Posts Tagged ‘Photo Story’
Geliat Bergerak Industri Kreatif Tasikmalaya
oleh galih sedayu
Tasikmalaya yang dijuluki Sang Mutiara dari Priangan Timur merupakan salah satu kota yang melengkapi keutuhan tubuh wilayah Provinsi Jawa Barat di bagian tenggara. Sejarah sendiri mencatat bahwa Tasikmalaya sebelumnya adalah sebuah kabupaten. Namun seiring dengan perubahan yang selalu terjadi, kini di Tasikmalaya memiliki 2 buah bentuk pemerintahan yakni Pemerintahan Kabupaten dan Pemerintahan Kota Tasikmalaya. Bila dirunut berdasarkan peristiwa lampau yang terjadi, sejarah lahirnya kota Tasikmalaya dimulai tatkala A. Bunyamin menjabat sebagai Bupati Tasikmalaya tahun 1976 hingga 1981, dengan diresmikannya Kota Administratif Tasikmalaya melalui peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1976. Pada waktu yang bersamaan, Walikota Administratif Pertama yaitu Drs. H. Oman Roosman dilantik oleh Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat, H. Aang Kunaefi. Kemudian pada tahun 2001, dirintislah pembentukan Pemerintah Kota Tasikmalaya oleh Bupati Tasikmalaya, Kol. Inf. H. SuIjana Wirata Hadisubrata (1996 – 2001). Akhirnya dibawah pimpinan Bupati Drs. Tatang Farhanul Hakim, pada tanggal 17 Oktober 2001 melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001, Pembentukan pemerintahan Kota Tasikmalaya sebagai pemerintahan daerah otonom disahkan. Dimana pada tanggal 18 Oktober 2001, Drs. H. Wahyu Suradiharja dilantik sebagai Pejabat Walikota Tasikmalaya. Sejak saat itulah Tasikmalaya memiliki kuasa dan kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Karena sejak dulu Tasikmalaya memiliki berbagai potensi kerajinan lokal, perkembangan industri kreatif kota ini mulai diperhitungkan. Karenanya, saat ini Tasikmalaya mulai dijagokan sebagai Second City dari Provinsi Jawa Barat setelah kota Bandung.
Potensi Industri Kreatif di Tasikmalaya ternyata cukup besar. Dari mulai bordir, batik, alas kaki (kelom geulis), kerajinan mendong, anyaman bambu, meubel, hingga payung geulis sangat memberikan kontribusi ekonomi yang tentunya menopang pertumbuhan kota Tasikmalaya. Menurut data yang diberikan oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Tasikmalaya dan Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Kota Tasikmalaya, ada sekitar 2.307 unit usaha industri kerajinan di Tasikmalaya yang menyerap tenaga kerja sebanyak 23.565 orang dengan nilai investasi sebesar Rp. 350 Milyar serta nilai produksi yang mencapai Rp. 1,4 Triliun. Dari industri kreatif bordir dengan lokasi sentra di Kecamatan Kawalu, ada sekitar 1.317 unit usaha, 12.898 orang jumlah tenaga kerja, nilai investasi sebesar Rp 193.627.373.000, dan nilai produksi sejumlah Rp 895.008.263.000. Dari alas kaki (kelom geulis) dengan lokasi sentra di Kecamatan Tamansari, Mangkubumi, ada sekitar 504 unit usaha, 5.924 orang jumlah tenaga kerja, nilai investasi sebesar Rp 135.255.674.000, dan nilai produksi sejumlah Rp 396.266.958.000. Dari kerajinan mendong dengan lokasi sentra di Kecamatan Purbaratu, Cibeureum, ada sekitar 173 unit usaha, 2.237 orang jumlah tenaga kerja, nilai investasi sebesar Rp 6.891.602.000, dan nilai produksi sejumlah Rp 41.629.874.000. Dari batik dengan lokasi sentra di Kecamatan Cipedes, Indihiang, ada sekitar 32 unit usaha, 551 orang jumlah tenaga kerja, nilai investasi sebesar Rp 2.557.166.000, dan nilai produksi sejumlah Rp 26.963.320.000. Dari kerajinan kayu {meubel) dengan lokasi sentra di Kecamatan Cipedes, Tawang, Cibeureum, Tamansari, ada sekitar 202 unit usaha, 1.258 orang jumlah tenaga kerja, nilai investasi sebesar Rp 9.785.331.000, dan nilai produksi sejumlah Rp 54.036.745.000. Dari kerajinan bambu dengan lokasi sentra di Kecamatan Mangkubumi, Indihiang, ada sekitar 75 unit usaha, 660 orang jumlah tenaga kerja, nilai investasi sebesar Rp 1.200.038.000, dan nilai produksi sejumlah Rp 5.466.606.000. Terakhir dari payung geulis dengan lokasi sentra di Kecamatan Indihiang, Cihideung, ada sekitar 4 unit usaha, 37 orang jumlah tenaga kerja, nilai investasi sebesar Rp 76.940.000, dan nilai produksi sejumlah Rp 332.800.000.
Melihat potensi Tasikmalaya ini, tentunya masyarakat Jawa Barat yang digadang sebagai salah satu gudang masyarakat kreatif mesti siap menghadapi segala tantangan yang terjadi di era ASEAN Economic Community 2015 yang tinggal menghitung hari. Sudah saatnya masyarakat Jawa Barat mulai bekerja dengan keadaan yang baru ini, Beber Layar, Tarik Jangkar kalau menurut peribahasa sunda, tentunya dengan cara bekerja keras, Dug hulu, pet nyawa, sehingga apapun tantangannya, jika kita rajin dan penuh kesabaran, pasti cita-cita akan tercapai, Cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok kata para sesepuh kita. Untuk itulah, masyarakat Jawa Barat harus mampu menyelesaikan segala permasalahan yang dimiliki berkaitan dengan pengembangan industri kreatif. Dan cara terbaik yang dapat dilakukan adalah mulai.
@galihsedayu | tasikmalaya, 10 desember 2014
*batik
*kerajinan mendong
*kelom geulis
copyright (c) 2014 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Pesan Dari Kampung Taman Hewan
Foto & Teks : galih sedayu
“Pada suatu tempat di Kampung Taman Hewan”
Pemantik semangat perubahan kota itu sesungguhnya tidak hanya datang dari otak-otak masyarakat kreatif yang tinggal di pusat kota saja. Himpunan Kampung Urban yang biasanya terpinggirkan dan dipandang sebelah mata oleh sebagian orang, ternyata dapat menjadi sebuah pusat energi kreatif pula yang membentuk peradaban kota. Meski kadang kelompok kampung ini terpaksa hidup terhimpit oleh tembok arogansi yang mengatasnamakan pembangunan kota. Mereka inilah sebenarnya yang diharapkan mampu untuk melawan segala superioritas dan rasa kecongkakan sekelompok orang/pengusaha yang berfikiran dangkal yang hanya memikirkan bagaimana menciptakan sejumlah ruang komersil di sebuah kota.
Kampung Taman Hewan adalah salah satu areal dan kawasan marjinal di Kota Bandung yang mencoba tumbuh dan bergerak di antara pembangunan fisik yang mulai mengepung. Kampung Taman Hewan RW 08 ini termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong dan terletak di belakang Kebon Binatang, Jalan Taman Hewan Kota Bandung. Bila kita berdiri tepat di lapangan tengah Kampung Taman Hewan (yang biasanya digunakan sebagai lapangan sepakbola) dan menghadap ke sisi sebelah barat , maka kita akan melihat bahwasanya kampung ini bak dipagari oleh bangunan tinggi menjulang yang rencananya akan dijadikan rumah susun. Tak ada lagi pemandangan belantara hijau menyejukkan dan kicau unggas beterbangan yang dulunya sempat dimiliki oleh kawasan tersebut. Uniknya, Kampung Taman Hewan ini memiliki salah satu tokoh masyarakat yang masih muda. Masyarakat kampung ini memanggil namanya dengan sebutan Tjuki atau Cuki. Maklum, ia adalah pentolan dari band punk bernama Tjukimay yang telah dirintisnya sejak tahun 2000. Saat ini Cuki banyak memprovokasi warga Kampung Taman Hewan untuk menjadi produktif dan mengajarkan nilai-nilai kemandirian yang kelak dapat meningkatkan martabat kampung tersebut.
Program Akupuntur Kota adalah sebuah gagasan sederhana dari Bandung Creative City Forum (BCCF) yang mencoba menciptakan berbagai Kampung Kreatif di Kota Bandung. Kampung-Kampung ini nantinya diharapkan mampu untuk menjadi model & contoh nyata dari sebuah Social Movement yang diusung oleh masing-masing warga kampung tersebut. Sehingga berkat perubahan kecil yang dilakukan oleh masing-masing kampung inilah, yang pada akhirnya diharapkan mampu membuat sejumlah perubahan besar di Kota Bandung. Kampung Taman Hewan adalah salah satu kampung kota yang menjadi titik akupuntur permasalahan sebuah kota. Melalui sebuah gelaran kreatif yang bernama Festival Kampung Tamansari, Lapangan Tengah Kampung Taman Hewan (yang merupakan bagian dari perkampungan di daerah tamansari) disulap menjadi sebuah arena ruang publik dan tempat bersinerginya sebagian besar komunitas Kota Bandung. Kampung Taman Hewan inilah yang diharapkan mampu menjadi salah satu ruang publik masyarakat Kota Bandung. Tidak hanya Mall & Factory Outlet saja yang malahan kerap menimbulkan kemacetan dan degradasi sosial.
Tentunya kita semua sadar benar, bahwa perlu adanya sinergi bersama untuk merealisasikan mimpi sebuah kota yang ideal. Untuk itu BCCF pun menggandeng Keluarga Mahasiswa Seni Rupa (KMSR) ITB sebagai pelaksana kegiatan Festival Kampung Tamansari khususnya aktivitas yang dilakukan di Kampung Taman Hewan. Karena selain di kampung ini, Festival Tamansari juga menggelar sebuah program Mural Atap di kawasan Kebon Kembang. Tepatnya tanggal 20 September 2012 hingga 22 September 2012, Festival Kampung Tamansari ini dipersembahkan bagi khalayak umum. Sejumlah komunitas, pihak akademisi, instansi, seniman, dan warga kampung pun turut memberikan andil pada perhelatan di Kampung Taman Hewan tersebut. Dari mulai Hay Man Movement yang memberikan workshop melukis layang-layang, TPB FSRD ITB 2012 & senior KMSR ITB yang mengerjakan Mural Lapangan, Air Foto Network yang memberikan workshop foto jurnalisme warga, Pemutaran Film oleh Komunitas Layar Kita, Sentuhan kuas Tisna Sanjaya yang berduet dengan suara harmonika yang dilantunkan Hari Pochang, serta Video Mapping dari Interacta. Bahkan sejumlah musisi seperti Kasada, Trah Project, Pancasura, Karinding Sagara, Teman Sebangku, Nada Fiksi & Sound of Hanamangke turut memeriahkan Festival Kampung Tamansari tersebut. Kehadiran Walikota Bandung (Dada Rosada) dan Wakil Walikota Bandung (Ayi Vivananda) juga melengkapi simbol sinergisitas masyarakat sebuah kota. Meski sebenarnya sebagian besar pidato tentang kebakaran yang disampaikan secara panjang lebar oleh Walikota Bandung pada saat itu, agaknya kurang relevan dengan konteks kreativitas yang digelar di Kampung Taman Hewan ini. Namun biarlah.
Apa yang telah dilakukan oleh warga Kampung Taman Hewan ini adalah sebentuk kesadaran kolektif yang menawarkan sebuah pemikiran sekaligus getaran emosional bagi masyarakat kota dimanapun. Bahwa nun di kaki langit urban sebuah kota, masih ada dimensi lain yang merindukan keintiman di sana serta masih ada artefak peradaban yang merindukan sebuah perubahan. Karena sesungguhnya persoalan yang ingin mereka komentari adalah sebentuk masa depan yang terhalang. Masa depan sebuah kampung yang mungkin tertutup oleh tembok, debu & suara bising pembangunan. Serta ketidak adilan bagi mereka yang hendak membungkam suara-suara protes warga. Walaubagaimanapun hari esok Kampung Taman Hewan hanya ada pada upaya keras yang diperlihatkan oleh warganya. Juga solidaritas dan empati dari komunitas kotanya. Dan tentunya kemauan baik serta tindakan nyata dari pemerintahnya. Dalam kekuatan itulah semestinya kita percaya.
“Pada suatu masa di Kampung Taman Hewan”
Bandung, 5 Oktober 2012
copyright (c) 2012 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Ketika Hutan Menyala, Bernyanyi & Melawan | Lightchestra | Babakan Siliwangi World City Forest, Bandung, 5-7 July 2012
Foto & Teks : galih sedayu
Kawasan Babakan Siliwangi (Lebak Siliwangi) yang terletak di bagian utara kota Bandung tepatnya di jalan Babakan Siliwangi (tembusan jalan Tamansari melewati jalan Ganesha) adalah hutan kota satu-satunya yang masih tersisa di kota ini. Meski sebenarnya sejarah mencatat bahwasanya pada masa pemerintahan belanda, kawasan Babakan Siliwangi dahulu merupakan hamparan sawah yang luas dan kemudian disulap dengan ditanami berbagai jenis pohon sehingga kemudian tercipta sebuah kawasan hutan kota. Luas area Hutan Babakan Siliwangi adalah sekitar 3,8 hektar yang dihuni oleh 48 jenis pohon, 14 jenis burung dan beberapa jenis binatang mamalia. Karenanya, hutan kota Babakan Siliwangi menjadi aset alam yang sangat berharga bagi paru-paru kota Bandung . Sehingga sudah layak dan sepantasnyalah, kita sebagai warga Bandung patut menjaga keasrian & kelestarian hutan kota ini. Konon, di hutan Babakan Siliwangi dahulu terdapat empat buah mata air yang disebut-sebut sebagai mata air Prabu Siliwangi. Namun saat ini yang dapat kita lihat adalah hanya tinggal satu buah mata air yang terletak di sebelah timur laut hutan Babakan Siliwangi.
Dengan melihat fakta ini semua, kita perlu menyadari bahwa hutan Babakan Siliwangi adalah sebuah ruang publik yang sejatinya dapat diaktifkan oleh warganya. Tapi sayangnya, tidak banyak catatan aktivitas yang berasal dari komunitas maupun kelompok masyarakat yang merespon ruang publik hutan ini. Sejak tahun 1960-an, kawasan hutan kota babakan siliwangi memang digunakan sebagai arena ketangkasan binatang dari mulai adu bagong hingga yang saat ini rutin dibuat setiap awal bulannya oleh Himpunan Peternak Domba & Kambing (HPKD) Bandung yaitu adu ketangkasan domba. Selain itu aktivitas para seniman yang tergabung dalam Sanggar Olah Seni (SOS) Babakan Siliwangi turut mewarnai kehidupan hutan kota ini. Dimana seorang pelukis yang bernama Thoni R.Yoesoef mendirikan sanggar tersebut pada tahun 1982 bersamaan dengan didirikannya Rumah Makan Babakan Siliwangi oleh seniman Anang Sumarna. Lalu pada tahun 2011 muncul pula komunitas HUB (Hayu Ulin di Baksil) yang ikut mengaktivasi hutan kota tersebut dengan berbagai kegiatan positif.
Pada tahun 2011 pula, sekelompok warga masyarakat yang tergabung dalam sebuah komunitas yang bernama Bandung Inisiatip, membuat sebuah sayembara desain kawasan hutan Babakan Siliwangi. Seolah gayung bersambut, Bandung Creative City Forum (BCCF) yang merupakan sebuah perkumpulan komunitas kreatif kota bandung, menyimpulkan ide dan hasil sayembara dari Bandung Inisiatip tersebut melalui program pembangunan jembatan hutan kota Babakan Siliwangi (Forest Walk). Pembangunan jembatan gantung sepanjang kurang lebih 80 meter ini sekaligus menjadi simbol dari sebuah kesepakatan bersama antara United Nations Environment Programme (UNEP) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia & Pemerintah Kota Bandung yang menyatakan bahwa Kawasan Babakan Siliwangi diresmikan menjadi Hutan Kota Dunia (World City Forest). Keberadaan jembatan tersebut diharapkan agar warga masyarakat dapat mengetahui lebih dekat dan dapat dengan mudah mengakses hutan kota tersebut. Pada saat itu pula pengelupasan aspal jalan di dalam hutan Babakan Siliwangi dilakukan bersama-sama warga dan kemudian menanaminya kembali dengan 1000 pohon. Hingga kini tertoreh di dalam dinding sejarah bahwa kawasan Babakan Siliwangi setidaknya kini memiliki sebuah nama internasional yaitu Babakan Siliwangi World City Forest. Celakanya, meski perjuangan warga masyarakat kota bandung untuk mempertahankan hutan kota dunia babakan siliwangi ini kerap gencar dilakukan, namun ternyata masih ada pihak-pihak yang bersikukuh menginginkan kawasan hutan kota ini menjadi sebuah ruang komersil. Padahal hutan kota dunia Babakan Siliwangi ini sejatinya harus tetap menjadi ruang publik hijau yang terbuka dan dapat dengan mudah diakses oleh para warganya. Kesimpulannya, perjuangan itu mesti tetap mengalir dan terus menerus dilakukan oleh kita. Tentunya dengan cara-cara kreatif.
Di awal bulan juli yang ceria tepatnya pada tanggal 5-7 Juli 2012, Bandung Creative City Forum (BCCF) kembali mencoba mengaktivasi hutan kota dunia Babakan Siliwangi ini sebagai salah satu isu penting perihal ruang publik kota. Melalui sebuah event #1HelarFest 2012yang bertajuk “Lightchestra” (Music Festival, Laser/Light Show & Community Network), BCCF mengajak komunitas terutama anak-anak muda kota Bandung yang belum terlalu mengenal bahkan sama sekali tidak tahu mengenai keberadaan hutan kota dunia Babakan Siliwangi untuk menyuguhkan talenta serta aksi kreatif mereka di dalam hutan. Selama 3 hari akhirnya tersingkap unjuk kabisa berbagai komunitas kota bandung yang membantu dan berkolaborasi demi menghidupkan hutan kota semisal Urban Jedi Bandung, Barudak Urban Light Bandung (BULB), Bandung Shuffle Dance Club (BSDC), Komunitas Layar Kita, Sahabat Walhi, Open Heart Studio, dan masih banyak lagi. Belum lagi kehadiran sejumlah musisi lokal & indie asal kota Bandung seperti Rusa Militan, Mr.Sonjaya, Teman Sebangku, La Belle, 70’s Orgasm Club, Nada Fiksi, Kris & The Undercover, Sigmun, Annemarie, Homogenic, Cozy Street Corner, Deu Galih & String Quartet, Tesla Manaf & MGG, serta Grace Sahertian & Choir, semuanya turut mendendangkan lagu-lagunya sembari menghibur hutan kota yang jarang tersentuh oleh manusia. Bahkan Ganjar Noor, seorang seniman & musisi asal Kampung Akustik Cicadas, menciptakan sebuah lagu baru yang berjudul “Hutan Siliwangi” dan menyanyikan lagu tersebut untuk pertama kalinya tepat di atas jembatan huta kota dunia Babakan Siliwangi. Alhasil, area hutan yang biasanya digunakan sebagai arena ketangkasan domba dalam sekejap terlihat menjadi sebuah pemandangan berbeda bak sebuah stadion konser musik. Jalan setapak menuju lokasi hutan pun menjadi bersinar terang setelah ditandai oleh jalur kabel panjang berisi lampu berwarna biru.Belum lagi pohon-pohon di dalam hutan yang disorot lampu warna warni berikut pancaran permainan laser yang sederhana menjadikan hutan kota tersebut tak lagi gelap gulita dan terkesan romantis.
Meski begitu, segala kegiatan apapun yang bersentuhan dengan alam atau hutan, adalah wajib bagi kita untuk menjaga kebersihan hutan. Untuk itu pada event Lightchestra, kerjasama pun dilakukan dengan komunitas lingkungan seperti Sahabat Walhi. Dimana mereka terus menyuarakan tentang kampanye kebersihan sampah. Bahkan pada event Lightchestra ini, keberadaan stan makanan pun tidak diperbolehkan demi menghindari sampah yang muncul sesudahnya. Tim kerja dan panitia event Lightchestra ini pun hanya boleh dibekali dengan makanan yang sudah diberi tempat masing-masing dan harus digunakan kembali selama 3 hari kegiatan tersebut. Area konser musik Lightchestra ini pun bukan dilokasikan di dalam hutan yang telah ditanami pepohonan melainkan sekedar memanfaatkan amphiteater yang sudah ada, yang biasanya digunakan sebagai arena ketangkasan domba. Daya listrik yang digunakan untuk kegiatan Lightchestra ini pun relatif kecil, bukan menggunakan daya listrik yang besarnya hingga puluhan ribu watt. Demikian pula dengan laser yang digunakan untuk menerangi pepohonan adalah cahaya sederhana yang diharapkan sekedar menjadi elemen estetis saja sehingga tidak terlalu mengganggu keberadaan habitat & ekosistem yang ada di dalam hutan.
