Archive for the ‘MY WRITTINGS’ Category
JENAMA, KESIMA & GEMA KOTA KREATIF

Teks : galih sedayu
“My City, My Responsibility”
Sejatinya kota kreatif adalah sebuah kota yang memiliki karakter khas sehingga mampu melahirkan jenama, kota yang merefleksikan identitas diri sehingga mampu menciptakan kesima, serta kota yang mewartakan berita baik sehingga mampu menghasilkan gema ke seluruh penjuru dunia. Karenanya sejumlah kota kreatif pada umumnya berkomitmen untuk mencapai tujuan mulia yang telah ditetapkannya ; bersikap terbuka terhadap perubahan dan bersedia mengambil segala resikonya ; berprinsip teguh dan menerapkannya secara strategis dengan upaya taktisnya ; bersedia untuk mengenali dan memberdayakan sumber daya lokal dengan segala potensinya ; serta menumbuhkembangkan dan menyebarkan jiwa kepemimpinan secara lebih luas & visioner melalui keteladannya. Secara keseluruhan semua hal tersebut dapat disederhanakan ke dalam konsep “City as a personality”, yang tentunya menjadi sangat relevan dalam konteks membangun kota kreatif sekarang ini. Dimana konsep kota yang mencerminkan sebuah kepribadian didasarkan atas analogi antara individu manusia dan kotanya masing-masing. Kota itu sendiri adalah komunitas manusia. Maka dari itu lah, kita semua yang mewakili individu manusia serta menjadi bagian dari masyarakat luas harus ikut mengambil tanggung jawab dan peran demi memberikan yang terbaik bagi kota yang kita huni. Membangun kota bisa dimulai dengan membangun diri sendiri.
“Without Empathy, Creativity is Empty”
– Kang Ayip, Founder Rumah Sanur Creative Hub –
Himpunan individu melahirkan sebuah komunitas. Individu yang kreatif, produktif & solutif akan melahirkan komunitas yang kreatif, produktif, dan solutif pula. Sebab itulah komunitas sebagai salah satu stakeholder kota, sangat berperan dalam menentukan kompas pengembangan kota kreatif. Salah satu alasan terbesarnya adalah karena komunitas dengan daya & cara kreativitasnya, dianggap mampu untuk memecahkan solusi permasalahan kota sekaligus menjadikan bentuk kreativitas sebagai wajah dan ekspresi dari sebuah kota kreatif. Apalagi bahasa visual kota kerap dikomunikasikan oleh ekspresi wajah tertentu dari sebuah kota. Dari sanalah kita bisa menilai perihal nilai serta tanda-tanda psikologis dari sebuah kota kreatif. Memaknai kota kreatif harus disadari sebagai perpanjangan dari kreativitas kita masing-masing sebagai komunitas yang bertanggung-jawab secara kolektif demi mewujudkan kota yang bersih, sehat, indah, aman, dan bahagia. Apalagi didukung oleh “Political Will” yang nyata dihadirkan oleh para pemimpin kotanya. Namun demikian, kreativitas yang dipersembahkan oleh komunitas dapat menjadi bermanfaat bagi kotanya hanya karena satu alasan mendasar yang paling penting sebagai awal mula dari segalanya. Empati.
“Padamu Negeri Kami Berkolaborasi”
Indonesia Creative Cities Network (ICCN) merupakan perkumpulan independen yang terdiri dari jejaring kota / kabupaten kreatif serta menjadi entitas komunitas nasional yang berupaya mengembangkan kota kreatif di tanah air. Sejak berdiri pada tahun 2015, ICCN hingga kini terus memperjuangkan dan menjunjung tinggi “10 Prinsip Kota kreatif” yang menjadi roh utama dalam pergerakan sosialnya. 10 prinsip ini menjadi jala utama bagi ICCN untuk menjaring lebih banyak manusia beserta komunitas kreatifnya, untuk kemudian menebarkan kembali hasil tangkapannya agar dapat melebarkan serta menguatkan ikatan jala sebelumnya. Adapun butir-butir 10 prinsip kota kreatif ini terdiri dari kota yang welas asih ; kota yang inklusif ; kota yang melindungi hak asasi manusia ; kota yang memuliakan kreativitas masyarakatnya ; kota yang tumbuh bersama lingkungan yang lestari ; kota yang memelihara kearifan sejarah sekaligus membangun semangat pembaruan ; kota yang dikelola secara adil, transparan, dan jujur ; kota yang dapat memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya ; kota yang memanfaatkan energi terbarukan ; serta kota yang mampu menyediakan fasilitas umum yang layak untuk masyarakat. Salah satu implementasinya, setiap tahun ICCN menggelar sebuah pertemuan ruang dan waktu demi menghimpun unsur pemangku kepentingan kota kreatif yakni perwakilan pemerintah, komunitas, akademisi, bisnis, media, dan yang kini mulai digaungkan yaitu unsur aggregator. Sehingga pada akhirnya narasi kolaborasi kota kreatif yang sebelumnya disebut sebagai Penta Helix, saat ini mulai berubah menjadi Hexa Helix. Pada awal mulanya, pertemuan tahunan ini dinamakan Indonesia Creative Cities Conference (ICCC) yang kemudian berubah menjadi Indonesia Creative Cities Festival (ICCF). ICCF ini menjadi momentum yang sangat istimewa karena setiap kota / kabupaten diberi kesempatan untuk menjadi tuan rumah bagi para tamu undangan yang merupakan jejaring kota / kabupaten kreatif dari seluruh pelosok tanah air. Dari mulai Kota Surakarta (ICCC 2015) ; Kota Malang (ICCC 2016) ; Kota Makassar (ICCC 2017) ; Kota Jogjakarta & Kabupaten Sleman (ICCF 2018) ; Kota Ternate (ICCF 2019) ; Kota Denpasar & Kabupaten Karangasem (ICCF 2020) ; hingga Kota Pekanbaru & Siak (ICCF 2021). Berkat konsistensi ICCF inilah, jejaring kota kreatif yang ada di bumi nusantara ini senantiasa terhubung untuk saling belajar dan berbagi pengalaman yang saling bermanfaat.
Badai pandemi Covid 19 yang menghantam kota di seluruh dunia, tentunya menjadi tantangan bagi kota kreatif untuk melakukan perubahan agar lebih tangguh menghadapi masa depan. Karena sesungguhnya masa depan kota kreatif adalah kota senantiasa yang belajar dari pengalaman masa lalu, untuk kemudian menciptakan pengalaman baru dalam wujud yang baru. Dimana empati menjadi pemantiknya, dan kreativitas tetap menjadi nyala terangnya. Karena pertanyaan abadi yang menjadikan kontemplasi dari kreativitas itu adalah bagaimana caranya agar kita dapat menciptakan diri kita yang lebih baik dari sebelumnya serta bagaimana caranya agar kita dapat menggunakan kreativitas yang kita miliki sehingga dapat memberikan manfaat bagi cahaya sebuah kota. “From Liveable Cities to Loveable Cities”.
