I'LL FOLLOW THE SUN

Love, Light, Live by galih sedayu

Archive for the ‘MY PHOTO STORY’ Category

Pangkal Pesona Leluhur Desa Wologai

leave a comment »

Teks & Foto / Text & Photographs: galih sedayu

Mencermati permasalahan kehidupan kota di masa seperti ini, sangat mudah rasanya untuk meromantisasi apa yang kita bayangkan apabila menjalani kehidupan di sebuah desa tradisional. Karena pada umumnya kehidupan penduduk desa tradisional didorong oleh pertimbangan kelangsungan hidup pribadi dan keluarga meski tetap tunduk dalam sebuah aturan adat. Di sanalah komunitas menjadi metode keberadaan bagi masyarakatnya, bukan cita-cita yang memperkaya sekelompok orang. Desa tradisional memiliki nilai dan keunikannya masing-masing sesuai dengan lingkungan geografis, sumber daya alam, serta warisan budaya yang berbeda-beda.

Desa Wologai adalah sebuah desa adat yang menjadi salah satu destinasi wisata di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Desa Wologai hingga kini tetap mempertahankan nilai-nilai adat dan tradisional leluhurnya. Desa adat yang telah berusia sekitar 800 tahun ini berada di Desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, sekitar 43 km dari Kota Ende. Sebelum memasuki kawasan ini, di bagian depan sebelah kanan pintu masuk kita akan menemukan sebuah pohon beringin besar yang menurut masyarakat adat ditanam oleh leluhur mereka sebagai penanda waktu awal pendirian sekaligus batas Desa Adat Wologai yang memiliki luas sekitar satu hektar. Arsitektur bangunan Desa Wologai menyerupai kerucut dengan titik pusatnya yang berada di sebuah bangunan batu tinggi bernama Tubu Kanga. Dimana masyarakat setempat mempercayai bahwa Tubu Tanga tersebut merupakan kubur batu leluhurnya sehingga tidak boleh sembarang orang naik kecuali pada saat upacara adat. Batu ceper yang terdapat di tengah Tubu Tanga digunakan serupa altar untuk meletakkan persembahan bagi Sang Leluhur.

Bentuk rumah-rumah adat di Desa Wologai sangatlah dengan unik. Sekilas bentuk rumah-rumah mereka sama, yaitu bangunan berbentuk panggung dan berdiri di atas pondasi batu pipih dengan atap menjulang. Namun ternyata setelah menatapnya dari dekat, bangunan rumah adat tersebut satu sama lain memiliki perbedaan yang jelas, bahkan memiliki nama-nama yang berbeda setiap rumahnya. Ada rumah adat yang bernama Saopanggo, Attawolo, Saolabo, Lewabewa, Analamba, dan lain sebagainya. Menurut mosalaki ria bewa atau juru bicara para tetua adat, Desa Wologai ini memuat 18 rumah adat, 5 rumah suku, dan satu rumah besar. Bentuk rumah adat yang menjulang memiliki filosofi yang berhubungan dengan kewibawaan para ketua adat yang di dalam struktur adat dianggap dan dipandang lebih tinggi dari masyarakat adat biasa. Bagian kolong rumah (lewu) dahulunya difungsikan untuk memelihara ternak seperti babi dan ayam. Ruang tengah digunakan sebagai tempat tinggal, sedangkan loteng digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang yang akan diperlukan pada saat ritual adat. Pada setiap dinding kayu luar rumah adat tersebut terdapat berbagai ukiran yang mengisahkan keseharian masyarakat adat seperti bertani, hingga ukiran hewan-hewan yang akrab dalam kehidupan masyarakat setempat. Rumah suku berada di lingkar terluar dari Tubu Tanga dan digunakan sebagai tempat penyimpanan benda pusaka atau peninggalan milik suku. Sedangkan rumah besar hanya ditempati saat berlangsung ritual adat.

Untuk membangun rumah adat tidak boleh dilakukan sembarang. Satu rumah hunian tersebut akan menghabiskan satu pohon besar di hutan dengan kayu jenis ampupu serta genting ijuk yang berasal dari pohon enau atau moke. Sebelum membangun wajib didahului dengan ritual adat Naka Wisu yaitu aturan memotong pohon di hutan untuk digunakan sebagai tiang penyangga rumah. Ritualnya harus dilakukan pukul 12 malam, dengan terlebih dahulu menyembelih seekor ayam sebagai kurban. Masyarakat Dewa Wologai masih mempertahankan bentuk kampung adat karena tunduk dan taat pada perintah leluhur yang berpesan untuk selalu menjaga tradisi yang telah dilakukan secara turun-temurun. Musibah kebakaran pernah melanda Desa Wologai pada tanggal 9 Oktober 2012 yang menghanguskan sebanyak 20 rumah adat.

Dalam setahun di Desa Wologai terdapat dua ritual besar yakni panen padi, jagung dan kacang-kacangan (Keti Uta) yang digelar pada bulan April, dan tumbuk padi (Ta’u Nggua) yang digelar pada bulan September. Puncak ritual Ta’u Nggu’a adalah Pire dimana  selama 7 hari masyarakat tidak boleh menjalankan aktivitas hariannya. Selama masa ini seluruh masyarakat adat Wologai dilarang melakukan aktivitas pekerjaan seperti bertani, mengiris tuak dari pohon enau dan lain sebagainya. Setelah melewati berbagai upacara, maka masyarakat adat Desa Wologai akan menggelar ritual Gawi atau menari bersama di atas pelataran mengelilingi Tubu Kanga sebagai simbol mengucap syukur dalam kegembiraan dan kebersamaan.

Melihat warisan sosial dan kultural yang masih dipertahankan serta dilestarikan di Desa Wologai, tentunya dapat menjadi pembelajaran abadi bagi kita semua bahwa sesungguhnya tatanan hidup yang seimbang akan menjadikan manusia yang lebih bijak dalam laku keseharian. Sebentuk surga di bumi yang penuh kemuliaan dengan komunitas sebagai pengawal setianya. Tak tergerus oleh industri yang mengatasnamakan kemajuan jaman, tak terkikis oleh dunia yang menawarkan kesenjangan. Hanya ada satu kehidupan yang harmoni dan selaras antara manusia, alam dan Sang Semesta.

Desa Adat Wologai, Flores, NTT – 29 Mei 2022

Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.

Written by Admin

August 21, 2022 at 4:29 am

Warna Keagungan Semesta di Kelimutu

leave a comment »

Teks & Foto: galih sedayu

Gunung api menjadi bagian tubuh yang tak terpisahkan dari raga alam nusantara kita. Karena bumi pertiwi dengan segala keajaibannya termasuk ke dalam sabuk Cincin Api (Ring of Fire) dunia yakni rangkaian gunung berapi sepanjang 40.000 km dan situs aktif seismik yang membentang di samudera pasifik. Seperti halnya Kelimutu. Kelimutu merupakan sebuah gunung api di pulau Flores, tepatnya di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.  Gunung Kelimutu dengan ketinggian 1690 mdpl ini berada di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Kelimutu (Kelimutu National Park). Meskipun luasnya sekitar 5.356,50 hektare, namun kawasan konservasi ini menjadi taman nasional terkecil dari 54 Taman Nasional yang ada di Indonesia. Di kawasan Taman Nasional Kelimutu ini terdapat pula Gunung Kelido dan Gunung Kelibara yang menjadi teman penghuni bagi Gunung Kelimutu sebagai kerucut alam tertua yang masih aktif.

Adapun magnet yang menjadi pesona Taman Nasional Kelimutu adalah 3 buah danau vulkanik dengan warna yang berbeda dan terkenal dengan sebutan Danau Tiga Warna. Danau Kelimutu dengan masing-masing warna yang berbeda tersebut memiliki makna tersendiri bagi penduduk lokal di sana. Danau yang berwarna biru memiliki nama “Tiwu Nuwa Muri Ko’ofai” yang dipercayai sebagai tempat berhimpunnya para arwah dan jiwa dari pemuda dan pemudi yang telah meninggal. Danau yang berwarna merah memiliki nama “Tiwu Ata Polo” yang dipercayai sebagai tempat berhimpunnya para arwah dan jiwa dari orang-orang yang telah meninggal dimana selama hidupnya kerap melakukan kejahatan tenung. Danau yang berwarna putih memiliki nama “Tiwu Ata Mbupu” yang dipercayai sebagai tempat berhimpunnya para arwah dan jiwa dari orang tua yang telah meninggal. Walaupun cerita penduduk setempat menyatakan demikian, namun ketiga danau tersebut tidak selamanya tetap berwarna biru, merah, dan putih saja. Menurut catatan waktu, dari tahun ke tahun ketiga danau tersebut sudah pernah mengalami perubahan warna bahkan lebih dari sekali entah itu menjadi warna hijau, coklat, hitam, dan abu-abu. Perubahan warna yang terjadi pada danau Kelimutu sangat dipengaruhi oleh aktivitas vulkanis yang mendorong gas-gas di dalam bumi keluar ke permukaan dan kemudian bereaksi serta bercampur sehingga mengakibatkan perubahan warna pada air danau.

Perjalanan menuju ke kawasan Taman Nasional Kelimutu akan melewati Desa Moni yang berjarak sekitar 52 km dari Kota Ende. Sekitar dua jam lamanya, kita akan melalui jalan aspal yang berkelok-kelok dengan atmosfir bentangan alamnya yang begitu hijau. Sesampainya di Desa Moni, kita akan banyak temukan penginapan untuk bermalam dan beristirahat di kaki gunung Kelimutu. Saat itu saya menginap di sebuah penginapan yang bernama Ecolodge. Untuk mencapai puncak pemandangan agar dapat melihat keindahan danau 3 warna, kita harus berjalan kaki melakukan hiking dan trekking dari area parkir Taman Nasional Kelimutu yang pada umumnya ditempuh dengan waktu sekitar 30 menit. Matahari terbit di gunung Kelimutu merupakan sabda alam tersendiri yang bisa dinikmati kala pagi menjelang. Bila ingin mendapatkan sunrise setelah malam yang panjang di pulau flores, sebaiknya kita mulai berjalan kaki dari sejak subuh sekitar pukul 4 pagi. Tak usah kuatir, karena perjalanan mendaki puncak Kelimutu saat waktu masih subuh sembari diterpa udara yang begitu dingin, akan terbayar seketika tatkala pada akhirnya kita dapat melihat momen pertama kalinya mentari pagi yang muncul dari balik awan sekaligus merasakan hangatnya sinar yang dipancarkan saat menyentuh tubuh kita. Setelah itu, karunia terbesar akan kita dapati dimana sejauh mata memandang, semesta alam danau Kelimutu akan menampakkan wajahnya yang begitu mempesona dengan keajaiban warna-warni alam yang dimilikinya. Bagaikan berada di sebuah nirwana, surga di atas awan yang menjadi penghuni abadi Sang Terang Dunia. Saat itulah yang kita sebut hanya namaNYA dengan ucapan serta seruan syukur yang tak terhingga.   

Taman Nasional Kelimutu, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia – 29 Mei 2022

Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.

Mencambuk Buai Eksotisme Desa Liang Ndara

leave a comment »

Teks & Foto / Text & Photographs: galih sedayu

Gagasan kebudayaan yang berisi norma-norma luhur untuk mengatur kehidupan manusia dalam sekelompok masyarakat, diwariskan secara turun-menurun ke dalam sebuah adat.  Adat pun menciptakan masyarakat dan ruangnya tersendiri yang kerap disebut sebagai desa adat. Seperti Liang Dara. Inilah nama desa adat yang terletak di Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. Desa adat ini jaraknya sekitar 20 km dari Kota Labuan Bajo. Adalah Kristoforus Nilson, Ketua Lembaga Budaya desa adat Liang Ndara yang mendirikan kawasan ekowisata ini. Awalnya bersama warga Kampung Cecer, ia mendirikan sebuah sanggar budaya pada tahun 2010 dan kemudian dilanjutkan membangun sebuah kampung wisata yang hingga kini terkenal dengan sebutan Liang Ndara.

