Ketika Hutan Menyala, Bernyanyi & Melawan | Lightchestra | Babakan Siliwangi World City Forest, Bandung, 5-7 July 2012
Foto & Teks : galih sedayu
Kawasan Babakan Siliwangi (Lebak Siliwangi) yang terletak di bagian utara kota Bandung tepatnya di jalan Babakan Siliwangi (tembusan jalan Tamansari melewati jalan Ganesha) adalah hutan kota satu-satunya yang masih tersisa di kota ini. Meski sebenarnya sejarah mencatat bahwasanya pada masa pemerintahan belanda, kawasan Babakan Siliwangi dahulu merupakan hamparan sawah yang luas dan kemudian disulap dengan ditanami berbagai jenis pohon sehingga kemudian tercipta sebuah kawasan hutan kota. Luas area Hutan Babakan Siliwangi adalah sekitar 3,8 hektar yang dihuni oleh 48 jenis pohon, 14 jenis burung dan beberapa jenis binatang mamalia. Karenanya, hutan kota Babakan Siliwangi menjadi aset alam yang sangat berharga bagi paru-paru kota Bandung . Sehingga sudah layak dan sepantasnyalah, kita sebagai warga Bandung patut menjaga keasrian & kelestarian hutan kota ini. Konon, di hutan Babakan Siliwangi dahulu terdapat empat buah mata air yang disebut-sebut sebagai mata air Prabu Siliwangi. Namun saat ini yang dapat kita lihat adalah hanya tinggal satu buah mata air yang terletak di sebelah timur laut hutan Babakan Siliwangi.
Dengan melihat fakta ini semua, kita perlu menyadari bahwa hutan Babakan Siliwangi adalah sebuah ruang publik yang sejatinya dapat diaktifkan oleh warganya. Tapi sayangnya, tidak banyak catatan aktivitas yang berasal dari komunitas maupun kelompok masyarakat yang merespon ruang publik hutan ini. Sejak tahun 1960-an, kawasan hutan kota babakan siliwangi memang digunakan sebagai arena ketangkasan binatang dari mulai adu bagong hingga yang saat ini rutin dibuat setiap awal bulannya oleh Himpunan Peternak Domba & Kambing (HPKD) Bandung yaitu adu ketangkasan domba. Selain itu aktivitas para seniman yang tergabung dalam Sanggar Olah Seni (SOS) Babakan Siliwangi turut mewarnai kehidupan hutan kota ini. Dimana seorang pelukis yang bernama Thoni R.Yoesoef mendirikan sanggar tersebut pada tahun 1982 bersamaan dengan didirikannya Rumah Makan Babakan Siliwangi oleh seniman Anang Sumarna. Lalu pada tahun 2011 muncul pula komunitas HUB (Hayu Ulin di Baksil) yang ikut mengaktivasi hutan kota tersebut dengan berbagai kegiatan positif.
Pada tahun 2011 pula, sekelompok warga masyarakat yang tergabung dalam sebuah komunitas yang bernama Bandung Inisiatip, membuat sebuah sayembara desain kawasan hutan Babakan Siliwangi. Seolah gayung bersambut, Bandung Creative City Forum (BCCF) yang merupakan sebuah perkumpulan komunitas kreatif kota bandung, menyimpulkan ide dan hasil sayembara dari Bandung Inisiatip tersebut melalui program pembangunan jembatan hutan kota Babakan Siliwangi (Forest Walk). Pembangunan jembatan gantung sepanjang kurang lebih 80 meter ini sekaligus menjadi simbol dari sebuah kesepakatan bersama antara United Nations Environment Programme (UNEP) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia & Pemerintah Kota Bandung yang menyatakan bahwa Kawasan Babakan Siliwangi diresmikan menjadi Hutan Kota Dunia (World City Forest). Keberadaan jembatan tersebut diharapkan agar warga masyarakat dapat mengetahui lebih dekat dan dapat dengan mudah mengakses hutan kota tersebut. Pada saat itu pula pengelupasan aspal jalan di dalam hutan Babakan Siliwangi dilakukan bersama-sama warga dan kemudian menanaminya kembali dengan 1000 pohon. Hingga kini tertoreh di dalam dinding sejarah bahwa kawasan Babakan Siliwangi setidaknya kini memiliki sebuah nama internasional yaitu Babakan Siliwangi World City Forest. Celakanya, meski perjuangan warga masyarakat kota bandung untuk mempertahankan hutan kota dunia babakan siliwangi ini kerap gencar dilakukan, namun ternyata masih ada pihak-pihak yang bersikukuh menginginkan kawasan hutan kota ini menjadi sebuah ruang komersil. Padahal hutan kota dunia Babakan Siliwangi ini sejatinya harus tetap menjadi ruang publik hijau yang terbuka dan dapat dengan mudah diakses oleh para warganya. Kesimpulannya, perjuangan itu mesti tetap mengalir dan terus menerus dilakukan oleh kita. Tentunya dengan cara-cara kreatif.
Di awal bulan juli yang ceria tepatnya pada tanggal 5-7 Juli 2012, Bandung Creative City Forum (BCCF) kembali mencoba mengaktivasi hutan kota dunia Babakan Siliwangi ini sebagai salah satu isu penting perihal ruang publik kota. Melalui sebuah event #1HelarFest 2012yang bertajuk “Lightchestra” (Music Festival, Laser/Light Show & Community Network), BCCF mengajak komunitas terutama anak-anak muda kota Bandung yang belum terlalu mengenal bahkan sama sekali tidak tahu mengenai keberadaan hutan kota dunia Babakan Siliwangi untuk menyuguhkan talenta serta aksi kreatif mereka di dalam hutan. Selama 3 hari akhirnya tersingkap unjuk kabisa berbagai komunitas kota bandung yang membantu dan berkolaborasi demi menghidupkan hutan kota semisal Urban Jedi Bandung, Barudak Urban Light Bandung (BULB), Bandung Shuffle Dance Club (BSDC), Komunitas Layar Kita, Sahabat Walhi, Open Heart Studio, dan masih banyak lagi. Belum lagi kehadiran sejumlah musisi lokal & indie asal kota Bandung seperti Rusa Militan, Mr.Sonjaya, Teman Sebangku, La Belle, 70’s Orgasm Club, Nada Fiksi, Kris & The Undercover, Sigmun, Annemarie, Homogenic, Cozy Street Corner, Deu Galih & String Quartet, Tesla Manaf & MGG, serta Grace Sahertian & Choir, semuanya turut mendendangkan lagu-lagunya sembari menghibur hutan kota yang jarang tersentuh oleh manusia. Bahkan Ganjar Noor, seorang seniman & musisi asal Kampung Akustik Cicadas, menciptakan sebuah lagu baru yang berjudul “Hutan Siliwangi” dan menyanyikan lagu tersebut untuk pertama kalinya tepat di atas jembatan huta kota dunia Babakan Siliwangi. Alhasil, area hutan yang biasanya digunakan sebagai arena ketangkasan domba dalam sekejap terlihat menjadi sebuah pemandangan berbeda bak sebuah stadion konser musik. Jalan setapak menuju lokasi hutan pun menjadi bersinar terang setelah ditandai oleh jalur kabel panjang berisi lampu berwarna biru.Belum lagi pohon-pohon di dalam hutan yang disorot lampu warna warni berikut pancaran permainan laser yang sederhana menjadikan hutan kota tersebut tak lagi gelap gulita dan terkesan romantis.
Meski begitu, segala kegiatan apapun yang bersentuhan dengan alam atau hutan, adalah wajib bagi kita untuk menjaga kebersihan hutan. Untuk itu pada event Lightchestra, kerjasama pun dilakukan dengan komunitas lingkungan seperti Sahabat Walhi. Dimana mereka terus menyuarakan tentang kampanye kebersihan sampah. Bahkan pada event Lightchestra ini, keberadaan stan makanan pun tidak diperbolehkan demi menghindari sampah yang muncul sesudahnya. Tim kerja dan panitia event Lightchestra ini pun hanya boleh dibekali dengan makanan yang sudah diberi tempat masing-masing dan harus digunakan kembali selama 3 hari kegiatan tersebut. Area konser musik Lightchestra ini pun bukan dilokasikan di dalam hutan yang telah ditanami pepohonan melainkan sekedar memanfaatkan amphiteater yang sudah ada, yang biasanya digunakan sebagai arena ketangkasan domba. Daya listrik yang digunakan untuk kegiatan Lightchestra ini pun relatif kecil, bukan menggunakan daya listrik yang besarnya hingga puluhan ribu watt. Demikian pula dengan laser yang digunakan untuk menerangi pepohonan adalah cahaya sederhana yang diharapkan sekedar menjadi elemen estetis saja sehingga tidak terlalu mengganggu keberadaan habitat & ekosistem yang ada di dalam hutan.
Sesungguhnya event Lightchestra di kawasan hutan Babakan Siliwangi ini adalah salah satu upaya untuk lebih memperkenalkan hutan kota kepada publik terutama bagi anak-anak muda yang sebagian besar belum menyadari benar mengenai keberadaan hutan kota ini. Terbukti dari rata-rata pengakuan & pengalaman mereka yang baru pertama kali menginjakkan kakinya ke dalam hutan kota dunia tersebut. Selain itu kegiatan Lightchestra tersebut adalah bentuk nyata dari upaya mengaktivasi dan menghidupkan kembali ruang-ruang publik khususnya hutan kota agar tidak diam dan menganggur. Karena pada umumnya apabila sebuah ruang publik yang terus menerus kosong dan didiamkan oleh warganya, maka pada saat itulah banyak pihak yang menginginkan ruang publik tersebut dibangun dan digunakan sebagai ruang dan lahan komersil. Tentunya setelah itu ruang tersebut hanya akan menguntungkan sejumlah pihak yang berkepentingan saja, bukan untuk kepentingan umum. Karena itu dapat dikatakan bahwa ujung akhir event Lightchestra ini adalah sebentuk perlawanan warga melalui cara kreatif agar di kemudian hari tidak akan ada tembok bangunan yang ditancapkan dan didirikan demi memuaskan dahaga keserakahan pihak-pihak tertentu yang tidak mengerti tentang pentingnya keberlangsungan hutan. Karenanya hutan kota harus tetap menjadi hutan kota. Demi keberlangsungan oksigen kota. Agar menjadi bagi kita kehidupan kota yang bersih dan seimbang.
Bandung, 8 Juli 2012
copyright (c) 2012 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Sangat terkesan dengan tulisan dan liputan Photonya..terimakasih Mas Galih atas informasi yang sangat berharga bagi saya pribadi dan teman-teman.
Denpri
July 10, 2012 at 8:27 am
Terima kasih banyak mas pri. Semoga bermanfaat yah. Ditunggu kolaborasinya…
-gals-
Admin & Editor
July 10, 2012 at 8:29 am
[…] I’ll Follow The Sun http://fotografius.wordpress.com/2012/07/09/ketika-hutan-bernyanyi-foto-cerita-aktivasi-ruang-publik… […]
Kompilasi Artikel Berita Pembukaan HelarFest 2012 & Event Lightchestra di Hutan Kota Dunia Babakan Siliwangi « bandungcreativecityforum
July 11, 2012 at 6:40 am