Kata Sambutan Menparekraf Sandiaga Uno di Acara Peluncuran Karisma Event Nusantara (KEN)

Teks oleh: galih sedayu
***
KATA SAMBUTAN
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Pada Peluncuran Kharisma Event Nusantara (KEN) 2021
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Selamat Malam,
Salam Sejahtera bagi kita semua, Om Swastyastu,
Namo Buddhaya, Salam Kebajikan.
Salam Indonesia Maju, Salam Sehat Penuh Semangat
Pergi ke pasar naik delman istimewa
Membeli buah manis rasanya
Sungguh bangga Nusantara
Punya event yang berkharisma
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas rahmat dan karuniaNya pada hari ini kita bersama-sama dapat meluncurkan “Kharisma Event Nusantara (KEN) 2021”, yang kita laksanakan pada hari ini, Sabtu 10 April 2021.
Selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia dan atas nama seluruh keluarga besar Kemenparekraf / Baparekraf RI, Kami menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Presiden Republik Indonesia yang terus mendorong penyelenggaraan kegiatan (events) sebagai salah satu upaya menggerakkan ekonomi nasional ; Kepada Kapolri dan jajarannya hingga ke daerah atas komitmennya memberikan ijin dan turut mengawal pelaksanaan kegiatan (events) yang telah menerapkan prinsip CHSE ; Kepada Satgas Covid-19 dan Kemenkes yang bersama kemenparekraf telah menyusun dan mengevaluasi panduan CHSE khususnya terkait event dan MICE ; Kepada asosiasi, penyelenggara event, komunitas, dan semua pekerja kreatif atas semangat juangnya yang tinggi untuk tetap kreatif serta terus mencari solusi terbaik agar dapat kembali menyelenggarakan kegiatan (events)khususnya di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif dengan menerapkan prinsip CHSE.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) memiliki visi yaitu pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia yang maju, berdaya saing, berkelanjutan, serta mengedepankan kearifan lokal dalam mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong-royong.
Untuk itulah Kemenparekraf berencana mengembangkan pariwisata dan ekonomi kreatif dengan menerapkan 3 hal yaitu inovasi, adaptasi, dan kolaborasi, termasuk tentunya dalam mengembangkan penyelenggaraan kegiatan (events) di Indonesia yang merupakan salah satu ekosistem pariwisata dan ekonomi kreatif.
Saudara-saudara yang kami cintai,
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak tahun 2020, menjadi masa yang sangat berat dan penuh tantangan bagi kita semua. Dampak pandemi ini begitu sangat pahit dirasakan bagi sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan kegiatan (events). Keadaan tersebut akhirnya memaksa kita semua untuk menekan semaksimal mungkin segala kegiatan (events) yang memiliki interaksi sosial bahkan juga mengharuskan kita untuk memencet tombol off. Akibatnya banyak kegiatan (events) yang terpaksa harus dibatalkan, demi mencegah terjadinya kerumunan orang.
Padahal penyelenggaraan kegiatan (events) sejatinya merupakan momentum yang paling dinanti dan diharapkan oleh seluruh masyarakat karena dapat menciptakan kesenangan (enjoyment), dapat menciptakan keterikatan (engagement), dapat menciptakan pengalaman (experience), serta dapat menciptakan pemberdayaan (empowerment). Sehingga pada akhirnya berbagai kegiatan (events) yang dilaksanakan akan menghasilkan dampak yang signifikan baik itu dari segi ekonomi, sosial & budaya, serta lingkungan. Hal-hal positif inilah yang membuat kita merindukan kembali penyelenggaraan kegiatan (events) di tanah air.
Saudara-saudara yang kami cintai,
Atas dasar itulah, Kemenparekraf telah menyusun dan merancang program Kharisma Event Nusantara (KEN) yang merupakan kalender event nasional, sebagai wujud nyata tindak lanjut arahan Bapak Presiden Republik Indonesia, agar kita bisa mulai melangkah demi membangkitkan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif khususnya dalam mempertahankan jumlah lapangan kerja dan perputaran ekonomi imbas pandemi Covid-19.
Kharisma Event Nusantara (KEN) merupakan program strategis Kemenparekraf dalam mempromosikan destinasi pariwisata melalui penyelenggaraan kegiatan (events) yang bertujuan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara serta menggerakkan wisatawan nusantara agar berwisata di Indonesia.
Program ini sebenarnya menyempurnakan program Calendar of Events (CoE) yang telah dilaksanakan sebelumnya oleh Kemenparekraf/Baparekraf RI sejak tahun 2018, dimana dahulu Kemenparekraf memilih dan menentukan 100 events dan Top 10 events yang masuk ke dalam CoE.
Namun karena situasi pandemi Covid-19 serta perlunya menyesuaikan dengan bentuk adaptasi kebiasaan baru, maka program Kharisma Event Nusantara ini dirasa perlu dihadirkan untuk menjawab berbagai tantangan yang ada dalam wujud program yang baru.
Saudara-saudara yang kami cintai,
Pada Kharisma Event Nusantara kali ini Kemenparekraf memilih dan menentukan 10 kegiatan terbaik (Top 10 Events), 10 kegiatan terbaik skala internasional (Top 10 International Events), 10 kegiatan terbaik skala nasional (Top 10 National Events), 10 kegiatan terbaik skala regional (Top 10 Regional Events), serta kegiatan terbaik dari masing-masing provinsi di Indonesia (The Best Events of Province).
Kharisma Event Nusantara (KEN) diawali dengan pengajuan proposal kegiatan (events) melalui satu pintu yang diusulkan dari 34 provinsi di seluruh Indonesia. Agar proses pemilihan dan penentuan sejumlah kegiatan (events) terbaik Indonesia yang masuk ke dalam Kharisma Event Nusantara ini dapat berjalan dengan baik, maka dibentuklah tim kurator independen yang bertugas untuk untuk membantu menyusun dan menentukan kriteria pemilihan kegiatan (events), mengkaji dan menganalisa proposal kegiatan (events), serta melakukan komunikasi dan dialog dengan para penyelenggara dan pelaksana kegiatan (events).
Proses kurasi ini dilakukan untuk menyaring dan mendapatkan kegiatan (events) yang berkualitas, sehingga bentuk pendukungan yang akan diberikan kepada para penyelenggara kegiatan (events) nanti akan lebih jelas dan terukur. Baik itu pendukungan berupa perencanaan dan pendampingan kegiatan, promosi kegiatan, sarana dan prasarana kegiatan, pelaksanaan kegiatan, pengisi kegiatan, serta riset dan data kegiatan.
Seluruh kegiatan yang masuk ke dalam Kharisma Event Nusantara ini secara umum dipilih dan ditentukan berdasarkan tiga aspek yaitu aspek kreativitas berbasis teknologi digital dan inovasi (digital 4.0), aspek kolaborasi berbasis potensi lokal (local wisdom) dan pemberdayaan masyarakat (empowering), serta aspek adaptasi berbasis protokol CHSE (cleanliness, health, safety, dan environment sustainability).
