Merebut ruang yang hilang
“Merebut ruang yang hilang”
Oleh : Ridwan Kamil
27 September 2008
Kota sebagai Ruang Publik
Kota adalah simbol peradaban. Tinggi rendahnya sebuah peradaban manusia bisa dilihat dari takaran kompleksitas fisik dan struktur sosial sebuah kota. “City air makes you free,” cetus pepatah Jerman kuno. Ini karena kota adalah artefak terbesar dari aspirasi budaya manusia. Tempat mimpi beradu dan ambisi hidup bebas bersaing.
Kekayaan peradaban Barat yang lahir di Yunani kuno pun berasal dari dinamika kota atauPolis di Athena. Di sana, kualitas spasial dan organisasi sosial umumnya hadir di ruang-ruang publik. Teater, stadium, kuil peribadatan sampai Agora (pasar yang juga berfungsi sebagi forum publik) adalah tipologi-tipologi fungsi yang hadir untuk merespon pentingnya ruang publik.
Pentingnya kota sebagai wajah peradaban bisa dilihat bagaimana masyarakat Romawi Kuno memberikan istilah untuk kota berkala besar (civis atau city) dengan kota berskala kecil(urbs atau town). Dari konsep ’civis’ inilah lahir kata ’civil’ dan ’civilized’ yang bermakna beradab. Konsep ini sengaja untuk membedakan perilaku warga kota dengan perilaku kaum pedalaman atau ’country side’ yang cenderung dianggap kurang beradab (uncivilized). Sama halnya dengan ungkapan ’urbane’ yang berlaku untuk konteks komunitas di kota kecil Romawi. Sementara padanan kata ’kota’ sendiri terlahir dari kata ’kuta’ atau ’karta’. Seperti terdapat pada Kartasura, Kota Gede, Surakarta atau Yogyakarta.
Karenanya urbanitas sejatinya adalah modernitas. Modernitas lahir di kota. Urbanisme pada awal Renaisans dan Barok adalah konteks munculnya pemikiran metafisik Barat seperti halnya konsep ‘matesis universalis’ yang dicetuskan Rene Descartes di tahun 1637. Filosofi modern yang mengagungkan rasionalitas ini menyandarkan wacananya pada analogi-analogi dinamika kota yang terjadi di ruang publik. ”Not all life is modern, but all modern life is city life,” ungkap sosiolog Zygmunt Bauman
Karenanya ruang publik adalah elemen terpenting dalam peradaban kota. Ia menjadi wadah lahirnya kerekatan sosial yang bisa membawa kota menuju masyarakat madani atau civil society. Dalam sejarahnya, seperti diwacanakan Habermas, ruang publik atau offentlichkeit ini menjadi wadah dari institusi kelas menengah yang punya pengaruh kuat dalam proses revolusi sosial.
Kekuatan kelas menengah kelas borjuasi di Eropa misalnya tumbuh berkembang di kafe-kafe yang menjadi ruang untuk mendiskusikan isu bisnis sekaligus isu-isu kemasyarakatan. Dalam sejarahnya, di Eropa Timur, kafe menjadi ajang untuk berdiskusi politik dan isu-isu besar dunia, Bahkan Trosky pun tengah mengirup kopi di kafe saat terjadinya revolusi Oktober di Rusia. Khususnya di Paris, budaya diskusi di kafe-kafe ini membidani lahirnya karya-karya seni dan sastra modern.
Ruang Publik sendiri sejatinya adalah ruang demokratis tempat bertemunya semua khalayak. Ia milik semua orang. Ia menjadi tempat manusia bertoleransi terhadap perbedaan. Ia menjadi di tempat manusia berlatih menghadapi kejutan-kejutan sosial. Pada puncaknya, toleransi pluralisme pada ruang publik ini akan mendorong lahirnya konsepsi public domain, yaitu wacana tempat kita mendiskusikan ruang publik atau bertukar pikiran antar grup sosial yang berbeda. Media publik seperti halnya koran, televisi dan ruang maya di internet, kemudian menjadi sarana dalam bernegosiasi di ruang publik tadi. Syaratnya, public domainini haruslah independen.