Sejauh mata memandang, desa adat Liang Ndara merupakan kawasan hijau nan tradisional dengan udara yang sejuk dan menyegarkan. Apalagi tatkala kabut datang, menambah suasana magis yang sangat menenangkan hati. Sesampainya di sana, kita akan disambut oleh kepala desa adat beserta masyarakatnya yang ramah sembari dikalungi selendang tenun khas daerah Manggarai Barat. Setelah itu kita akan dibawa masuk menuju rumah adat yang terbuat dari kayu dan beratap jerami. Di dalam rumah tersebut kita akan menjumpai para tetua adat yang dengan hangat menyapa dan bercerita dengan menggunakan bahasa Manggarai. Setelah itu ketua desa adat menyerahkan sejumlah uang sebagai simbol perkenalan yang harus kita terima dan kita pun diwajibkan untuk memberikan sejumlah uang kembali secara ikhlas. Perjamuan dilanjutkan dengan makan buah pinang bersama. Buah pinang yang telah selesai dikunyah kemudian disimpan ke dalam sebuah wadah dari bahan bambu. Di akhir perjamuan ditutup dengan mencicipi minuman adat berupa tuak bernama sopi yang disuguhkan di dalam cawan terbuat dari bahan kelapa. Ritual dan tradisi penyambutan dengan minum tuak secara bersama-sama ini disebut Reis. Usai acara perjamuan dari rumah adat, kita akan diajak bergabung di area teras rumah untuk menyaksikan berbagai suguhan tarian adat yang memiliki filosofi berdampingan dengan tata cara hidup masyarakat desa adat Liang Ndara. Dari mulai tarian sirih pinang atau reis meka, tarian caci, akumawo, rangkuk alu hingga tarian sanda. Para penampil himpunan tarian tersebut dilakukan secara berkelompok oleh wanita dan pria warga desa adat secara bergantian.

Diantara berbagai suguhan tarian tersebut, yang sangat menarik perhatian adalah tarian caci. Tarian caci merupakan adu ketangkasan yang dilakukan oleh dua orang pemuda dengan menggunakan cambuk yang dipasang kulit kerbau tipis dan perisai dari kayu, dimana masing-masing akan mencambuk dan menangkis secara bergantian. Nama “Caci” yang digunakan sebagai tarian ini memiliki arti ujian satu lawan satu, yaitu “Ca” yang berarti satu dan “Ci” yang berarti uji. Kostum yang digunakan para penari ini terdiri dari 1) Panggal yang terletak pada bagian kepala, terbuat dari kulit kerbau, dilapisi kain khas adat Manggarai bermotif renda, berbentuk persegi empat, bagian atasnya menyerupai tanduk kerbau yang berhiaskan bulu ekor kambing ; 2) Nggorong atau giring-giring yang terbuat dari logam dan diikatkan pada pinggang pemain untuk menambah kegagahan para pemain karena suaranya yang berbunyi pada saat pemain bergerak ; 3) Lipa Songke atau kain songke Lipa berupa kain sarung berwarna hitam bersulam khas Manggarai (menggunakan benang yang disisipkan di tengah kain tenunan) yang dipakai hanya sebatas lutut dengan kombinasi warna-warni minim yang disebut lipa laco dan kombinasi sulaman yang disebut dengan Jok ; 4) Tubi Rapa berupa perhiasan manik-manik yang digunakan pada wajah bersamaan dengan Destar (pakaian adat laki-laki yang hampir mirip dengan sapu, dipakai dengan cara dililitkan pada kepala dan berfungsi sebagai pelindung wajah) ; 5) Selendang yang diikatkan di pinggang dan merupakan kain tenunan khas Manggarai ; 6) Ndeki yang merupakan aksesoris terbuat dari bulu ekor kambing dan berfungsi sebagai pelindung punggung serta melambangkan kejantanan. Pertunjukan tari Caci dibuka dengan tarian Danding atau Tandak Manggarai. Sebelum beradu, setiap penari pria terlebih dahulu melakukan gerakan pemanasan otot sambil menggerakan badannya bak gerakan kuda. Dengan destar atau ikat kepala dan sarung songket, para pemuda berjejer menari dan menyanyikan lagu daerah yang dinyanyikan dengan lantang untuk menantang lawannya. Dengan lincah dan gemulai penyerang menghentakkan pecutnya ke tubuh lawan sambil melompat tinggi, yang kemudian akan ditahan oleh lawannya dengan menggunakan perisai. Setiap pemain beresiko memiliki bekas sabetan, tapi meski begitu tidak ada dendam antar pemain. Seluruh tarian ini diiringi oleh alunan musik yang wajib dimainkan oleh para wanita masyarakat adat Liang Ndara sebagai simbol kelembutan.

Secara keseluruhan tarian caci merupakan kolaborasi unik antara keindahan gerak tubuh dan pakaian yang digunakan penari (Lomes), Seni Vokal (Bokak), dan ketangkasan mencambuk dan menangkis (Lime). Tarian ini menjadi bentuk ekspresi suka cita masyarakat adat Liang Ndara saat upacara perkawinan (tae kawing) serta acara syukuran (panti) baik itu syukuran menyambut tahun baru, syukuran membuka ladang, syukuran hasil panen, atau syukuran menerima tamu kehormatan. Namun sesungguhnya, makna yang lebih mendalam dari itu semua adalah bahwa tarian ini memiliki filosofi kontemplasi diri serta membawa simbol pertobatan manusia dalam hidup. Untuk itu marilah kita berbagi suka cita dengan berkunjung ke desa adat Liang Ndara yang ada di Kota Labuan Bajo. Menari dan bersorak sorailah bersama masyarakatnya karena kabut yang kelam akan lenyap dan surya yang redup akan kembali bersinar. Lambungkan segala pujian dan syukur bersama mereka agar kita senantiasa belajar perihal memperbaiki kesalahan diri dalam kehidupan sehingga hari esok akan lebih baik dari hari kemarin.

Desa Adat Liang Ndara, Labuan Bajo, Flores, NTT – 27 Mei 2022

Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.

Museum Kehidupan Samsara: Ruang Keseimbangan Alam, Manusia & Semesta

leave a comment »

Teks & Foto: galih sedayu

Bagaikan masuk ke sebuah dimensi lain di bumi. Itulah yang saya rasakan ketika pertama kalinya menempatkan hati di kawasan Museum Kehidupan Samsara yang lokasinya berada dekat dengan Gunung Agung, tepatnya di Banjar Yeh Bunga, Desa Jungutan, Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Gapura yang terbuat dari bebatuan alami dengan atap dari alang-alang menjadi pesona pertama yang menjadi pintu utama untuk memasuki kawasan ini. Sapaan hangat dari para penerima tamu perempuan dan laki-laki yang mengenakan busana adat bali seraya mengucap kata “Om Swastiastu” pun menjadi awal perkenalan hati. Kemudian dilajutkan dengan ritual mengenakan selendang yang diikat di pinggang (kamben) serta membasuh tangan dengan mengambil air yang disimpan di sebuah gentong dan menggunakan gayung tradisional yang terbuat dari batok kelapa. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara kayu beradu. Sambil menyusuri jalan setapak, tampak terlihat sekelompok ibu-ibu yang sedang menggunakan alat penumbuk padi dari kayu (alu dan lesung) di depan sebuah gubuk kayu sederhana. Benturan alu dan lesung tersebut menciptakan bunyi irama yang harmonis dan terdengar merdu di tengah suasana alam hijau yang banyak dikelilingi oleh pohon kelapa. Sungguh semua momen itu menjadi suguhan pembuka yang sangat berkesan di hati.

Di dalam kawasan Museum Kehidupan Samsara, terdapat sebuah ruang yang berisi adegan siklus hidup manusia di Bali berupa 14 rentetan upacara Hindu disajikan dalam bentuk foto, deskripsi, beserta peralatannya. Dimulai dari berbagai nilai serta tradisi yang melekat sejak bayi berada di dalam kandungan, kemudian lahir ke dunia, hidup dan mati bahkan hingga menyatu dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa hingga tercapainya kesempurnaan. Di ruang ini, siklus hidup manusia direkonstruksi ulang dalam bingkai ritual, pemaknaan simbol serta narasi kearifan lokal yang dapat menjadi pengetahuan dan pengalaman tersendiri. Sebentuk cerita perihal tahapan kehidupan yang ditandai dengan berbagai upacara dan ritual tradisional yang mengarah pada keyakinan akan tugas hidup sebagai manusia dalam kelahiran berulang menuju nirvana. Sistem pohon keluarga yang dianut oleh masyarakat bali pun dapat dilihat dan dibaca di ruang ini. Di sanalah kita bisa mengetahui bahwasanya pemilik Museum Kehidupan Samsara ini masih satu garis keturunan dengan Mpu Tantular, pencipta Kitab Sutasoma.