Pada akhirnya penyelenggaraan kegiatan (events) yang dilaksanakan di Indonesia dan didukung oleh Kemenparekraf mulai saat ini akan sangat memperhatikan faktor kualitas ketimbang kuantitas. Oleh karena itu kami berharap bahwa setiap kegiatan (events) yang akan dilaksanakan nanti dapat menghasilkan dampak yang signifikan baik itu dari sisi ekonomi, sosial dan budaya, serta lingkungan”.
Saudara-saudara yang kami cintai,
Pada kesempatan yang berharga ini, kami menyampaikan apresiasi kepada para Pemerintah Daerah dan Dinas Pariwisata seluruh Indonesia atas konsistensinya untuk tetap melestarikan Calendar of Events daerahnya pada tahun 2021 ini. Hal ini menunjukkan adanya semangat untuk membangkitkan dan meningkatkan kembali industri pariwisata dan ekonomi kreatif di daerah masing-masing.
Tentunya pelaksanaan kegiatan (events) ke depan perlu memperhatikan situasi dan kondisi yang terjadi di negara ini, mengingat pandemi masih berlangsung dan proses vaksinasi nasional sedang giat dilaksanakan.
Menurut saya pelaksanaan kegiatan (events) di masa pandemi sebaiknya mengacu kepada konsep Localize, Personalize, Costumize, dan Smaller in Size. Secara singkatnya bahwa setiap kegiatan (events) saat inisebaiknyadapat menggali potensi lokal dan memberikan manfaat bagi masyarakat lokal, dapat memberikan kesan dan pengalaman yang terbaik bagi wisatawan, dapat menentukan target dan sasaran pengunjung yang jelas, serta dapat menerapkan bentuk hybrid dengan ukuran yang lebih kecil.
Saya berharap bahwa pelaksanaan kegiatan (events) yang telah mulai dilakukan saat ini dengan memperhatikan protokol CHSE, dapat membantu untuk memantik kembali api kreativitas di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif sebagai upaya percepatan pemulihan ekonomi di Indonesia.
Madu manis tiada tara
Tetap enak disimpan lama
Kharisma Event Nusantara
Mari kita dukung bersama
Maju terus Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia!
Terima kasih,
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Om Shanti Shanti Shanti Om,
Namo Buddhaya,
Salam kebajikan.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia
Sandiaga Salahuddin Uno
Mata Warga : Kolaborasi & Blusukan Fotografi Warga Kampung
Teks : galih sedayu
Foto : Air Foto Network [AFN]
Bila kita menganalogikan Kota Bandung sebagai sebuah pohon yang besar, maka akar-akar pohon yang dimilikinya dapat diumpamakan sebagai himpunan Kampung Kota yang tentunya bertugas menopang batang pohon tersebut agar tetap berdiri tegak dan memastikan daunnya tumbuh dengan baik. Oleh karenanya, kampung dan kota itu sejatinya selalu hidup bersama, tak ada yang lebih unggul, tak ada yang lebih diutamakan, tak ada yang lebih dinomor satukan. Namun pada praktiknya, khususnya dalam konteks pembangunan sebuah kota, terkadang perhatian terhadap ruang kampung seolah-olah menjadi seperti anak tiri, sehingga kerap jarang tersentuh serta cenderung diabaikan. Untuk itulah keroyokan program-program kreatif yang mengangkat isu perihal keberadaan kampung atau wilayah kecil di sebuah kota, perlu dihadirkan agar azas pemerataan pembangunan dapat terwujud.
Berita baiknya, saat ini mulai hadir program-program yang bersinggungan dengan kampung di Kota Bandung. Salah satunya adalah program Kampung Kreatif yang diinisiasi oleh komunitas / warga Bandung berkolaborasi dengan pihak pemerintah, pihak akademisi, pihak bisnis dan pihak media. Sinergitas “Penta Helix” inilah yang diharapkan mampu mendobrak ketiadaan konektivitas antar warga dalam membangun kotanya. Program Kampung Kreatif ini sesungguhnya merupakan gagasan universal, sehingga rasanya tidak perlu lagi diperdebatkan dengan mempertanyakan kembali, siapakah yang pertama kali melahirkan program ini ataupun siapakah yang berhak menjalankan program ini. Selama tujuannya baik, rasanya siapapun dapat melakukannya bagi Kota Bandung.
Seiring dengan waktu berjalan, sadar atau tidak, Kampung Kreatif ini ibarat menjadi lokomotif bagi program kreatif yang lain. Letupan-letupan kecil yang disuarakan ke dalam bentuk program demi merespon ruang kampung ini pun menjadi gerbong-gerbongnya. Namun rel ataupun jalurnya tetap sama serta memiliki tujuan yang sama pula. Salah satunya adalah program “Mata Warga”. Program yang diinisiasi oleh Bandung Creative City Forum {BCCF}, Air Foto Network {AFN}, Komite Ekonomi Kreatif Kota Bandung, dan Karang Taruna Kota Bandung ini merupakan sebuah program kolaborasi warga melalui fotografi. Dimana program Mata Warga ini menggunakan sebuah metodologi atau cara yang melibatkan komunitas / warga kampung secara aktif melalui media fotografi, dengan tujuan untuk melakukan perubahan sosial terhadap lingkungan sekitarnya secara kreatif. Di dunia fotografi, program ini biasa dikenal dengan sebutan “Participatory Photo Project”.
Karena salah satu fitrah disiplin dalam ilmu maupun bidang apapun adalah kebermanfaatannya bagi masyarakat, maka fotografi pun dipilih sebagai jembatan penghubung komunikasi warga kampung tersebut. Proses program Mata Warga ini dimulai dengan (1) Pelatihan dasar memotret bagi warga kampung ; (2) Diskusi untuk mengumpulkan data & analisa sederhana mengenai lingkungan sekitar ; (3) Melibatkan komunitas & persiapan pemotretan ; (4) Memotret sebuah isu yang ada di lingkungan sekitar ; (5) Presentasi karya foto hasil warga ; (6) Kurasi foto & pembuatan buku ; yang pada akhirnya diharapkan muncul proses diseminasi & perubahan sosial dari warganya. Tujuan program Mata Warga ini adalah membantu warga kampung untuk merekam dan merefleksikan potensi kampung serta menghadirkan perhatian komunitas terhadap lingkungannya ; Menyampaikan pengetahuan yang baik sekaligus kritik yang membangun perihal isu lingkungan melalui diskusi fotografi ; serta Menyentuh dan menjangkau pembuat kebijakan (dalam hal ini adalah pemerintah).
Lima (5) Kampung yang terdapat di Kecamatan Cijawura, Kecamatan Arcamanik, Kecamatan Lengkong, Kecamatan Batununggal, dan Kecamatan Kiaracondong di Kota Bandung, menjadi titik-titik akupuntur yang disasar melalui program Mata Warga ini. Pelatihan foto warga kampung dalam program Mata Warga pertama kali dimulai pada tanggal 27 Oktober 2016 di Kecamatan Cijawura, yang kedua digelar pada tanggal 10 Juni 2017 di Kecamatan Arcamanik, yang ketiga digelar pada tanggal 11 Juni 2017 di Kecamatan Lengkong, yang keempat digelar pada tanggal 15 Juli 2017 di Kecamatan Batununggal, dan yang kelima (terakhir) digelar pada tanggal 22 Juli 2017 di Kecamatan Kiaracondong. Program ini dibantu pula oleh sejumlah relawan yang menjadi pengajar dan fasilitator warga kampung tersebut. Para relawan tersebut adalah Alfian Widiantono, galih sedayu, Ruli Suryono & Sudarmanto Edris yang bertindak sebagai relawan pengajar fotografi, serta Agung Yunia, Kandi Sekar Wulan, Pandu Putra Pranawa & Shinta S Putri yang bertindak sebagai relawan fasilitator.
