I'LL FOLLOW THE SUN

Love, Light, Live by galih sedayu

Bersaing Global dengan Ekonomi Kreatif

leave a comment »

“Bersaing Global dengan Ekonomi Kreatif”
Oleh : Ridwan Kamil
27 September 2008

Di sore yang dingin di sebuah kafe di jalan Dago Bandung, seorang anak muda bercelana pendek terlihat serius menatap layar laptop miliknya. Sesekali tangan kanannya memegang cangkir kopi untuk ia teguk. Sore itu ia tidak sedang bermain. Ia sedang bekerja mengirim program-program yang ia desain ke Google di Amerika. Untuk itu ia dibayar sangat mahal setiap bulannya.

Dunia memang sedang berubah. Keterpisahan oleh jarak dan waktu tidak lagi menjadi masalah bagi orang-orang yang bekerja di industri kreatif.  Industri kreatif umumnya melahirkan inovasi-inovasi yang layak dipatenkan. Karenanya orang-orang yang bekerja di dunia penelitian sains dan teknologi, arsitek, desainer produk/mebel, desainer grafis, pemusik dan seniman adalah bagian dari keluarga besar ekonomi kreatif.

Pergeseran orientasi ekonomi dunia dari ekonomi Fordist ke post-Fordist yang mengedepankan aset sumber daya manusia, telah menyebabkan persaingan luar biasa dalam merebut dan merayu talenta-talenta di dunia kreatif ini. Masa depan ekonomi dunia berada di pundak orang-orang kreatif yang mampu menyulap pengetahuan dan kreativitas menjadi inovasi yang melahirkan mesin ekonomi yang luar biasa.  Ekonomi kreatif  atau ‘creative economy’ ini sempat diwacanakan oleh ekonom John Howkins: “The Creative Economy: How People Make Money from Ideas” (2001)”  dan Richard Florida: “The Rise of Creative Class (2002)”

Dan kota-kota dunia pun berlomba-lomba merayu para talenta ini. Atau diistilahkan Florida sebagai fenomena ‘global competition of talents.’  Itulah sebabnya Silicon Valley keluar sebagai pemenang. Itulah sebabnya kota-kota di Inggris dan Belanda beralih dari ekonomi berbasis industri menjadi ekonomi kreatif sebagai basis masa depan. Di Amerika mereka menempati 30 persen jumlah total pekerja. Di Inggris mereka menghasilkan pergerakan ekonomi senilai 112 milyar Poundsterling. Di Singapura, tahun 2005 diluncurkan gerakan ekonomi kreatif dengan tema Design Singapore, Media 21 dan Rennaisance City 2.0

Bagaimana dengan kita?

Koridor Ekonomi Kreatif Bandung-Cilegon

Jika kita lihat resep sukses Silicon Valley, yang distilahkan Florida dengan rumus tiga T (talent, technology & tolerance), dimana nyamannya kota San Jose dengan segala fasilitas kelas dunianya bersatu dengan ribuan talenta berbakat dan jenius. Hadirnya institusi pendidikan sekelas Stanford, UC berkeley atau Caltech bersatu dengan  matangnya sistemventure capital yang suportif, kita di Indonesia pun sebenarnya memiliki peluang itu. Terutama di koridor urban Bandung-Cilegon.

Dari Bandung sampai Cilegon, seperti diteliti Budi Rahardjo,  sebenarnya terbentang sebuah kawasan koridor urban yang berpotensi luar biasa besar namun tidak tergali secara optimal dalam merespon ekonomi kreatif ini. Di koridor ini bertebaran institusi pendidikan berkelas mulai dari ITB, Unpar, Unpad, UI, Untar, Trisakti sampai UPH di Karawaci yang memiliki pusat-pusat riset yang karya dan hasilnya belum tersalurkan menjadi peluang-peluang ekonomi bernilai luar biasa.

Di koridor sepanjang 250 km ini, banyak tersembunyi pekerja ekonomi kreatif di Indonesia yang diam-diam bisnisnya telah mendunia. Leo Theosabarata dengan karya kursi Accupunto; Sibarani Sofyan seorang urban designer muda yang karya-karyanya bertebaran di Malaysia, Cina dan Dubai; Christiawan Lie, komikus ‘GI Joe’ yang naik daun di Amerika; Budi Pradono dan Antoni Liu, arsitek muda yang proyeknya banyak di luar Indonesia dan Castle Production di Pasar Baru Jakarta yang menghasilkan animasi kelas dunia. (kompas 27/10)

Di koridor ini pula bertaburan manufaktur, pusat riset dan perusahaan teknologi yang yang sebenarnya bisa disatukan visinya dalam merespon peluang ekonomi baru ini. Di jalur Jakarta-Cilegon banyak terdapat industri injection moulding plastic dan light metal. Di ruas Bekasi-Cikampek terdapat belasan manufaktur keramik, kaca, metal dan bahan-bahan bangunan lainnya.

Di Bandung terdapat pusat-pusat riset teknologi seperti LIPI, Pusat mikroelektronika, RISTI, MDIC, Eckman Center, Batan dan Microsoft Innovation Center at ITB. Di kota kreatif ini pula terdapat perusahaan teknologi seperti Omedata semikonduktor, LEN, INTI, CMI telkom, Harif Tunggal telekomunikasi, Daya Engineering, Quasar telekom dan  PT Dirgantara.