8 Permasalahan Spasial & Sosio-kultural Kota dalam Perspektif Ruang Publik
[1] Ketidaksiapan hidup berkota secara mendasar
Secara mendasar, permasalahan di kota-kota besar Indonesia seperti halnya Jakarta, justru bukan melulu dari ketidaksiapan sistem ruang dan spasialnya saja, akan tetapi lebih ekstrim yaitu disebabkan oleh ketidaksiapan dan ketidaktahuan tentang esensi budaya berkota atau’being urban’ oleh warganya sendiri. Mengerti budaya berkota atau dengan matang, artinya kita siap untuk bernegosiasi terhadap 4 aspek kehidupan kota: densitas, heterogenitas, anonimitas dan intensitas sosial.
Banyak yang menyimpulkan bahwa Jakarta bukanlah kota dalam arti yang sebenarnya. Ia hanyalah sebuah aglomerasi dari perkampungan-perkampungan yang membesar. Jakarta adalah kampung raksasa. Carut marut fisik dan sistem kota Jakarta sedikit banyak dipengaruhi oleh masyarakat yang secara psikologis ternyata tetap berperilaku pikir bawaan dari desa. Dengan pemahaman tentang konsekuensi hidup berkota yang terbatas mereka harus menyelami keseharian konteks sosial urban dengan intensitas yang ekstrim.
Akibatnya sangat fatal. Benturan-benturan budaya pun tidak terelakkan. Tidak adanya respek terhadap ruang publik dan menegasikan hak-hak warga kota lainnya sering terjadi. Jalur pedestrian seringkali diambilalih oleh pedagang kakilima, diintervensi oleh sepeda motor, atau diokupasi sebagai pangkalan ojek. Perkampungan-perkampungan kota pun seringkali memiliki tata hukum dan nilai sosial sendiri. Hidup membangun rumah di tanah-tanah tidak bersertifikat menjadi hal yang lazim.
Permasalahan besar lainnya justru datang dari kalangan yang secara ekonomi lebih mapan dan secara sosial lebih siap. Mereka ini umumnya tidak memahami filosofi hidup berkota yaitu bertoleransi dengan heterogenitas dan bernegosiasi dengan densitas. Secara ekonomi golongan ini hidup lebih baik namun seringkali menegasikan dan tidak mampu berbaur dengan baik dengan golongan dan kelompok diluar mereka. Secara spasial hal ini diperparah dengan tawaran-tawaran cara hidup di kawasan-kawasan ekslusif berbenteng tinggi berdensitas rendah. Maka bom waktu sosial ini pun hanya menunggu waktu untuk tiba-tiba meledak dan menghancurkan sistem sosial kota.
Esensi berkota atau ’being urban’ akhirnya menjadi penting untuk dipahami oleh setiap warga kota atau pendatang yang bermigrasi ke kota. Di kota Tokyo misalnya, setiap pendatang yang akan bergabung menjadi warga kota harus ditatar dan dikuliahi tentang tata tertib, aturan dan etika hidup di kota Tokyo. Hal ini untuk menjamin bahwa semua warga kota memahami esensi dan nilai-nilai filosofis hidup di kota besar.
[2] Ideologi ’visuality over tactility’
Kota yang baik mampu memberikan pengalaman ruang yang kaya. Pengalaman tersebut memberikan stimulasi pada seluruh panca indera manusia. Perjalanan di kampung Kota Gede misalnya akan membawa kita pada pengalaman melihat, mencium bau, mendengar dan merasakan tekstur sebuah ruang arsitektur atau yang disebut sosiolog Ken-Ichi Sasaki sebagai ’tactility experience’. Ini bisa terjadi karena faktor skala ruang yang baik, intim, emosional dan antropometris.