Banyak fakta, tempat & peristiwa menarik yang didapat dari masing-masing wilayah tersebut. Misalnya saja kue ondel-ondel yang sangat enak bisa kita rasakan di wilayah kampung Kecamatan Cijaura ; Jurig Walungan atau pasukan pembersih sampah sungai bisa kita temukan di wilayah kampung Kecamatan Arcamanik, Gang Ronghok yakni sebuah gang sempit yang hanya bisa dilalui oleh seorang saja bisa kita alami di wilayah kampung Kecamatan Lengkong, Lomba ketangkasan burung merpati bisa kita saksikan di wilayah kampung Kecamatan Batununggal ; Wahana permainan anak yang dikemas seperti pasar malam di samping tempat pembuangan sampah bisa kita lihat di wilayah kampung Kecamatan Kiaracondong. Belum lagi puluhan cerita warga yang membuat kita terpesona bak menyimak sebuah dongeng yang dituturkan oleh seorang kakek kepada cucunya.
Sebagai bentuk pertanggung-jawaban moral kepada Kota Bandung, maka seluruh cuplikan mata yang telah menjadi imaji hasil karya warga kampung tersebut, kami persembahkan ke dalam sebuah jejak literasi berupa buku. Buku ini kiranya dapat menjadi sumber ingatan & pengetahuan abadi, agar kelak setiap warga dapat selalu memberikan yang terbaik bagi kampungnya masing-masing. Sehingga perubahan sosial dapat terus dilakukan demi mengurai berbagai permasalahan yang ada dengan mengacu kepada informasi & gambar yang terekam dalam buku tersebut. Meski fotografi tak kan dapat mengubah sebuah kota, namun sesungguhnya fotografi dapat mengubah cara kita melihat sebuah kota. Dan itu semua dapat dimulai dari mata kita masing-masing. Karena dari mata, kemudian turun ke hati dan kemudian lahir menjadi empati.
Bandung, 7 Desember 2017
***
Text : galih sedayu
Photography : Air Foto Network [AFN]
If we analyze the city of Bandung as a big tree, then the roots of the tree can be likened to the set of Kampong / Village which certainly in charge of supporting the tree trunk to remain standing upright and ensure the leaves grow well. Therefore, the kampong and the city are actually always living together, no one is superior, no one takes precedence, no one is more united. But in practice, especially in the context of the development of a city, sometimes the attention to the kampong space seems to be like a stepchild, so it is often rarely touched and tends to be ignored. For that reason the creative programs that raise the issue of the existence of a kampong or a small area in a city, need to be presented so that the principle of even distribution of development can be realized.
The good news, currently starting to present programs that intersect with Kampong in the city of Bandung. One of them is the “Creative Kampong” program initiated by the community / citizens of Bandung in collaboration with the government, the academics, the business side and the media. This “Penta Helix” Synergy is expected to break the lack of connectivity between citizens in building the city. This Creative Kampong program is actually a universal idea, so it does not need to be debated anymore by questioning who was the first to give birth to this program or who is eligible to run this program. As long as the goal is good, it feels anyone can do it for the city of Bandung.
Along with running time, consciously or not, Creative Kampong is like a locomotive for other creative programs. Small explosions voiced into the form of a program to respond to this kampong space became his carriages. But the rail or track remains the same and has the same goal. One is the “Mata Warga / Citizen Eye” program. Program that initiated by Bandung Creative City Forum {BCCF}, Air Foto Network {AFN}, and Bandung Creative Economy Committee is a citizen collaboration program through photography. Where this Program uses a methodology or a way that involves the community / villagers actively through the media of photography, with the aim to make social changes to the surrounding environment creatively. In the world of photography, this program is commonly known as “Participatory Photo Project”.
Because one of the nature of discipline in science and any field is its usefulness for the community, then photography was chosen as a bridge connecting communications residents of the village. This Mata Warga program process begins with (1) basic training of photographing for the villagers ; (2) Discussion to collect simple data & analysis on the surrounding environment ; (3) Involving community & photographing preparation; (4) Taking pictures of an existing issue in the neighborhood ; (5) Presentation of photographs of residents’ results ; (6) Curation photo & book making ; which in turn is expected to appear dissemination process & social change from its citizens. The objective of this program is to help villagers to record and reflect the potential of the village and to bring the community’s attention to the environment ; Convey good knowledge as well as constructive criticism of environmental issues through photography discussions; and Touch and reach policy makers (in this case is government).
Five (5) Kampong in Cijawura District, Arcamanik District, Lengkong District, Batununggal District, and Kiaracondong District in Bandung City, become acupuncture points targeted through Mata Warga program. Photo training of the villagers in the Mata Mata program was first started on 27 October 2016 in Cijawura District, the second was held on 10 June 2017 in Arcamanik District, the third was held on 11 June 2017 in Lengkong District , the fourth was held on the 15th July 2017 in Batununggal District, and the fifth (last) was held on July 22, 2017 in Kiaracondon District. This program is also assisted by a number of volunteers who became teachers and facilitators of the villagers. The volunteers are Alfian Widiantono, galih sedayu, Ruli Suryono & Sudarmanto Edris who acts as volunteer of photography lecturer, and Agung Yunia, Kandi Sekar Wulan, Pandu Putra Pranawa & Shinta S Putri who act as volunteer facilitators.
Many interesting facts, places and events gained from each of these areas. For example, Delicious ondel-ondel cakes that we can feel in the Cijawura Kampong area ; Jurig Walungan or river rubbish cleaning troops can be found in the Arcamanik Kampong area : Gang Ronghok a narrow alley that can only be passed by a person we can experience in the Lengkong Kampong Area, pigeon dexterity race that we can see in the Batununggal Kampong area ; Children’s games are packed like a night market next to a landfill that we can see in the Kiaracondong Kampong area. Not to mention dozens of stories of citizens who make us fascinated like listening to a fairy tale told by a grandfather to his grandson.
As a form of moral responsibility to the city of Bandung, then the entire footage of the eye that has become the image of the work of the villagers, we dedicate into a literacy trail of books. This book may be a source of lasting memory & knowledge, so that every citizen can always give the best for his or her own village. So that social change can continue to be done in order to parse various existing problems with reference to information & images recorded in the book. Although photography can not change a city, photography can actually change the way we see a city. And it can all start from our own eyes. Because from the eye, then down to the heart and then born into empathy.
Bandung, December 7, 2017
* Mata Warga Kecamatan Cijawura
* Mata Warga Kecamatan Arcamanik
* Mata Warga Kecamatan Lengkong
* Mata Warga Kecamatan Batununggal
* Mata Warga Kecamatan Kiaracondong
Copyright (c) by galih sedayu & AFN
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer & AFN.
Menangkap Pikiran, Merasakan Semesta | Teks Pengantar “Mind Reflection” | Art Exhibition by Andra Semesta
Menangkap Pikiran, Merasakan Semesta
Teks : galih sedayu
Andra Semesta. Begitulah seorang perupa & pekerja kreatif muda ini disebut namanya. Layaknya kaum muda yang mewakili jiwa jamannya, Ardiandra Achmadi Semesta yang lahir di Kota Batavia pada tanggal 28 April 1991 ini, sudah sejak lama memuja musik dan bahkan terhubung intim dengannya. Musik menjadi jendela ide yang pertama kali ia buka sekaligus menjadi sahabat sejati yang menemaninya berkarya dalam setiap sapuan kuas yang ditorehkan olehnya atas kanvas kosong. Berkat kemampuan sinestesia Andra, himpunan nada & suara yang ia dengar dari sebuah lagu, direfleksikan kembali olehnya ke dalam sebuah bentuk bunyi visual sehingga melahirkan karya-karya lukis yang cenderung abstrak, ekspresif serta penuh warna.
Saat ini produk seni rupa termasuk karya lukisan menjadi salah satu produk sub sektor Industri Kreatif yang tentunya memiliki peran tersendiri dalam memberikan kontribusi terhadap pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia. Ada 16 sub sektor Industri Kreatif yang menjadi tanggung jawab pemerintah kita melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang dibentuknya sejak tahun 2015. Dari mulai Aplikasi & Pengembang Permainan ; Arsitektur ; Desain Interior ; Desain Komunikasi Visual ; Desain Produk ; Fashion ; Film, Animasi & Video ; Fotografi ; Kriya ; Kuliner ; Musik ; Penerbitan ; Periklanan ; Seni Pertunjukkan ; Seni Rupa ; Televisi & Radio. Namun perbincangan seni rupa sebagai salah satu gerbong dari industri kreatif ini kerap menjadi topik seru yang tak kan pernah ada ujungnya untuk dibahas. Entah itu isu yang menyangkut proses penciptaan hingga nilai transaksional yang terjadi di sana.
Walaupun begitu, sebagian para pekerja kreatif bahkan seperti tidak ambil pusing dan memilih untuk berkarya saja seperti yang dilakukan oleh Andra Semesta melalui Pameran Tunggalnya yang ketiga dengan tajuk “Mind Relection”. Bertempat di Lawangwangi Creative Space, Bandung, kegelisahan dan buah pikiran Andra dipersembahkan olehnya ke dalam karya-karya lukis hasil dari sentuhan tangan & guratan hatinya. Seluruh karya Andra tersebut dipamerkan selama seminggu dan berlangsung dari tanggal 27 April hingga 2 Mei 2017. Sebelumnya Andra pun sempat menggelar Pameran karya miliknya diantaranya Noises by GAP “Sonic Sun” album release show yang bertempat di The Goods Dept. Plaza Indonesia, Jakarta (18 Juli 2011) ; Painting BA 1st Year Corridor Show di Wimbledon College of the Arts, London (6-12 Maret 2012) ; Pameran Tunggal “Mandala : Visualisasi Musik” di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (22-29 Mei 2015) ; serta Pameran Tunggal “Peleburan Rupa, Nada dan Kata” di Cemara 6 Galeri (29 Maret – 11 April 2016).
Puluhan karya Andra Semesta yang dipamerkan tersebut ibarat sebuah konser visual yang pertama kali disuguhkan olehnya di Kota Paris Van Java ini. Kolaborasa antara kepekaan andra dengan magnet lagu ini menjadi repertoar utuh dalam sebuah pertunjukkan visual miliknya. Kita bisa simak bagaimana lagu “Blonde” dari Frank Ocean ; “Goodness” dari The Hotelier ; “22, A Million” dari Bon Iver ; My Beautiful Dark Twisted Fantasy” dari Kanye West ; “Codes and Keys” dari Death Cab For Cutie ; “The Haunted Man” dari Bat For Lashes ; “The Terror” dari The Flaming Lips dan masih banyak lagi, seperti ber-reinkarnasi ke dalam jejak karya yang dipamerkan oleh Andra Semesta.
Bila kita telisik, hampir sebagian karya Andra Semesta menggunakan kanvas yang berbentuk lingkaran. Entah mengapa ia begitu terobsesi dengan bentuk yang ia sebut dengan mandala. Baginya filosofi spiritual & psikologis sangat melekat dengan bentuk mandala tersebut. Barangkali karena pikirannya yang terus berputar, sehingga alam bawah sadarnya merekam sebuah pola jejak putaran yang menyerupai bentuk lingkaran atau mandala tersebut. Seperti hidup yang selalu berputar, begitu pula agaknya jalan pikiran seorang Andra. Ia sepertinya ingin berdialog dengan musik selamanya. Dengan mengutip sepenggal bait lagu “If” yang ditulis oleh David Gates & dipopulerkan oleh kelompok musik Bread, mungkin kalimat ini yang ingin diutarakan oleh Andra Semesta kepada musik yang menjadi separuh nafasnya,
“If a picture paints a thousand words, then why can’t I paint you?”.
Copy right (c) 2017. All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means without prior permission from Andra Semesta & Ruang Kolaborasa.
Paul Tedjasurja, Mata Sejarah dan Sang Pewarta Kesetiaan
Teks & Foto oleh galih sedayu
Pada suatu malam yang dingin di Kota Bandung, di pertengahan bulan April tahun 1955, seorang pemuda sederhana berusia 25 tahun tengah mempersiapkan peralatan tempur fotografinya demi mengabadikan sebuah peristiwa yang sangat bersejarah yakni Konperensi Asia Afrika (KAA) Bandung. Kamera Leica III F seberat 1,5 kg, lampu kilat seberat 8 kg, perangkat aki untuk pencahayaan tambahan (blitz) serta sejumlah roll film hitam putih menjadi saksi bisu perhelatan KAA yang kini telah menjadi peristiwa legendaris di dunia. Di hari senin yang cerah, tanggal 18 April 1955, tepat pukul 07.00 pagi, pemuda tersebut langsung bergegas menuju Gedung Merdeka Bandung di Jalan Asia Afrika dengan menunggangi motor 250 cc merk Jawa miliknya. Saat itu ratusan warga baik dari dalam Kota Bandung maupun dari luar Kota Bandung sudah berkerumun berdiri dan berbaris rapi di sisi-sisi jalan Asia Afrika sembari menunggu kedatangan para tamu delegasi KAA. Sekitar pukul 08.00 pagi, akhirnya para undangan yang dihadiri 29 negara peserta KAA tersebut mulai keluar dari persinggahannya di Hotel Savoy Homann yang juga terletak di Jalan Asia Afrika. Mereka semua berjalan kaki menuju Gedung Merdeka yang letaknya tidak terlalu jauh dari Hotel Savoy Homann. Kala itu sejumlah wajah para pemimpin dunia pun tercatat dan terekam oleh mata pemuda ini dari mulai Jawaharlal Nehru (India), Chou En Lai (Cina), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Norodom Sihanouk (Kamboja), U Nu (Birma) dan lain sebagainya. Sekira pukul 10.00 pagi, sebuah mobil buick buatan tahun 1945 berhenti di persimpangan Jalan Braga & Jalan Asia Afrika (Tepat di depan Apotek Kimia Farma Braga Sekarang).