Di ibukota Jawa Barat ini, peluang-peluang ekonomi kreatif berbasis gaya hidup atau lifestyle tumbuh subur.  Factory Outlet hadir dengan omset milyaran rupiah perbulan. Industri Distro (distribution store) anak muda Bandung naik daun  dengan desain clothing unik dengan pertumbuhan yang cepat. Di kawasan Binong Jati terdapat ‘home industry’ yang berjumlah 350 buah dengan 10,000 pekerja yang menelurkan omset 20 milyar pertahun.

Suasana kreatif dan alam yang unik di tatar Parahyangan ini membuat industri musik pun berkembang. Grup musik terkenal seperti Peterpan, Seurieus, Mocca, Laluna, PAS, Rif, Elfa, Krakatau hadir berbarengan dengan puluhan grup musik Indie. Galeri-galeri seni tumbuh pesat di Bandung, seperti Galeri Barli, Galeri Sumarja, Galeri Jehan, Galeri Padi, Nyoman Nuarta Art Space, Selasar Sunaryo dengan kegiatan seni internasional yang menjadi agenda rutinnya.

Jakarta pun bertebaran potensi-potensi ekonomi kreatif yang sangat besar. Dengan 3000 restoran, 40 shopping mall, 60 bioskop, Jakarta menarik 60 persen aktivitas industri kreatif Indonesia. Industri busana atau fashion yang berkelas internasional banyak hadir disini.  Iwan Tirta, Sebastian Gunawan dan Oscar Lawata adalah contohnya. Di Jakarta juga kita bisa temui kesuksesan Warwick Purser Livestyle atau Chamdani sebagai merek lokal untuk mebel dan perangkat interior yang bernilai jual tinggi yang menggabungkan desain berkualitas tinggi dengan semangat kewirausahaan yang kuat, sesuai dengan spirit ‘good design is good business.’  Selain itu para pekerja industri grafis, animasi, penulis dan dunia percetakan pun sebagian besar beraktivitas di Jakarta.

Di Jakarta pula tentunya hampir seluruh institusi keuangan dan perbankan nasional dan internasional melakukan aktivitas bisnisnya. Tinggal diwacanakan saja agar industri kreatif ini, dari bidang teknologi sampai desain furnitur, mulai dilirik secara serius oleh venture capital lokal seperti halnya keberhasilan industri kreatif di  Inggris dan California.

Menyatukan potensi

Tugas kita sebagai generasi yang hidup di awal milenium ini adalah menyiapkan infrastruktur ekonomi kreatif secara matang. Kita harus menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah yang kondusif bagi orang-orang kreatif yang cenderung dengan mudahnya beripindah lokasi ke kota-kota di dunia yang lebih siap menerima eksistesi mereka.

Kita juga harus menyiapkan kota-kota kita untuk nyaman, melek desain dan berwawasan teknologi. Gaya hidup para talenta industri kreatif yang umumnya kosmopolitan harus difasilitasi, sehingga talenta internasional pun mau datang, hidup dan berbisnis di Indonesia. Karena pada dasarnya para talenta kreatif akan memilih tempat seperti Silicon Valley atau London yang menyediakan gaya hidup kosmopolitan, toleran, kondusif terhadap ide-ide baru, menghargai kebebasan individu dan hadirnya pemerintahan yang transparan.

Desain dan arsitektur harus dipandang sebagai bagian dari  nilai tambah yang membuat ekonomi kota lebih  kuat. Seperti halnya kota Bilbao di Spanyol dengan Museum Guggenheim yang baru dibuka tahun 1997. Setelah ia berdiri, karena publikasi yang mendunia, sekitar empat jutaan pelancong datang ke kota tersebut hanya untuk melihat keunikan museum yang dirancang oleh arsitek Frank Gehry. Bayangkan, jutaan pelancong itulah yang membawa devisa 14 trilyun rupiah ke kota industri di Spanyol ini.

Hal terakhir yang tak kalah penting adalah melakukan jejaring antar elemen industri kreatif ini secara mendasar. Langkah awal sudah dilakukan oleh komunitas Indonesia Design Power (IDP), yang dimotori Irvan Noe’man,  yang membantu Kementerian Perdagangan dalam mereposisi produk-produk Indonesia siap ekspor dengan desain. Penguatan jejaring atau networking adalah pekerjaan rumah terberat kita saat ini.

Potensi kita sudah ada. Kawasan Bandung-Cilegon yang membentang merupakan satu dari sekian kawasan yang sudah siap untuk dijadikan basis gerakan ekonomi kreatif Indonesia. Eksistensi ribuan talenta-talenta kreatif, institusi keuangan, lembaga pendidikan/riset berkelas dan kawasan/gaya hidup kosmopolitan, semuanya sudah hadir. Mereka sedang menunggu tangan maha kuat untuk menyatukan potensi ini  menjadi kekuatan ekonomi yang luar biasa. Sudah saatnya juga kita tidak menjual citra sebagai negara penyedia buruh murah tapi negara penyedia talenta kreatif kelas dunia

Kalau tidak sekarang, kapan lagi kita mulai bersiap mengejar ratusan trilyun rupiah sumbangan dari industri kreatif ala Inggris? Mari kita mulai bergerak hari ini untuk menjadikan ekonomi kreatif yang berbasis ‘human capital’ ini sebagai penyelamat masa depan Indonesia.

Written by Admin

September 8, 2018 at 2:02 am

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: