Desain Urban sebagai Alat Kolonialisme
“Desain Urban sebagai Alat Kolonialisme”
Oleh : Ridwan Kamil
27 September 2008
LORONG-LORONG itu terasa sempit, gelap dan becek. Ujungnya pun selalu hilang dipeluk kelokan-kelokan yang meliuk. Hilang orientasi terasa begitu menakutkan, salah arah terasa begitu mencemaskan. Menelusuri kota tua ini bak beradu nasib di dalam permainan labirin yang tak berujung pangkal. Gampang masuk, susah keluar.
Kefrustasian itulah yang menyergap serdadu-serdadu Perancis ketika berkejar-kejaran dengan para pejuang muslim di Casbah, Algeria. Derap langkah sepatu lars mereka selalu menjadi tertatih-tatih dan perlahan ketika memasuki lorong-lorong kota tua tempat dahulu bajak laut terkenal Barbarossa ini bermukim. Naluri berorientasi atau mental map serdadu-serdadu kulit putih ini serasa mati kutu ketika bertemu dengan pola organik kota muslim tua ini.
Kefrustasian para serdadu perancis adalah tawa kemenangan bagi pejuang Casbah. Bagi mereka, kelokan-kelokan jalan di kota tua ini begitu sempurna bagi penyusupan dan strategi gerilya. Secepat kilat mereka menyerang pasukan penjajah Perancis, secepat itu pula mereka lenyap ditelan bumi Casbah. Artileri-artileri modern pasukan Perancis pun terdiam, tak berkutik dan tertahan diujung jalan.
Di tahun 1958, penguasa kolonial Perancis akhirnya sampai pada satu kesimpulan. Untuk menumpas gerakan gerilyawan ini, struktur kota Casbah haruslah dihancurkan atau minimal dikikis perlahan-perlahan. Maka diundanglah para arsitek aliran Modern dari Perancis untuk mendesain struktur baru di batas kota dengan pola grid, lengkap dengan boulevard lebar-lebar ala kota Paris. Kawasan baru ini kemudian dihuni oleh ras kulit putih, sementara ribuan warga asli diusir paksa ke luar untuk menempati pemukiman baru sejauh 10 kilometer dari Casbah dengan pola desain urban yang sama untuk memudahkan pengontrolan.
Dengan pola morfologi kota yang baru ini, penguasa Perancis mengharapkan kota Casbah tradisional bisa dimatikan secara sosial, ekonomi maupun politik. Mereka kemudian menargetkan minimal 50 persen penduduk muslim asli harus terusir dari kota yang dulu bernama Icosum ini. Icosum konon adalah sebuah pusat perdagangan kuno di Mediterania yang konon didirikan sosok mitologi Hercules.
***
SELAIN dipakai sebagai jerat kontrol terhadap lingkungan binaan kaum terjajah, praktek desain urban juga sering diboncengi sebagai media yang jitu untuk mengekspresikan hegemoni kaum kolonial. Fenomena ini terlihat jelas jika kita membaca morfologi kota Delhi di India. Morfologi kota lama atau Old Delhi yang sumpek dan super padat terlihat begitu kontrasnya dengan morfologi kota baru atau New Delhi yang lapang dan lega rancangan para arsitek kolonial Inggris.
Pengap, gelap, kotor dan bau adalah aliran nafas yang biasa dihirup etnis pribumi India dalam keseharian di Old Delhi. 8 sampai 12 anggota keluarga telah terbiasa dan rela berbagi ruang untuk sekadar berteduh di hunian sempit yang rata-rata beralaskan tanah merah ini. Ironisnya, hanya beberapa ratus meter dari mereka, puluhan kapling-kapling luas untuk tipologi rumah kebun yang berkepadatan rendah begitu mendominasi kawasan New Delhi yang rata-rata dihuni etnis kulit putih.
Segregasi etnis dan pendekatan mono-neighborhood sebagai konsep zoning di Delhi ini juga dipertegas dengan keberadaan ruang terbuka yang begitu luasnya sebagai wilayah penyangga. Ruang terbuka yang rata-rata selebar lapangan bola Senayan ini juga dirancang pihak kolonial Inggris sebagai ruang pertahanan yang strategis jika terjadi pemberontakan pihak pribumi dari Old Delhi.
Begitu kuatnya aroma hegemoni kolonial di India, sampai-sampai keberadaan produk-produk desain urban paksaan kaum kolonial atau Barat pun dijadikan tolak ukur kemajuan budaya mengkota mereka. Di tahun 1951, desain urban untuk Chandigarh sebagai ibukota Punjab pun diserahkan kepada pelopor arsitekur Modern yaitu Le Corbusier. Rasa inferior pribumi India ini begitu kental ketika mereka mengamini tudingan Corbusier bahwa India tidak punya warisan urbanitas yang baik untuk dijadikan referensi. Mereka juga pasrah saja ketika dirayu bahwa arsitektur Modern-lah yang bisa menjadi identitas baru India. Namun India kemudian harus membayar mahal ketika sejarah akhirnya membuktikan bahwa Chandigarh ternyata malah dijadikan sebagai salah satu contoh dari kegagalan gerakan arsitektur Modern.
Di Indonesia sendiri ketika era kolonialisme Belanda, jerat kontrol melalui desain urban ini juga muncul sejak awal abad ke-19. Menurut Bagoes P. Wiryomartono, konsep segregasi etnis antara pribumi dan kulit putih Belanda di Indonesia biasanya diperhalus dengan penempatan daerah transisi berupa kampung-kampung yang dihuni oleh etnis Cina, Arab maupun India. Namun, di kota-kota dengan pusat kekuasaan tradisional seperti halnya Yogyakarta, Surakarta ataupun Cirebon, pola segregasi etnis ini tidaklah begitu terlihat.