Tak lama kemudian muncul dari dalam mobil tersebut, Presiden & Wakil Presiden pertama negara Indonesia yakni Bung Karno & Bung Hatta, sebagai tuan rumah yang akan membuka kegiatan KAA. Kemudian pemuda itu pun mengikuti kedua tokoh tersebut hingga masuk ke dalam Gedung Merdeka yang menjadi tempat utama kegiatan KAA yang berlangsung dari tanggal 18 – 24 April 1955. Dan dari dalam gedung itulah, sejarah mencatat nama baik Bandung dan Indonesia kala itu. Rentetan kejadian dan momen yang sangat langka itu, secara apik berhasil dibekukan oleh pemuda yang penuh semangat tersebut. Dimana karya foto hasil bidikan pemuda itu kini telah menjadi bukti nyata keharuman dan kebesaran peristiwa KAA yang terjadi 60 tahun silam.
Paul Tedjasurja. Itulah nama pemuda tersebut yang kini telah menjadi tokoh legenda Kota Bandung, yang berhasil merekam sekitar 300 gambar perihal kegiatan KAA dari mulai suasana konperensi hingga para tokoh dunia yang hadir waktu itu. Saat peristiwa KAA berlangsung, Paul Tedjasurja yang akrab dipanggil dengan sebutan Om Paul ini masih menjadi fotografer lepas atau Freelance di berbagai media cetak. Salah satunya adalah Media Pikiran Rakyat (PR) yang kerap menggunakan kontribusi karya foto milik Paul. Menurut Paul, ada beberapa rekan fotografer lain yang turut pula mengabadikan momen KAA tersebut yakni Dr. Koo Kian Giap (Antara), Lan Ke Tung (PAF/Antara), Johan Beng (Antara), dan AS James. Namun kini mereka semua telah tiada. Sesungguhnya, pendokumentasian peristiwa KAA yang dilakukan Paul tersebut merupakan momen perdana atau pertama kalinya ia memotret kegiatan bertaraf internasional. Ketika Paul meliput acara pembukaan KAA, ia pun menuturkan bahwa selama di dalam Gedung Merdeka, para wartawan tulis dan foto diminta untuk tidak boleh terlalu dekat dengan para delegasi negara sehingga mereka ditempatkan di sebuah balkon khusus di sana. Acara pembukaan KAA tersebut berakhir sekitar pukul 13.00 siang yang dilanjutkan dengan penyelenggaraan sidang di Gedung Dwi Warna (sekarang menjadi kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Jawa Barat) yang terletak di Jalan Diponegoro Bandung.
Menjelang sore, Paul pun bergegas pergi untuk mencuci dan mencetak roll film hasil rekamannya yang dilakukan di kamar gelap sebuah ruangan, yang berlokasi di Jalan Naripan No.4 Bandung (Kini menjadi halaman parkir Bank Jabar). Untuk proses tersebut, Paul melakukannya dengan cepat selama kira-kira setengah jam agar hasil fotonya dapat segera dikirim ke redaksi PR sebelum pukul 4 sore. Kala itu pula, seorang fotografer AP sempat meminta tolong kepada Paul untuk dapat membantu mencetak foto-fotonya. Setelah semuanya selesai, Paul pun kembali mendatangi resepsi yang digelar untuk menjamu para tamu delegasi negara peserta KAA.
Surabaya menjadi kota kelahiran seorang Paul Tedjasurja, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1930. Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, ia masih duduk di bangku sekolah MULO (sekolah belanda setingkat SMP) di daerah Praban yang kini terletak di sekitar SMP 3 Surabaya. Ia pun menuturkan bahwa pada tanggal 7 November 1945, Jenderal Mansergh NICA kala itu menjatuhkan ultimatum lewat selebaran yang dijatuhkan dari ketinggian pesawat di atas langit biru surabaya. Ia ingat benar dengan peristiwa tersebut karena saat itu ia pun ikut berebut memunguti selebaran tersebut bersama kawan-kawannya. Setelah ia lulus sekolah menengah pada tahun 1949, ia pun hijrah dari Kota Surabaya menuju Kota Bandung atas ajakan seorang pamannya dikarenakan ayahnya yang bekas tahanan Kenpeitai, Jepang meninggal dunia setelah menderita sakit-sakitan selama kurang lebih 5 tahun. Di Kota Bandung lah, ia mulai jatuh cinta kepada dunia fotografi dan mulai belajar memotret sejak berumur 21 tahun. Ia pun kemudian menjalani kehidupannya sebagai pewarta lepas di sebuah majalah yang bernama “Gembira” serta menjadi pewarta lepas di sebuah agensi yang bernama “Preanger Foto” yang bertugas memasok karya foto ke perusahaan Jawatan Penerangan Jawa Barat, dimana calon mertuanya bekerja di sana.
Njoo Swie Goan adalah nama calon mertua Paul yang pertama kali mengajarinya ilmu fotografi. Njoo sendiri sebenarnya merupakan anggota Perhimpunan Amatir Foto (PAF), yaitu sebuah klub foto tertua di Indonesia yang hingga kini masih ada. Njoo terkenal dengan hasil karya fotonya yang berani tatkala merekam peristiwa keganasan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) dengan tokohnya Kapten Westerling yang terjadi di bandung pada bulan januari 1950. Berkat Njoo itulah, Paul muda dibekali kamera Leica III F yang menjadi kamera pertama miliknya untuk digunakan dalam meliput kegiatan KAA tahun 1955. Ia menyebutkan bahwa kamera Leica tersebut saat itu merupakan satu-satunya tustel yang kecil dan bisa menghasilkan frame dalam format panjang atau format panorama. Sayangnya, pada tahun 2000 kamera tersebut ia jual kepada seorang kolektor seharga ratusan ribu rupiah saja dan ditukar dengan beberapa lensa. Yang lebih mengenaskan adalah pada saat peringatan 30 tahun KAA pada tahun 1985, dimana ia kehilangan sejumlah karya foto KAA 1955 beserta negatif miliknya, yang dipinjam oleh seseorang dari pemerintah dan hingga kini tidak pernah dikembalikan dan tidak pernah jelas rimbanya. Kemudian malang kembali menimpanya, dimana semua album dan negatif foto yang dimilikinya, termasuk dokumentasi KAA 1955 ludes terbakar tatkala redaksi Pikiran Rakyat di Jalan Soekarno Hatta 147 Bandung mengalami musibah kebakaran pada tanggal 4 Oktober 2014. Beruntung ketika pada bulan April tahun 2005, sebagian file negatif miliknya telah disimpan dalam format file digital dan diselamatkan oleh beberapa sahabatnya untuk kemudian digunakan dalam Pameran 50 Tahun KAA.