Namun yang terjadi di kota-kota besar, pengalaman ruang ini banyak direduksi menjadi pengalaman visual semata. Garis sempadan banguan yang jauh, yang terkadang tidak jelas alasan ilmiahnya telah manjauhkan hubungan emosional manusia dengan arsitektur. Akibat hilangnya aspek ’tactility’ ini, arsitekturpun menjadi asing dari konteksnya. Ia menjauh dari hakikatnya sebagai elemen urban. Ia mematikan lahirnya interaksi sosial warga kota di koridor jalan tempat arsitekur itu berdiri. Tidak ada aktivitas duduk-duduk rileks, ‘window shopping’ ataupun interaksi spasial antara arsitektur dan warga kota sebagai pilihan berkegiatan santai di konteks urban. Tidak pula eksis para urban flanuer ala Charles Baudelaire, karena tidak tersedia konteksnya..
Padahal secara konsep, lahirnya peraturan garis sempadan adalah untuk memastikan adanya jarak dari ruang publik ke ruang privat. Ini awalnya ditujukan untuk bangunan-bangunan hunian atau pemerintahan/militer yang membutuhkan privasi tinggi. Namun di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia, konsep sempadan secara membabi buta diterapkan secara salah kaprah untuk segala tipologi bangunan, termasuk secara tidak sadar didukung oleh arsitek-arsitek perancangnya.
Ciri khas kota-kota Asia adalah pengalaman ruang yang emosional yang sering tidak bisa dibaca dengan lugas oleh kacamata rasionalitas Barat. Tidak heran jika Roland Barthes dalam ‘Empire of Sign’, menceritakan kebingungannya berorientasi di Tokyo. Di Tokyo, menurut Barthes, rasionalisasi urutan jalan, alamat yang mudah dibaca dari peta, ‘main street’, maupun pusat kota tidaklah hadir seperti di kota-kota Amerika atau Eropa. Ini karena, cara penduduk Tokyo berorientasi memang berasal dari pengalaman mereka menyelami ruang-ruang organik kotanya. Dari memori sebuah ‘lived space’. Bukan dari pembacaan rasionalitas sistem kotanya seperti halnya kota-kota Amerika
[3] Ruang sebagai komoditas ekonomi pasar.
Di Jakarta, misalnya, sangatlah sulit untuk mendapatkan tanah yang layak untuk alokasi rumah susun di pusat-pusat kegiatan kota. Ini dikarenakan harga dasar tanah yang terlalu tinggi sehingga tidak memungkinkan secara kalkulasi ekonomi untuk bisa direalisasikan. Di kita hajat hidup untuk khalayak ini dilemparkan ke sistem pasar bebas. Tidak dikendalikan dengan suatu sistem yang adil. Berbeda dengan Singapura dan Hongkong yang mampu mengelola sistem pertanahan (land bank) dengan baik.
Akibatnya kelas menengah bawah tidak punya pilihan lain kecuali mundur ke pinggiran kota dengan beban ongkos transportasi yang mahal atau berjejal-jejal di hunian perkampungan kota yang kurang manusiawi di tengah kota. Akibat lain yang paling mencolok namun tak terasa adalah bagaimana kapitalisme mendeformasi struktur dan wajah kota berdasarkan strata kelas ekonomi. Strata identitas ini mudah terbaca dari lokasi dan lingkungan tempat mereka tinggal. Kaum miskin kota umumnya tinggal di tempat kumuh dan sumpek, sementara kaum berpunya tinggal di lokasi mahal dan umumnya berdensitas rendah. Teori lokasi ini biasanya sebangun dengan strata sistem produksi ekonomi kapitalis yang dianutnya. Fenomena kapitalisme kota ini sering dikaji kelompok ‘Marxian Urbanism’, yang melihat kota sebagai arena konflik antar kelas sosial, seperti dirintis Manuel Castells sejak “The Urban Question” di tahun 1977
[4] Privatisasi dan pembalikan makna ruang publik
Salah satu permasalahan lainnya di kota-kota besar di Indonesia misalnya adalah seringnya ruang publik dikuasai oleh pihak dan kepentingan tertentu. Ia diperebutkan dan sering dikomersialkan. Pantai Ancol di Jakarta dimana kita harus membayar untuk menikmati ruang pantai adalah contohnya. Jalur pejalan kaki yang diambil alih oleh pemilik gedung Artha Graha di Sudirman CBD dan Hotel Marriott di Mega Kuningan dengan alasan kemanan atau Alun-alun Bandung yang kini menjadi ruang milik Masjid Agung adalah contoh-contoh lainnya. Akibatnya seringkali masyarakat tidak bisa mengerti dan menghargai apa itu esensi sebuah ruang publik.