Aktivitas keseharian masyarakat pun menjadi bagian yang menyatu di dalamnya sehingga pengalaman mata & hati kita menjadi utuh tatkala kita hadir dalam kesadaran penuh di ruang ini. Dari mulai pembuatan arak secara tradisional, hingga memasak makanan tradisional. Salah satu pendiri Museum Kehidupan Samsara  ini adalah Ida Bagus Agung Gunarthawa. Beliau adalah seorang sahabat baik dan saat ini kami bersama-sama di Indonesia Creative Cities Network (ICCN). Menurut Gus Agung, bingkai kata “Museum Kehidupan” tidak diartikan sebagai sebuah tempat disimpannya benda-benda bersejarah dalam kehidupan masyarakat. Namun memiliki dimensi tempat bersemainya sebuah proses pemaknaan kembali nilai-nilai luhur sebagai pengetahuan lokal (local wisdom) yang dapat dijalankan sebagai pedoman hidup manusia Indonesia dan dapat ditransformasikan menjadi pengetahuan baru kepada masyarakat lain dalam konteks pembangunan keragaman budaya dan toleransi dalam kehidupan sosial. Pemaknaan atas istilah “Museum Kehidupan” juga dapat diartikan sebagai upaya pemeliharaan dan pelestarian ritual, tradisi dan budaya yang berkembang dalam masyarakat Indonesia sebagai praktik dalam konteks peradaban yang dinamis. Bagi saya tempat ini bukan sekedar destinasi wisata namun ia juga menawarkan sebuah ruang kontemplasi bahwasanya kita adalah segala apa yang kita lakukan bagi alam, sesama & semesta.

Karangasem, Bali, 27 November 2020

Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.

Written by Admin

May 6, 2022 at 1:44 pm

Kupang, Cendana Harum Dari Timur

leave a comment »

Teks & Foto: galih sedayu

Himpunan imaji mural menyapa saya dengan hangat saat melangkahkan kaki untuk pertama kalinya di Kota Kupang pada suatu pagi yang terik selepas mendarat di Pulau Timor. Goresan visual warna-warni tersebut memenuhi bangunan-bangunan tua peninggalan masa kolonial yang berada di kawasan Pantai Lahi Lai Bissi Kopan (LLBK) Kota Lama, dekat dengan Dermaga Lama Kupang yang kini sudah tidak berfungsi lagi. Area bersejarah ini menjadi saksi bisu serta mewariskan ribuan cerita perihal keharuman Kayu Cendana yang menjadi kemuliaan pulau Timor terutama Kupang. Dimana kota ini dahulu menjadi pusat perdagangan antar pulau dan mulai ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Jawa pada abad ke-15. Karenanya Kota Kupang pun ditetapkan sebagai salah satu Kota Pusaka / Kota Warisan Budaya (Heritage City) di Indonesia pada tahun 2014. Mural ini bagi saya sangat merefleksikan jiwa semangat, identitas budaya, serta energi kreativitas yang dimiliki oleh pulau Timor dan seolah memanggil kita agar dapat berempati & berkolaborasi demi menyalakan kembali cahaya dari timur Indonesia.

Keseokan harinya saya kembali mengikuti mentari pagi yang membentuk wajah & bayang momen kehidupan di sekitar Pantai Kelapa Lima yang berlokasi di tepi Jalan Timor. Kawasan yang merupakan sentra penjualan ikan bagi masyarakat setempat ini rencananya akan dijadikan lokasi pusat kuliner Kota Kupang yang menawarkan berbagai sajian dan hidangan demi memuaskan dahaga lapar haus para wisatawan yang berkunjung ke sana. Ruang-ruang publik yang mencerminkan simbol kearifan lokal dapat terlihat dengan jelas di sana. Dari mulai gazebo berbentuk sasando (alat musik tradisional yang berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur), bangunan pusat kuliner dengan atap jerami yang menjorok ke laut, panggung budaya, hingga jetty atau dermaga untuk pedagang yang menjadi ikon ruang terbuka publik di kawasan tersebut.

Sungguh senang rasanya tatkala ruang-ruang publik seperti ini dapat dirasakan dan dinikmati oleh warga Indonesia di belahan timur. Percikan kreativitas yang dimiliki oleh warga sebuah kota tentunya mendambakan ruang-ruang untuk berekspresi. Sehingga dengan sendirinya nanti akan hadir pasukan semut komunitas yang berkerumun demi mengharumkan kotanya. Kiranya cahaya dari timur senantiasa bersinar terang di Kota Kupang agar menjadi bagi Indonesia keharuman abadi cendana yang sangat melegenda. “Uis Neno Nokan Kit”.

Kupang, 29-30 Maret 2022

***

Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.

Written by Admin

April 5, 2022 at 11:20 am

Museum Kehidupan Rumah Marga Tjhia: Ruang Toleransi

leave a comment »

Teks & Foto : galih sedayu

Ribuan cerita perihal sejarah masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa, dapat kita temui di Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat. Julukan Kota Seribu Kelenteng yang melekat bagi Kota Singkawang, menjadi sihir yang memikat bagi para pengelana ruang dan waktu. Sejumlah artefak bangunan sejarah pun berhimpun di Kota Singkawang. Salah satunya adalah Rumah Marga Tjhia yang menjadi saksi bisu dari perjuangan leluhur masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa selama 119 tahun lamanya. Rumah Marga Tjhia yang telah menjadi cagar budaya Kota Singkawang ini tersembunyi di balik wajah ruko-ruko modern yang ramai, tepatnya di jalan Budi Utomo No. 35, Gang Mawar, Condong, Singkawang Barat.

Adalah Xie Shou Shi (Chia Siu Si dalam dialek Hakka Singkawang) yang menjadi tokoh penting di balik keberadaan Rumah Marga Tjhia ini. Chia sendiri merupakan seorang perantau muda dari Kota Xiamen, yang kemudian melarikan diri dari kemiskinan dan krisis pangan akibat bencana alam yang menimpa di China. Chia adalah seorang petani muda yang nekad mengarungi lautan demi mengadu nasib serta mencari harapan untuk kehidupan barunya. Namun dalam perjalanannya, ia terdampar di Semenanjung Malaya (Malaysia). Karena terjadi kerusuhan, Chia kembali mengarungi lautan dan tibalah di Kota Singkawang yang saat itu masih dalam kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Dari sinilah Chia mulai merintis kehidupan barunya untuk kemudian menggarap lahan pertanian Singkawang yang sangat subur. Chia kemudian memanfaatkan lokasi Singkawang yang strategis karena berseberangan langsung dengan Laut Natuna, dengan membangun sebuah armada khusus untuk mengangkut dan menjual hasil panen dari kebunnya terutama yang berupa kelapa dan karet untuk dikirim ke Malaysia dan Singapura. Lambat laun Chia menjadi sosok penting bagi masyarakat setempat maupun Pemerintah Kolonial Belanda karena kerja keras dan kesuksesannya dalam membangun perekonomian dan kehidupan sosial di Singkawang. Oleh karena itu Pemerintah Kolonial Belanda memberikan sebuah tanah hibah untuk Chia sebesar 5.000 meter persegi sebagai bentuk apresiasi atas segala hal yang dilakukannya.

Pada tahun 1902 Chia membangun tanah tersebut sebagai sebuah kawasan yang digunakan bagi rumah tempat tinggal baginya dan keluarganya, serta membangun sebuah kantor dagang miliknya yang bernama Chia Hiap Seng. Dengan mendatangkan langsung arsitek dari China, Chia membangun rumah di kawasan tersebut dengan bahan kayu ulin yang indah. Gaya arsitekturnya menggunakan campuran dari Timur dan Barat serta memiliki konsep si he yuan, yang berarti halaman yang dikelilingi oleh empat rumah. Sekitar 50 meter dari depan Rumah Marga Tjhia, terdapat sungai kecil yang dahulu digunakan sebagai sebagai jalur perdagangan menuju Malaysia dan Singapura.

