiliki dengan rasa iri dan dengki. Mereka membuktikan bahwa kaum yang terpinggirkan ternyata memiliki nilai hidup. Bahwa orang dengan HIV/AIDS bukanlah kaum yang terkutuk. Melalui sepakbola mereka mengantarkan kita kepada sebuah kehidupan yang setara dan jalan menuju sebuah perubahan bagi dunia. Demi cahya di kegelapan malam, maka tim mimpi ini diharapkan mampu menjadi pelita bagi Indonesia. Selamat menyanyikan lagu Indonesia Raya di Mexico.
Bandung, 24 September 2012
copyright (c) 2012 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Melihat Jakarta
Teks : galih sedayu
Menceritakan kota metropolitan yang satu ini seolah-olah memang tiada habisnya. Ialah Jakarta, sebuah kota yang ditahbiskan menjadi ibu kota negara Indonesia, yang selalu menyimpan sejumlah harapan bagi para warga yang mengadu nasib dan menetap di sana. Berbagai sebutan pun melekat untuk Kota Jakarta sejak dulu dari mulai Sunda Kelapa, Jayakarta hingga Batavia. Hingga kini, pada akhirnya Kota Jakarta menjadi sebuah sentral segala informasi pemerintahan dan diharapkan menjadi salah satu simbol pencitraan sebuah kota yang dapat mewakili tanah air dalam hal pembangunan serta kemajuan ekonomi.
Agar dapat melihat secara aktual bagaimana sebenarnya denyut nadi perkembangan Kota Jakarta saat ini, tentunya diperlukan sebuah medium sederhana yang sejatinya dapat menjadi alat bantu masyarakat untuk meneropong segala hal yang terjadi di Kota Jakarta. Media fotografi dapat menjadi salah satu pilihan untuk mengungkap kembali cuplikan-cuplikan kehidupan keseharian Kota Jakarta. Untuk itulah wargajakarta.com bekerjasama dengan salam jakarta dan air foto network, menghadirkan sebuah program yang bernama “Jakarta Kita Photo Awards” yaitu Kompetisi Fotografi perihal Kota Jakarta kini. Kompetisi fotografi ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu foto aktivitas masyarakat Kota Jakarta, foto pembangunan Kota Jakarta serta foto seni & budaya Kota Jakarta. Kompetisi foto ini berhasil menjaring 151 peserta dari seluruh Indonesia, dengan jumlah karya foto yang masuk sebanyak 690 karya. Penjurian kompetisi foto ini dilakukan oleh para dewan juri yang terdiri dari Dudi Sugandi (wartawan foto), Galih Sedayu (fotografer & pegiat fotografi) dan Rully Kesuma (jurnalis).
Untuk itulah himpunan karya foto yang telah diabadikan oleh para fotografer tanah air ini, layak untuk dipersembahkan ke dalam sebuah jurnal fotografi. Jurnal fotografi ini sudah semestinya ada agar rekaman-rekaman hening yang tercipta dari mata dan hati masing-masing pemotret setidaknya dapat memberikan jejak kecil bagi sejarah baru Kota Jakarta. Jurnal fotografi kali ini memang tidak menyuguhkan cerita Kota Jakarta yang muram & gelap, melainkan citra Kota Jakarta yang optimis. Dengan demikian seluruh karya foto yang merefleksikan segala hal baik yang terjadi di Kota Jakarta, setidaknya dapat menjadi kumpulan doa dan harapan bersama bagi warganya. Walaubagaimanapun kita harus percaya bahwa segala hal apapun yang pada mulanya diselimuti kebaikan, pada akhirnya akan menghasilkan nilai yang sama sesuai dengan apa yang telah kita berikan. Karenanya berikanlah segala hal yang terbaik dari milikmu bagi kota yang kamu cintai.
*Tulisan ini dibuat sebagai kata pengantar Jurnal Fotografi “Jakarta Kita Photo Awards” yang diadakan oleh Salam Jakarta & wargajakarta.com
Bandung, 7 September 2012