Menjamurnya pusat perbelanjaan atau shopping center di kota-kota besar di Indonesia, seperti halnya Mal Pondok Indah 1& 2, Grand Indonesia, Senayan City dan Plaza Senayan dan puluhan lainnya di Indonesia adalah contoh simulasi bagaimana daya tarik realitas urbanisme sudah kalah oleh ruang artifisial dan konsumerisme. 60 persen warga Jakarta memilih menghabiskan waktu di shopping mall untuk rekreasinya. Berbelanja di shopping center ini pada dasarnya adalah simulasi pengalaman empirik berbelanja dan jalan-jalan kaum urban (strolling flaneur) di ruang-ruang kota yang dilipat, disatukan dan diminiaturkan ke dalam satu ruang atau bangunan. Sebuah simulation of urbanity dimana shopping center bertindak sebagai ruang simulacrum ala Jean Baudrillard.
[5] Koridor jalan sebagai ruang utilitas semata
Pola pikir sebagian besar perencana dan pengelola kota biasanya melihat keberadaan ruas jalan sebagai ’engineering space’ semata untuk mengakomodasi angka-angka aliran kendaraan bermotor. Ruas-ruas jalan seperti ini juga umumnya hanya direncana berdasarkan standar teknis dan jarang didesain secara baik untuk menjadi sebuah ruang sosial yang mampu mengundang warga untuk turun berinteraksi sosial secara suka rela.
Mulai punahnya potensi ruas jalan sebagai ruang interaksi demokratis masyarakat urban akhirnya menyebabkan kota pun menjadi rigid dan hambar. Seperti halnya robot, kota pun berfungsi secara teknis namun tidak berjiwa. Menurut sosiolog Jane Jacobs, kota-kota yang ’livable’ dimana nilai-nilai urbanitasnya berkembang dengan baik, ruang interaksi sosial masyarakat urban yang utama justru sering kali mengambil tempat di koridor jalan kota.
Dalam buku klasik ‘Great Streets’, Allan B Jacobs secara gamblang menyatakan jalan yang masuk dalam klasifikasi ‘great streets’, biasanya selalu memiliki kualitas spasial istimewa dan sukses merangsang warga kota, untuk turun berinteraksi sosial dan beraktivitas urban yang sehat. Di ruas-ruas ruang publik tersebut, warga kota tidak ragu-ragu untuk melangkahkan kakinya membeli susu dan koran pagi, berjalan mengamati pajangan dikaca-kaca toko, bergurau santai di kafe-kafe pinggir jalan ataupun duduk makan siang sambil mengamati lalu lalang pejalan kaki di trotoar jalan.
Mulai dari keriuhan koridor jalan Las Ramblas di Barcelona, eksotisme Malioboro di Yogya sampai kemeriahan Market Street di San Francisco. Kesemuanya menjadi cerminan wajah kota yang lebih manusiawi dan ’livable’. Bahkan tidak jarang, ruang linear jalan pun sering kali menjadi salah satu landmark kebanggaan warga kota, seperti halnya The Champs Elysees di Paris, ataupun Orchard Road di Singapura.
[6] Maraknya ruang negatif (Placelessness)
Ruang negatif adalah ruang yang tidak sengaja hadir atau ruang positif tetapi digunakan bukan untuk interaksi sosial manusia kota. Ruang di depan gedung-gedung megah untuk parkir mobil atau sirkulasi kendaraan adalah contohnya. Ketimbang memberi ruang yang untuk publik berupa plaza atau taman duduk, memberikan ruang depan untuk parkir dan sirkulasi mobil ternyata tetap jadi pilihan nomor satu.