Saat ini, Rumah Marga Tjhia ditetapkan sebagai cagar budaya Kota Singkawang oleh pemerintah setempat sebagai usaha melestarikan dan melindungi kawasan yang telah dibangun oleh Chia. Bangunan ini dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, Tentang Cagar Budaya. Registrasi Pusat Nomor 2/26-01/8/1 dan Registrasi daerah Nomor 6172/5/0001. Penduduk Tionghoa Singkawang mengenal rumah ini dengan sebutan “Thai Buk” yang artinya rumah besar. Bangunan ini terdiri atas ruang pertemuan, ruang berdoa, deretan kamar-kamar membentuk huruf “U”, serta taman-taman kecil. Ruang pertemuan berukuran luas berada di bagian depan rumah. Ruang berdoa berisi altar doa, abu leluhur, patung Budha dan dewa, serta papan nama leluhur. Deretan kamar merupakan tempat peristirahatan bagi keluarga keturunan Tjhia, yang masih ditempati hingga sekarang. Rumah marga Tjhia memiliki plang kayu bertuliskan kalimat mutiara Tionghoa kuno, dengan arti berbeda pada tiap ruangan rumah. Saat mengunjungi Kawasan Rumah Marga Tjhia, kita dapat menikmati pula suguhan Choi Pan (bahasa Hakka) atau Chai Kue (bahasa Tiociu) yang merupakan makanan khas Tionghoa di Singkawang. Choi Pan ini dijual di depan salah satu rumah milik keturunan Chia.

Bila kita menyambangi kawasan yang penuh dengan keunikan sejarahnya ini, kita akan disambut baik dan menjadi tamu yang selalu dipersilakan masuk meski tanpa janji terlebih dahulu. Kita pun dapat melihat serta merasakan detak jantung keseharian hidup yang berdenyut di rumah mereka tanpa ada rasa kuatir bahwa mereka terganggu dengan adanya kehadiran kita. Kiranya Rumah Marga Tjhia ini dapat menjadi ruang singgah bagi kita semua yang senantiasa menjunjung tinggi toleransi serta menghargai nilai sejarah agar pelita Bhineka Tunggal Ika tetap menyala terang selamanya bagi Indonesia.

Singkawang, 5 October 2021

Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.

Written by Admin

October 26, 2021 at 1:55 pm

Sudut Mata Kecil Kota Manchester

leave a comment »

Teks & Foto / Text & Photographs : galih sedayu

Konon kota Manchester adalah kota tersukses di Inggris. Salah satu alasannya karena kota ini mampu mendatangkan banyak wisatawan dari belahan negara lain di dunia. Musik, sepak bola, dan fesyen yang dimiliki kota Manshester menjadi daya magnet utama bagi pengunjungnya. Meski jumlah populasi penduduk kota Manchester hanya sekitar 500 ribu jiwa lebih, namun warga kota ini dapat berbicara dalam 153 bahasa yang berbeda-beda. Maka julukan kota berbudaya tinggi pun sangat melekat bagi kota Manchester. Bahkan masyarakat kota Manchester mendapat predikat dan sebutan khas yakni “Mancunian” karena dianggap mewakili semua budaya di dunia. Sayangnya saya hanya sempat bercengkrama dengan kota ini selama satu hari saja. Hanya sebagian sudut kecil kota yang sempat disapa melalui bingkai visual yang saya rekam. Namun kesan megah & artistik yang ditunjukkan oleh kota ini melalui sebagian besar bangunan tua yang tinggi menjulang, kadang memaksa saya untuk terus menengadah ke arah langit. Bagi saya kota ini masih menyimpan sejuta misteri karena waktu perkenalan kami yang sangat singkat. Kiranya suatu saat saya akan kembali lagi ke kota Manchester seraya menguak tabir misteri kota ini yang cahayanya masih tersembunyi dan menunggu untuk dibekukan.

Manchester, 1 September 2019

DSCF5481

DSCF5466

DSCF5475

DSCF5479

DSCF5487

DSCF5494

DSCF5496

DSCF5498

DSCF5502

DSCF5504

DSCF5503

DSCF5505

DSCF5519

DSCF5523

DSCF5529

DSCF5531

DSCF5537

DSCF5542

DSCF5548

DSCF5553

DSCF5558

DSCF5568

DSCF5572

DSCF5575

DSCF5577

DSCF5588

DSCF5594

DSCF5620

DSCF5630

DSCF5638

DSCF5639

DSCF5643

DSCF5607

DSCF5633

DSCF5640

DSCF5623

DSCF5590

DSCF5599

DSCF5617

DSCF5631

DSCF5646

DSCF5540

DSCF5556

DSCF5584

Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.

Written by Admin

April 15, 2020 at 7:21 am