Sesungguhnya event Lightchestra di kawasan hutan Babakan Siliwangi ini adalah salah satu upaya untuk lebih memperkenalkan hutan kota kepada publik terutama bagi anak-anak muda yang sebagian besar belum menyadari benar mengenai keberadaan hutan kota ini. Terbukti dari rata-rata pengakuan & pengalaman mereka yang baru pertama kali menginjakkan kakinya ke dalam hutan kota dunia tersebut. Selain itu kegiatan Lightchestra tersebut adalah bentuk nyata dari upaya mengaktivasi dan menghidupkan kembali ruang-ruang publik khususnya hutan kota agar tidak diam dan menganggur. Karena pada umumnya apabila sebuah ruang publik yang terus menerus kosong dan didiamkan oleh warganya, maka pada saat itulah banyak pihak yang menginginkan ruang publik tersebut dibangun dan digunakan sebagai ruang dan lahan komersil. Tentunya setelah itu ruang tersebut hanya akan menguntungkan sejumlah pihak yang berkepentingan saja, bukan untuk kepentingan umum. Karena itu dapat dikatakan bahwa ujung akhir event Lightchestra ini adalah sebentuk perlawanan warga melalui cara kreatif agar di kemudian hari tidak akan ada tembok bangunan yang ditancapkan dan didirikan demi memuaskan dahaga keserakahan pihak-pihak tertentu yang tidak mengerti tentang pentingnya keberlangsungan hutan. Karenanya hutan kota harus tetap menjadi hutan kota. Demi keberlangsungan oksigen kota. Agar menjadi bagi kita kehidupan kota yang bersih dan seimbang.
Bandung, 8 Juli 2012
copyright (c) 2012 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Membaca Sunda
Foto & Teks : galih sedayu
Berbicara perihal masyarakat adat, sepertinya selalu menjadi isu yang sexy untuk diperbincangkan terutama bila dibandingkan dengan masyarakat urban yang kerap dicekoki oleh serbuan budaya modern. Meski sebenarnya, upaya untuk membanding-bandingkan kelebihan antara masyarakat adat & urban tidaklah relevan karena masing-masing komunitas memiliki karakter yang unik & berbeda. Misalnya saja dalam hal kreativitas, masyarakat adat masih bertumpu kepada tanah & air yang mereka miliki untuk menciptakan produk kreatifnya. Tapi bagi masyarakat urban, karena tanah & air di perkotaan semakin sulit didapat, mau tidak mau mereka harus mengandalkan sumber daya manusia yang ada. Sejatinya, segala komunitas masyarakat itu seharusnya hidup dalam tatanan nilai yang sama dan egaliter. Hal yang terjadi saat ini adalah, atas nama perkembangan ilmu & teknologi, sebagian masyarakat urban menganggap masyarakat adat dengan segala aset & aktivitas budayanya hanya sekedar atau menjadi Tongtonan atau pertunjukkan belaka. Sementara dari perspektif masyarakat adat, semua hal yang mereka miliki diharapkan bisa menjadi Tungtunan atau panutan bagi masyarakat. Pada kenyataannya pun, masyarakat adat kerap dijadikan komoditi atau kepentingan imagologi semata bagi para politikus untuk dijadikan tameng serta kekuatan masa. Begitu pula dengan masyarakat adat sunda. Bila dikaji lebih jauh, ternyata banyak sekali permasalahan yang masih melekat di dalamnya. Menyangkut pengertian Sunda itu sendiri misalnya. Kata Sunda kadang masih dianggap sebagai sebuah pemisah terlebih bila dikaitkan dengan keberadaan suku tertentu. Padahal bila kata Sunda itu diartikan sebagai bumi atau negara, bahkan sebuah falsafah, tentunya semangat kesatuan lah yang selalu hadir untuk tetap membalut erat keberagaman di dalam kehidupan masyarakatnya. Tepatnya tanggal 28 Mei 2012 hingga 2 Juni 2012, telah digelar sebuah Festival Masyarakat Adat Tatar Sunda yang bertempat di Pasir Impun, Bandung. Selama 6 hari, kita dapat menyaksikan segala aktivitas seni & budaya yang diusung oleh sekitar 15 Kampung Adat yang ada di Jawa Barat. Foto cerita ini merupakan sebuah kumpulan refleksi simbol & potret tentang keberadaan masyarakat adat sunda yang berkumpul di sana. Gambar-gambar hening yang ditampilkan dalam foto cerita ini, merupakan sebuah upaya untuk menangkap citraan tentang masyarakat adat tatkala berbaur dengan masyarakat urban. Sehingga menggelitik hati untuk melontarkan sebuah pertanyaan, apakah sebenarnya saat ini kita perlu untuk belajar dari keberadaan masyarakat adat sunda dengan segala nilai kearifan lokal yang dimilikinya? Atau mungkin kita menjadi bertanya, bila melihat pada kenyataannya masyarakat adat tersebut yang justru semakin terhipnotis oleh budaya modern? Silakan menjawab.
Bandung, 3 Juni 2012
copyright (c) 2012 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Ruang Intim Kota
Foto & Teks : galih sedayu
Sebuah kota tentunya memiliki ruang-ruang bagi warganya. Bahkan sejatinya ruang tersebut tidak lah sendirian. Ruang-ruang itu layak disebut sebagai “mereka” karena seharusnya (mereka) hidup, bukan mati tanpa peristiwa. Mengaktifkan ruang-ruang publik yang ada di sebuah kota sudah selayaknya menjadi tanggung-jawab bersama. Karenanya sebuah perayaan perlu selalu dihadirkan sebagai salah satu upaya menghidupkan ruang publik. Salah satunya adalah (ruang) jalan. Jalan sesungguhnya memiliki makna sebagai suatu tempat yang dapat menghubungkan manusia satu dengan yang lain. Harapannya adalah jalan itu harus mempertemukan banyak manusia. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk merayakan sebuah kecintaan masyarakat terhadap kota melalui pemanfaatan jalan. Cara tersebut tidak harus melulu melalui aktivitas seni yang biasanya dilakukan oleh komunitas seniman pada umumnya. Hanya dengan aktivitas sederhana yakni “Makan”, sebuah jalan mampu disulap menjadi aktivitas yang sarat dengan simbol-simbol kreativitas. Adalah Keuken #2, sebuah perayaan kota melalui festival makanan selama sehari yang diberi tajuk “The Flavorsome Intimacy” yang diusung oleh komunitas Keuken Bandung. Dengan kampanye yang mereka usung yaitu “Reclaim the Street”, komunitas tersebut mencoba menjawab berbagai pertanyaan tentang isu penggunaan ruang publik di kota Bandung. Foto cerita ini adalah sebuah refleksi visual dan pesan personal dari realitas yang terjadi pada tanggal 26 Februari 2012 di jalan saparua Bandung. Di sanalah kita melihat bahwasanya ketika sebuah (ruang) jalan ditutup dan ditawarkan kepada warganya, saat itulah muncul berbagai energi baru yang siap untuk mengambil alih ruang-ruang yang mati. Kemudian mengisinya dengan ide-ide manusia. Agar sebuah kota tetap bergerak.
Bandung, 26 Februari 2012
copyright (c) 2012 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Underground Fight
Foto & Teks : galih sedayu
Tahun 1989 bisa disebut sebagai awal sejarah Komunitas Musik Metal di kota Bandung. Karena pada tahun itulah lahir sejumlah komunitas musik metal di daerah Ujung Berung. Karenanya Ujung Berung memiliki peran penting dan menjadi saksi pertumbuhan komunitas metal terbesar hingga saat ini di Indonesia. Komunitas Ujung Berung Rebels. Keringat perlawanan dan perjuangan mereka patut diacungi jempol karena berkat perjuangan mereka, industri musik metal di Indonesia semakin memiliki martabat dan mewarnai blantika musik tanah air. Pada tanggal 3-4 Februari 2012, komunitas Ujung Berung Rebels menginisiasi sebuah perhelatan musik metal di kota Bandung yang bernama “Rebel Nation” dengan tajuk Panceg Dina Galur. Foto cerita ini berusaha memvisualkan segala simbol, pesan dan realita yang terjadi pada saat festival komunitas musik metal tersebut dihelar. Tentunya dengan bahasa fotografi yang sederhana.
