6 Wasiat Eisenman
6 Wasiat Eisenman
Oleh : Ridwan Kamil
Torino, Juli 2008
Di Torino yang dingin berangin, menyeruput secangkir cappucino menjadi hal kecil yang luar biasa. Kelegitan kopi terbaik yang pernah saya minum hadir setiap pagi. Di kota tempat kongres UIA bulan Juli lalu ini tidak ditemukan satupun café Starbucks. Mungkin mereka minder dengan kualitas cappucino khas orang Italia. Apalagi jika yang menyeduh adalah Nicoletta, gadis ramping nan cantik mirip Angelina Jolie yang melayani delegasi Indonesia di restoran Vittorio. Perfecto.
Dari sekian banyak acara dan ceramah dari para arsitek dunia di kongres UIA ini, ada satu kuliah dari Peter Eisenman yang terus mengiang-ngiang di telinga saya. Dengan usianya yang sudah tua dan gayanya yang kebapakan, Eisenman mengemukakan sedikitnya 6 pesan tentang tentang arsitektur kontemporer.
Pertama. Eisenman mengingatkan bahwa kita sedang berada dalam krisis diskursus arsitektur. “Kita berada di dekade yang tidak menawarkan nilai baru,” ujarnya. Yang ada hanya “lateness” atau kebaruan demi kebaruan geometri arsitektur yang berubah secara periodik tahunan, bulanan atau bahkan mingguan. Menurutnya tidak ada kegairahan perdebatan arsitektur dunia seperti halnya ketika arsitektur Modern bergeser ke Postmodern. Ataupun kegairahan ketika kerumitan dan kegeniusan diskursus dekonstruksi Derrida dipinjam oleh para arsitek dunia untuk menjadi wacana hangat di jamannya.
Kedua. Eisenman melihat banyaknya karya arsitektur kontemporer yang sibuk dengan geometri yang semakin rumit, namun seringkali tidak memiliki kualitas yang mampu menghadirkan makna mendalam. “Just a piece of meaningless form,” kritiknya. Selain itu, banyak pula arsitektur yang tidak mampu memperkuat konteks kota dan budaya tempat ia berdiri. Karenanya Eisenman membenci Dubai. Baginya Dubai adalah sirkus arsitektur. Segala bentuk bisa hadir tanpa korelasi, tanpa preferensi dan tanpa didahului oleh esensi `livability’ atau roh berkehidupan dari sebuah kota. Kota adalah untuk manusia.
Dan Dubai tidak memilikinya.
Ketiga. Eisenman merenungi bahwa karya arsitektur seharusnya bisa dirasakan sampai ke lerung hati terdalam. Arsitektur tidak hanya cukup menjadi sebuah entitas dan objek visual semata. Arsitektur terbaik adalah arsitektur yang mampu menyentuh psikologis manusia secara emosional. “let the heart be your judge,” ungkapnya. Arsitektur harus mampu mengalirkan makna-makna di ruang-ruang tiga dimensional itu. Renungannya ini sejalan dengan konsep `tactility’ yang didengungkan sosiolog Kenichi Sasaki yang memuji arsitektur yang menstimulasi seluruh indra manusia. Arsitektur yang tidak memanjakan indra visual semata.
Keempat. Eisenman mengingatkan kita, terutama para mahasiswa arsitektur, untuk tidak mendewakan komputer. Eisenman mengkhawatirkan generasi sekarang yang menggantungkan 100 persen proses desain dengan komputer. “Mereka menjual keindahan melalui manipulasi photoshop,” debatnya. Dengan imaji-imaji yang secara visual spektakuler seolah urusan sudah selesai. Baginya proses desain harus
dimulai dari kerja keras kontemplasi berpikir. Konsep desain harus mampu dirasakan dengan hati. Kemudian mengalir deras ke syaraf-syaraf di sepanjang jari-jari tangan. Karenanya sensitivitas indrawi masih ia anggap yang terbaik dalam melatih pencarian konsep berarsitektur,
Kelima. Eisenman berpesan bagi para arsitek di negara-negar berkembang untuk tetap optimis dan selalu merasa beruntung. Beruntung karena pada umumnya Negara berkembang seperti kebanyakan negara di Asia masih memiliki referensi eksotisme budaya. Budaya yang masih memiliki tradisi kultural sebagai sumber konsep, legenda yang emosional sebagai sumber makna dan ritual referensional sebagai sumber cerita.Kekayaan-kekayaan kultural inilah yang tidak dimiliki di negara Barat seperti
halnya Amerika Serikat tempatnya bermukim dan berpraktek.
Keenam. Eisenman menceritakan bahwa tiada yang lebih bermakna dalam profesi arsitek selain dari sebuah ketulusan pertemanan dan kesetiakawanan sesama arsitek. Ia kemudian bercerita tentang struktur vertikal di proyek Galia Cultural di Spanyol yang ia bangun sebagai perwujudan wasiat terakhir dari mendiang sahabatnya John Hedjuk. Mendiang koleganya yang sering menjadi teman minum kopi, sahabat berdiskusi dan kritikusnya selama mereka berpraktek di New York. Persahabatan adalah keindahan.
Itulah enam pesan dari arsitek yang mendedikasikan dirinya untuk terus mengajar dan menularkan pemikiran-pemikiran kritis kepada ratusan muridnya dan ribuan pengagumnya. Dunia arsitektur yang saat ini miskin provokasi memang membutuhkan kehangatan pemikiran Eisenman.
Sehangat dan semenyentak cappucino yang diseduh Nicoletta, teman kita dari Torino. Kita memang butuh kehangatan yangmenyentakkan syaraf sekaligus menyegarkan pikiran.
Setiap pagi.
Leave a Reply