Posts Tagged ‘foto cerita’
Pangkal Pesona Leluhur Desa Wologai
Teks & Foto / Text & Photographs: galih sedayu
Mencermati permasalahan kehidupan kota di masa seperti ini, sangat mudah rasanya untuk meromantisasi apa yang kita bayangkan apabila menjalani kehidupan di sebuah desa tradisional. Karena pada umumnya kehidupan penduduk desa tradisional didorong oleh pertimbangan kelangsungan hidup pribadi dan keluarga meski tetap tunduk dalam sebuah aturan adat. Di sanalah komunitas menjadi metode keberadaan bagi masyarakatnya, bukan cita-cita yang memperkaya sekelompok orang. Desa tradisional memiliki nilai dan keunikannya masing-masing sesuai dengan lingkungan geografis, sumber daya alam, serta warisan budaya yang berbeda-beda.
Desa Wologai adalah sebuah desa adat yang menjadi salah satu destinasi wisata di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Desa Wologai hingga kini tetap mempertahankan nilai-nilai adat dan tradisional leluhurnya. Desa adat yang telah berusia sekitar 800 tahun ini berada di Desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, sekitar 43 km dari Kota Ende. Sebelum memasuki kawasan ini, di bagian depan sebelah kanan pintu masuk kita akan menemukan sebuah pohon beringin besar yang menurut masyarakat adat ditanam oleh leluhur mereka sebagai penanda waktu awal pendirian sekaligus batas Desa Adat Wologai yang memiliki luas sekitar satu hektar. Arsitektur bangunan Desa Wologai menyerupai kerucut dengan titik pusatnya yang berada di sebuah bangunan batu tinggi bernama Tubu Kanga. Dimana masyarakat setempat mempercayai bahwa Tubu Tanga tersebut merupakan kubur batu leluhurnya sehingga tidak boleh sembarang orang naik kecuali pada saat upacara adat. Batu ceper yang terdapat di tengah Tubu Tanga digunakan serupa altar untuk meletakkan persembahan bagi Sang Leluhur.
Bentuk rumah-rumah adat di Desa Wologai sangatlah dengan unik. Sekilas bentuk rumah-rumah mereka sama, yaitu bangunan berbentuk panggung dan berdiri di atas pondasi batu pipih dengan atap menjulang. Namun ternyata setelah menatapnya dari dekat, bangunan rumah adat tersebut satu sama lain memiliki perbedaan yang jelas, bahkan memiliki nama-nama yang berbeda setiap rumahnya. Ada rumah adat yang bernama Saopanggo, Attawolo, Saolabo, Lewabewa, Analamba, dan lain sebagainya. Menurut mosalaki ria bewa atau juru bicara para tetua adat, Desa Wologai ini memuat 18 rumah adat, 5 rumah suku, dan satu rumah besar. Bentuk rumah adat yang menjulang memiliki filosofi yang berhubungan dengan kewibawaan para ketua adat yang di dalam struktur adat dianggap dan dipandang lebih tinggi dari masyarakat adat biasa. Bagian kolong rumah (lewu) dahulunya difungsikan untuk memelihara ternak seperti babi dan ayam. Ruang tengah digunakan sebagai tempat tinggal, sedangkan loteng digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang yang akan diperlukan pada saat ritual adat. Pada setiap dinding kayu luar rumah adat tersebut terdapat berbagai ukiran yang mengisahkan keseharian masyarakat adat seperti bertani, hingga ukiran hewan-hewan yang akrab dalam kehidupan masyarakat setempat. Rumah suku berada di lingkar terluar dari Tubu Tanga dan digunakan sebagai tempat penyimpanan benda pusaka atau peninggalan milik suku. Sedangkan rumah besar hanya ditempati saat berlangsung ritual adat.