Bandung, 5 Februari 2012
copyright (c) 2012 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Gua Pawon Memanggil
Foto & Teks : galih sedayu
9 Desember 2000. Sudah layak & sepantasnya lah tanggal ini menjadi sebuah momen dan tonggak bersejarah bagi temuan dunia Arkeologi Indonesia khususnya di Jawa Barat. Tatkala Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) yaitu sebuah kumpulan kecil orang-orang sederhana yang merupakan peneliti independen, berhasil menemukan benda-benda prasejarah buah hasil penelitian mereka yang menggunakan metode geomagnetik di dalam sebuah situs hunian era manusia purba yang bernama Gua Pawon. Pasca awal penemuan tersebut, pada tahun 2003 Balai Arkeologi Bandung melakukan penggalian secara lebih sistematik dan berhasil mengungkap misteri kebesaran Gua Pawon dengan berbagai penemuan berharga. Salah satunya adalah kerangka manusia lengkap yang ditemukan dalam posisi meringkuk. Alhasil setelah temuan fenomenal itu, nama Gua Pawon pun kembali menjadi perbincangan yang hangat di kalangan para peneliti dan penjelajah sejarah. Sebenarnya keberadaan Gua Pawon itu sendiri sudah ada sejak lama dan pernah diberitakan oleh R. Prajatna Koesoemadinata (Guru Besar Emeritus & Ikatan Ahli Geologi Indonesia) dalam laporan survei geologi yang dilakukan pada tahun 1959. Meski begitu saat ini masih banyak masyarakat kita yang belum mengenal sama sekali atau bahkan mau peduli terhadap aset peradaban prasejarah tersebut.
Gua Pawon sebenarnya merupakan sebuah gua tebing yang berada di sekitar kawasan Danau Bandung Purba, tepatnya di daerah Pasir Pawon, Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, sekitar 25 km sebelah Barat kota Bandung. Akses untuk menuju tempat ini sebenarnya relatif mudah meski harus memasuki kawasan karst citatah dengan kondisi jalan yang tidak mulus dan udara yang sangat berdebu akibat penggalian batu kapur di sekitarnya. Karena kondisinya yang gelap & lembab, Gua Pawon pun menjadi tempat bermukim yang menggembirakan bagi sekelompok binatang malam yaitu kelelawar. Tak heran maka sebagian masyarakat setempat masih ada yang menggantungkan nasib hidupnya demi sesuap nasi untuk mencari nafkah di Gua Pawon dengan cara mengambil pupuk dari kotoran kelelawar tersebut. Selain itu menurut masyarakat setempat, Gua Pawon juga menjadi salah satu persinggahan & daya magnet bagi para pencari ilmu gaib dengan melakukan tapa di situs prasejarah tersebut. Saat ini Gua Pawon menjadi salah satu obyek wisata yang menarik di daerah Jawa Barat berkat perjuangan gigih dari segelintir kelompok yang peduli terhadap pelestarian lingkungan diantaranya Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB). Bahkan tidak jauh dari lokasi Gua Pawon tersebut akhirnya pemerintah berinisiatif dan tengah dilakukan proses pembangunan Museum Gua Pawon.
Untuk itulah saya mencoba untuk menyampaikan melalui foto-foto ini, pesan visual yang menggema dari dinding-dinding batu Gua Pawon, yang tak pernah diam untuk selalu memanggil kita saat ini. Melalui fotografi, media yang sarat dengan keheningan ini, setidaknya ada sebuah suara kecil yang terdengar berupa cita & harapan besar bagi kelangsungan Gua Pawon. Sehingga muncul sejumlah kesadaran-kesadaran kecil manusia yang pada nantinya akumulasi kesadaran tersebut menjadi besar hingga mampu menciptakan sebuah sikap & tindakan nyata. Agar mereka selalu memiliki waktu untuk tetirah dan mencari jawaban dari misteri Gua Pawon yang kelak dapat kita wariskan kepada anak cucu kita. Kita akan selalu berharap, meskipun teriknya sinar matahari dan hujan badai yang menerjang tubuh Gua Pawon, namun ia akan tetap berdiri tegak dan menjadi saksi bisu bagi sebuah peradaban manusia yang panjang. Sampai suatu saat nanti.
Bandung, 7 Januari 2012
copyright (c) 2012 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.