Namun ajaibnya ia masih tetap bisa tersenyum atas segala kejadian pahit yang menimpanya. Ia pun merasa bersyukur dalam hidupnya bahwa ia masih memiliki pengalaman yang menyenangkan hati. Salah satunya selama memotret kegiatan KAA 1955, tatkala seorang wartawan asing menjadikan pundaknya sebagai tripod atau penyangga kamera saat berada di bandara Hussein Sastranegara. Meskipun begitu ia tidak marah dan dengan senang hati melakukan hal tersebut demi solidaritas terhadap rekan seperjuangannya. Bila kita bayangkan peristiwa tersebut, barangkali momen itu adalah sebuah pemandangan langka yang jarang kita lihat dewasa ini.
Kiprah Paul Tedjasurja sebagai seorang pewarta foto sebenarnya sudah mulai tercium oleh berbagai media di jamannya. Terbukti ketika ia masih menyimpan dengan baik kliping dari sebuah majalah “Gembira” yang memuat profilnya pada tanggal 11 Februari 1956. Di dalam majalah tersebut, dimuat foto Paul muda yang terlihat sedang mengintip jendela pembidik kamera Leica miliknya. Dan di dalam majalah tersebut diberitakan seperti ini,
Memperkenalkan :
WARTAWAN FOTO KITA
Bagi penduduk kota Bandung dan sekitarnja ia sudah tjukup dikenal. Baik dikalangan djembel maupun dikalangan ningratnja. Atau bagi parapeladjari mahasiswa maupun diorganisasi bahkan sampai kepada kalangan Angkatan Perangnja.
Kemudian di bawah foto Paul Tedjasurya tertulis seperti ini,
Paul sedang beraksi ketika ada pertandingan poloair dipemandian Tjihampelas Bandung.
Lihat duduk seenaknja dispringlank jang paling atas, dan tjoba gojang sedikit sadja pangkal papan itu pasti ia akan terdjun kedasar pemandian.
Pun tjoba lihat persiapan jang selalu dibawanja kalau ia bertugas.
Toestel Leica dengan telelensanja dan resvre Super Ikonta tamabah satu tas berisi pilem2 dan lain jang diperlukan untuk melantjarkan kerdjanya.
Tahan tuh ………………………………………………………..
Lalu berita tentang Paul Tedjasurya tertulis seperti ini,
Sebab hampir pada tiap upatjara umum apa sadja atau pada kedjadian2 penting dia selalu muntjul dengan “sendjata”nja, untuk hilir mudik di tempat tsb. Guna “menembaki” sesuatunja jang dianggap djadi objek jang baik.
Itulah Sdr.Paul The jang selalu dipanggil oleh rekan wartawan lain dengan Bung Paul. Ia adalah wartawanfoto dari Preanger Studio Bdg, inklusip
wartawanfoto madjalah kita : “GEMBIRA”.
Makanja kalau selama ini Tuan atjap menemukan gambar2 jang tertera dihalaman madjalah kita ini, baik dihalaman tengah atau dihalaman lain jang tak bertanda, itu adalah hasil dari “tembakan2”nja.
Djadi wartafoto melelahkan sekali – katanja – dan kadangkala mendjemukan. Tjoba – katanja lagi – kalau sedang menghadiri suatu upatjara atau lain perajaan apa sadja, saja harus menunggu sampai babak terakhir. Beruntung kalau upatjara itu berdjalan dengan landjar, tapi paling mendjengkelkan kalau sudah djam karet jang dipergunakan dan ditambahi dengan pertelean yang bertele-tele. Kalau wartawan tulis bisa meninggalkan itu lalu esoknja bisa meminta berita selengkapnja, tapi bagi kami – wartawanfoto – hal ini tak mungkin, tertambah tak sampai hati meninggalkan upatjara itu atau lainnja sebelum habis.
Memang utjapan ini ada betulnja. Sebab tak djarang dia pulang larutmalam, kalau sudah menghadiri satu perajaan atau lainnja, jang mungkin termasuk upatjara jang memakai djam karet dan bertele-tele pula. Kadang lewat djam malam, sedang selalu pula ia pada siangnja hanja mengaso satu atau dua djam sadja. Malah tak djarang ia nonstop dari pagi sampai tengah malam terus2an tjetrak-tjetrek dengan alatnja. Bergantung dengan banyaknja undangan jang semua harus didatangi dan minta semua diabadikan.
Namun demikian Paul tidak pernah lelah kelihatan. Ia menjadari bahwa wartawan adalah trompet masjarakat. Abdi rakjat. Dan sama dimengerti bahwa wartawan tulis hanja bisa muat berita disuratkabar untuk dibatja, tapi tidak mendalam kesan akan sesuatunja kalau tidak ada gambar2nja.
Last but not least : bahwa wartawan fotolah jang paling berbahagianja diantara wartawan2 lainnja. Tjona sadja, kalau tiap menghadiri satu perajaan dll, baru sadja dia masuk sudah banjak – jang minta diopname walaupun simanusia itu bukan orang penting pada upatjara tsb. Dan jang begini ini sudah terang menimbulkan keirian pada wartawan2 tulis lainnja. (JW).
Meski Paul Tedjasurja sudah menjadi kontributor koran Pikiran Rakyat sejak tahun 1953, namun baru pada tahun 1985, ia secara resmi menjadi wartawan Pikiran Rakyat dan sejak saat itu telah mengabdi selama kurang lebih 20 tahun lamanya. Berkat dedikasinya terhadap PAF dan dunia fotografi pula, pada tahun 1997 bersamaan dengan HUT PAF ke-73, ia mendapat gelar kehormatan Honorary Perhimpunan Amatir Foto (Hon.PAF). Penghargaan ini diberikan oleh Dewan Pertimbangan Gelar PAF kepada Paul Tedjasurja yang bernomor anggota PAF 026, yang disaksikan oleh 217 anggota PAF yang hadir di Cisarua Lembang. Selain fotografi, ternyata ia pun memiliki hobi lain yaitu mengumpulkan perangko. Uniknya, ia menggabungkan kedua hobi antara fotografi dan mengumpulkan perangko ini yang sering disebut sebagai Foto-Filateli. Boleh jadi Paul Tedjasurja adalah orang pertama di Indonesia yang memadukan obyek foto dengan filateli dan autogram. Karenanya sebelum KAA berlangsung, ia pun sudah memotret Gedung Merdeka sebagai tempat berlangsungnya konperensi tersebut. Bertepatan dengan pembukaan konperensi, pihak Pos & Giro (Pos Telepon dan Telegram / PTT pada waktu itu), menerbitkan perangko seri KAA. Kemudian Paul pun membeli beberapa edisi perangko tersebut, untuk kemudian ditempelkan di belakang foto Gedung Merdeka yang telah ia persiapkan sekaligus meminta stempel hari pertama kepada petugas PTT setempat. Foto perangkonya ini tentunya memiliki nilai lebih dibandingkan dengan sampul hari pertama (first day cover) yang biasa. Tak heran bila Paul dapat membiayai kuliah anaknya di Universitas Katolik Parahyangan berkat menjual koleksi perangkonya tersebut.
Paul Tedjasurja saat ini tinggal dan menetap di sebuah rumah sederhana nan nyaman yang terletak di Komplek Kopo Permai Bandung. Hidup damai bersama istri tercintanya Nyonya Herawati, seolah dibuktikan di dalam kartu namanya yang tertulis nama Paul Tedjasurja dan istri. Ia pun telah dikarunia 3 orang anak dan saat ini telah menjadi kakek dari 6 orang cucu yang dimilikinya. Meski usianya kini genap 85 tahun, namun tubuhnya masih tampak sehat dan daya ingatnya pun masih cukup tajam. Sekarang dan selamanya, Paul Tedjasurja adalah sebuah contoh sejati bagi pewarta kesetiaan. Nama dan karyanya akan selalu hidup dan menjadi berkat abadi dalam peradaban fotografi kita. Dengan pengantaraan cahaya yang menerangi Paul Tedjasurja, marilah kita selalu mengenangkannya dalam laku dan sikap kita.
Sumber Tulisan
– Wawancara dengan Paul Tedjasurya. Bandung, 25 Maret 2015.
– Media Indonesia. 25 April 2005. “Semangat Paul Setelah 50 Tahun”.
– Suara Pembaharuan. 20 April 2005. “Paul Ingin Hadir di Gedung Merdeka”.
– Pikiran Rakyat. 18 April 2005. “Jepretan Om Paul Abadikan KAA 1955”.
– Kompas. 18 September 1996. “Paul Tedja Surya : The Public Eye”.
– Majalah Fotomedia. Februari 1995. “Paul Tejasurya : Wartawan Foto Dari Kota Kembang”.
– Majalah Gembira. 11 Pebruari 1956. “Wartawan Foto Kita”.
@galihsedayu | bandung, 25 maret 2015
Copyright (c) 2015 by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Nyanyian Pemersatu Dari Lubuk Hati Soeria Disastra
Teks & Foto oleh galih sedayu
Umurnya sudah genap berusia 72 tahun, namun tubuhnya masih kelihatan tegap dan perawakannya pun masih tergolong sehat dan bugar. Meski rambutnya sudah mulai memutih, namun raut wajahnya masih memancarkan keramahan yang menghangatkan. Penampilannya sangat sederhana, dengan kemeja tangan pendek bermotif garis lurus serta celana panjang berbahan kain yang dikenakannya. Teh hangat yang langsung dituangkan olehnya sendiri ke dalam gelas-gelas kecil serta suguhan pisang yang diberikan, menjadikan bukti bahwa betapa baiknya manusia satu ini. Itulah sosok seorang Soeria Disastra, tatkala saya dan beberapa teman berkesempatan menyambangi rumah sekaligus toko peralatan musik miliknya yang terletak di Jalan Kepatihan No.61 Bandung. Soeria Disastra adalah seorang tokoh Tionghoa yang kerap disebut sebagai “seniman pemersatu”. Ia sangat menyukai sastra, yang sekaligus digunakan olehnya sebagai jembatan untuk menyambungkan berbagai perbedaan budaya. Kesusastraan Tionghoa, Sunda & Indonesia dilebur olehnya menjadi sebuah entitas penting dalam upaya mempersatukan keberagaman. Beratus-ratus puisi dan puluhan prosa telah ia terjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa serta menerbitkannya ke dalam sejumlah buku. Diantaranya Antologi Prosa & Puisi, “Senja di Nusantara” (2004), Terjemahan Puisi Baru Tiongkok “Tirai Bambu” (2006), dan sebuah buku berbahasa Tionghoa yang berjudul “Tak Pernah Aku Melihat Bulan” (2010). Karena jejak-jejak karya yang lahir darinya, ia pun terpilih sebagai salah satu dari sepuluh finalis Danamon Awards pada tahun 2010, yakni sebuah ajang penghargaan bagi tokoh-tokoh yang dianggap penting dalam gerakan kemanusiaan di bumi pertiwi.
Dalam pertemuan tersebut, Soeria banyak bercerita perihal berbagai pengalamannya waktu kecil. Salah satu yang menarik adalah peristiwa yang ia alami ketika masih duduk di bangku sekolah menengah dasar. Kala itu ia bersama seorang temannya, sedang bermain di area sekitar gedung merdeka Kota Bandung. Meski momen itu bertepatan dengan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955, Soeria kecil melihat bahwa suasana pada saat itu tidaklah begitu ramai. Kemudian ia menuturkan bahwa saat itu pula ia bertemu secara tidak sengaja dengan Chou En Lai, yakni Perdana Mentri Republik Rakyat Tiongkok yang sedang berjalan ditemani oleh para pengawalnya di sekitar Gedung Merdeka. Karena Nama Chou En Lai begitu sangat populer dan sering diajarkan di sekolah-sekolah Tionghoa, Soeria pun langsung mengenali sosok perdana mentri tersebut dan dengan serta merta memanggil nama Chou En Lai. Menurut Soeria, saat itu Chou En Lai hanya menengok ke arahnya sekejap dan kemudian kembali berjalan bersama para pengawalnya. Meski peristiwa itu hanya berlangsung singkat, namun ingatan tersebut masih membekas hingga kini di dalam kepala seorang Soeria Disastra.
Soeria Disastra lahir dan menetap di Kota Bandung meskipun seringkali ia berpindah-pindah tempat. Ia banyak mengeyam pendidikan di sekolah-sekolah Tionghoa dari mulai tingkat sekolah dasar, menengah hingga umum. Karena minatnya yang tinggi terhadap budaya dan bahasa, ia pun akhirnya memilih kampus Akademi Bahasa Asing (ABA) di Jalan Cihampelas Bandung yang sekarang namanya menjadi Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA). Setelah lulus kuliah, ia mulai fokus untuk mengelola usaha pribadi yang digelutinya sampai saat ini. Ia pun turut aktif dalam Komunitas Sastra Tionghoa Indonesia dan mengelola Paduan Suara Kota Kembang yang sejak dulu didirikan. Kini, Soeria tengah membantu penyusunan buku sejarah yang akan dibuat dalam rangka memperingati Konferensi Asia Afrika yang ke-60 tahun. Bahkan ia pun sengaja menciptakan lirik lagu yang berjudul “Bangkit dan Terbang Asia Afrika” sebagai salah satu persembahan yang diberikan olehnya bagi warga Kota Bandung dan bangsa Asia Afrika. Soeria berharap bahwa nilai-nilai Dasa Sila Bandung yang telah dihasilkan dari Konferensi Asia Afrika tahun 1955, dapat diterapkan dan dilaksanakan dengan baik oleh kita semua. Ia pun sangat menaruh harapan bahwa Bandung dapat menjadi simbol pemersatu bangsa Asia Afrika meski dengan berbagai perbedaan budaya. Bila Kota Jakarta adalah ibukota negara Indonesia, namun Bandung adalah ibukota Asia Afrika. Tentunya tanggung-jawab besar itu mesti kita pikul bersama. Karena sesungguhnya kekuatan Bandung itu adalah Kolaborasi yang menjadi Aksi.
@galihsedayu | Bandung, 23 Maret 2015
Copyright (c) 2015 by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.