***
Menurut sejarawan Michele Lamprakos, sejarah kolonialisme dalam konteks kota dan arsitektur ini memang biasanya menyeret para arsitek untuk ikut menjadi agen kolonialisme aktif di negara-negara terjajah. Visi-visi radikal seringkali ditancapkan para arsitek dengan tujuan agar fisik kota dan arsitektur rancangan mereka bisa terbawa ke masa depan sebagai artefak dan simbol hegemoni kaum kolonialis.
Visi-visi radikal ini bisa terlihat jelas pada desain urban kota Mexico City yang dibangun ulang setelah kotanya dihancurkan. Terbaca pada desain urban berkepadatan rendah Kota New Delhi yang berdampingan dengan slum padat di Old Delhi. Terekam pada pemisahan zoning antara kaum koloni baru dan penduduk asli diawal pendirian kota New York. Terlihat juga pada pelarangan pembangunan lingkungan binaan kecuali untuk kaum koloni Inggris di Sydney, Australia.
Contoh-contoh diatas, menurut sejarawan P.J. Taylor, merupakan kelaziman dari perencanaan kota-kota di dunia baru yang terjadi pada rentang waktu antara tahun 1500 sampai 1950. Pada awal-awal penaklukan dunia baru ini, menurut sejarawan Anthony King, kaum kolonialis biasanya selalu memandang dan membelah dunia ini menjadi dua strata. Strata pertama adalah masyarakat berkulit putih, berbudaya maju, beragama Kristen, dan berasal dari daratan Eropa yang dulu sempat disebut ‘Western Christendom’. Sedangkan masyarakat terbelakang, kulit berwarna, penganut non-Kristen, dan negeri-negeri di luar daratan Eropa dilecehkan sebagai strata lapis kedua. Dengan cara pandang inilah mereka kemudian melakukan pembenaran atas nafsu kolonialnya.
Misi mereka di dunia baru juga sering mereka sebut sebagai misi memberadabkan uncivilized culture. Bahkan terkadang misi suci agama pun sering dibonceng sebagai alat justifikasi dalam pemberangusan budaya maupun pengurasan kekayaan alam negeri-negeri jajahan. Berbagai cara seringkali mereka halalkan termasuk melalui represi militer, desain urban, politik adu domba, pembelokan sejarah maupun pengontrolan psikologis kaum terjajah melalui konsepsi orientalisme.
Konsepsi orientalisme sendiri yang menurut Edward Said merupakan kerangka psikologis dalam memahami emansipasi dan pola pikir bangsa terjajah, ternyata malah diselewengkan oleh para kaum kolonialis. Orientalisme ini kemudian sering digunakan sebagai metoda terakhir untuk menyempurnakan penaklukan peradaban dan kebudayaan kaum tersubjugasi, seperti halnya kasus Snouck Hurgronje di Aceh atau kasus William Jones di India
Di pasca kemerdekan di dunia ketiga pun, aroma kolonialisme ini masih begitu terasa walaupun sudah berubah bentuk. Menurut King yang mengutip F. Jameson, kolonialisme terhadap negara ketiga di pasca kolonial ini tetaplah eksis menjadi wajah baru dengan istilah yang ia sebut sebagai imperialist capitalism. Kekuatan besar kapital dari Barat di pasca kolonial ini memang secara implisit menyeret kembali para arsitek dan perancang kota untuk menjadi agen aktif dari kolonialisme jenis baru ini.
Dengan kekuatan kapital ini, biasanya negara-negara Barat bisa seenaknya menyetir wujud fisik lingkungan binaaan di dunia ketiga yang terkadang hanyalah menjadi misi pelebaran pangsa pasar produk-produk mereka juga. Permukiman sub-urban yang membengkak tidak terkontrol di Jakarta adalah salah satu contohnya. Sehingga terkesan bahwa bermukim yang ideal itu selalu identik dengan tinggal di sub-urban. Padahal banyak sekali alternatif-alternatif budaya bermukim lainnya yang belum pernah dielaborasi secara mendalam untuk mengakomodasi tekanan dahsyat dari urbanisasi demografi. Konsep budaya bermukim mixed-use di kota yang efisien seperti halnya di daerah Pecinan, kemudian terlihat mulai punah ditelan gaya hidup rekaan masyarakat Barat tersebut.
Mudah-mudahan sejalan dengan bertambahnya usia republik ini, bertambah pula kearifan nurani kita untuk tidak gampang terjebak dengan lilitan kolonialisme kapital tersebut. Semoga pula kita bisa dengan jernih mengambil hikmah dari sejarah kolonialisme kota-kota dunia untuk memperkaya kita dalam mencari wujud lingkungan binaan yang demokratis, humanis dan cocok menurut ukuran kita, bukan ukuran mereka.
Bius gaya hidup pada lingkungan binaan di jaman Orde Baru memang sering melenakan kita. Mimpi indah dan mimpi buruk seringkali bertukar tempat tanpa kita sadari. Mungkin bagi kaum marjinal saat ini, ketimpangan sosial yang mereka warisi dari era tersebut seolah tidak ada bedanya dengan penderitaan keseharian kakek nenek mereka di jaman kolonialisme Belanda dulu. Bahkan seperti Gus Dur bilang, bahwa sebenarnya bangsa Indonesia ini -pada momen reformasi 1998 lalu- baru mungkin baru memulai kemerdekaannya.
Dirgahayu Indonesia
Leave a Reply