Kondisi anti urban ini juga sering diperburuk dengan kemacetan kota, dimana trotoar yang sudah sempit pun sering dipakai sebagai jalur alternatif oleh motor-motor nakal saat macet akut menghadang. Bahkan di kawasan Kota di Jakarta, trotoar publik juga sering direbut oleh parkir-parkir mobil ilegal, sehingga pejalan kaki harus banyak bermanuver diantara pantat dan knalpot mobil.
Pantaslah interaksi antar kelas sosial warga kota tidak pernah terjadi. Peluang dan hak urban-nya direbut oleh interaksi mati kendaraan bermotor. Kota kita banyak dikepung oleh ruang-ruang tidak berjiwa atau ’placelessness’. Tidak juga heran jika konsep tua arsitek Roger Trancik tentang membludaknya ruang-ruang kota mubazir dan negatif yang ia kategorikan sebagai lost space dan junk space masih berlaku di kota-kota besar kita
[7] ‘Architecture of fear’ dan fungsi-fungsi non publik di lantai dasar
Tidak bisa dipungkiri, ketakutan oleh kerusuhan dan demo-demo destruktif ala Indonesia ikut memperburuk perilaku berarsitektur gedung-gedung di kota-kota besar kita. Gedung-gedung tersebut dijaga ketat dan sering dipagari secara berlebihan. Secara psikologis, para pengelola gedung pun sering terkena sindrom paranoid terhadap kehadiran publik yang lewat di depan gedungnya.
Sindrom ‘architecture of fear’ ini juga membuat konsep ideal tentang pedestrianisasi di jalan Thamrin harus bersifat ala kadarnya. Pedestrianisasi ini memang secara teknis menyumbang pada kesinambungan sirkulasi pejalan kaki, namun kondisi eksisting urbannya menjadikan interaksi spasial antara arsitektur dan warga kota menjadi hal yang sangat mustahil.
Belum lagi sebagian besar fungsi-fungsi di lantai dasar yang cenderung tidak bersifat publik.Hal ini berakibat pada matinya kegiatan koridor urban di sore maupun malam hari. Kehadiran fungsi publik yang esensial seperti halnya restoran dan café pun malah umumnya menempati lantai-lantai atas di gedung perkatoran, yang jelas-jelas tidak berhubungan langung dengan ruang publik atau koridor jalan.
[8] Ketidakadaan konsep ‘urban linkage’ antar bangunan
Pentingnya konsep bertetangga yang baik di lingkungan kota untuk manusia juga berlaku untuk arsitektur. Sekalinya berdiri di konteks urban, maka arsitektur yang berperilaku positif terhadap konteksnya yang lebih besar. Saat ini kota-kota kita didominasi oleh ‘look at me architecture’ yang egois dan hampir tidak pernah memiliki keterkaitan dengan bangunan-bangunan di sebelahnya. Konsep egois ‘parcel-by-parcel development’ ini bermuara pada terputusnya sirkulasi publik yang menerus dan nyaman.
Akibatnya hanya untuk menuju suatu tempat yang tidak jauh dari gedung tempatnya bekerja, warga kota harus menggunakan kendaraan bermotor atau beresiko tertatih-tatih kelelahan dan kepanasan jika memilih berjalan kaki.
Salah kota yang ideal dari konsep ‘urban linkage’ atau ketertautan urban ini adalah kota Hong Kong. Ia menerapkan berlapis-lapis sarana sirkulasi urban antar bangunan yang nyaman. Dari mulai koneksi antar lobi bangunan yang bisa dilalui publik sampai jembatan-jembatan di lantai atas yang menghubungkan puluhan bangunan di kawasan bisnisnya. Hong Kong juga memiliki eskalator publik terpanjang di dunia yang meliuk-liku membelah kota dan menjadi alat sirkulasi urban antar bangunan yang banyak terletak di kemiringan yang curam.
Leave a Reply