Untuk membangun rumah adat tidak boleh dilakukan sembarang. Satu rumah hunian tersebut akan menghabiskan satu pohon besar di hutan dengan kayu jenis ampupu serta genting ijuk yang berasal dari pohon enau atau moke. Sebelum membangun wajib didahului dengan ritual adat Naka Wisu yaitu aturan memotong pohon di hutan untuk digunakan sebagai tiang penyangga rumah. Ritualnya harus dilakukan pukul 12 malam, dengan terlebih dahulu menyembelih seekor ayam sebagai kurban. Masyarakat Dewa Wologai masih mempertahankan bentuk kampung adat karena tunduk dan taat pada perintah leluhur yang berpesan untuk selalu menjaga tradisi yang telah dilakukan secara turun-temurun. Musibah kebakaran pernah melanda Desa Wologai pada tanggal 9 Oktober 2012 yang menghanguskan sebanyak 20 rumah adat.
Dalam setahun di Desa Wologai terdapat dua ritual besar yakni panen padi, jagung dan kacang-kacangan (Keti Uta) yang digelar pada bulan April, dan tumbuk padi (Ta’u Nggua) yang digelar pada bulan September. Puncak ritual Ta’u Nggu’a adalah Pire dimana selama 7 hari masyarakat tidak boleh menjalankan aktivitas hariannya. Selama masa ini seluruh masyarakat adat Wologai dilarang melakukan aktivitas pekerjaan seperti bertani, mengiris tuak dari pohon enau dan lain sebagainya. Setelah melewati berbagai upacara, maka masyarakat adat Desa Wologai akan menggelar ritual Gawi atau menari bersama di atas pelataran mengelilingi Tubu Kanga sebagai simbol mengucap syukur dalam kegembiraan dan kebersamaan.
Melihat warisan sosial dan kultural yang masih dipertahankan serta dilestarikan di Desa Wologai, tentunya dapat menjadi pembelajaran abadi bagi kita semua bahwa sesungguhnya tatanan hidup yang seimbang akan menjadikan manusia yang lebih bijak dalam laku keseharian. Sebentuk surga di bumi yang penuh kemuliaan dengan komunitas sebagai pengawal setianya. Tak tergerus oleh industri yang mengatasnamakan kemajuan jaman, tak terkikis oleh dunia yang menawarkan kesenjangan. Hanya ada satu kehidupan yang harmoni dan selaras antara manusia, alam dan Sang Semesta.
Desa Adat Wologai, Flores, NTT – 29 Mei 2022









































Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Warna Keagungan Semesta di Kelimutu
Teks & Foto: galih sedayu
Gunung api menjadi bagian tubuh yang tak terpisahkan dari raga alam nusantara kita. Karena bumi pertiwi dengan segala keajaibannya termasuk ke dalam sabuk Cincin Api (Ring of Fire) dunia yakni rangkaian gunung berapi sepanjang 40.000 km dan situs aktif seismik yang membentang di samudera pasifik. Seperti halnya Kelimutu. Kelimutu merupakan sebuah gunung api di pulau Flores, tepatnya di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Gunung Kelimutu dengan ketinggian 1690 mdpl ini berada di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Kelimutu (Kelimutu National Park). Meskipun luasnya sekitar 5.356,50 hektare, namun kawasan konservasi ini menjadi taman nasional terkecil dari 54 Taman Nasional yang ada di Indonesia. Di kawasan Taman Nasional Kelimutu ini terdapat pula Gunung Kelido dan Gunung Kelibara yang menjadi teman penghuni bagi Gunung Kelimutu sebagai kerucut alam tertua yang masih aktif.
Adapun magnet yang menjadi pesona Taman Nasional Kelimutu adalah 3 buah danau vulkanik dengan warna yang berbeda dan terkenal dengan sebutan Danau Tiga Warna. Danau Kelimutu dengan masing-masing warna yang berbeda tersebut memiliki makna tersendiri bagi penduduk lokal di sana. Danau yang berwarna biru memiliki nama “Tiwu Nuwa Muri Ko’ofai” yang dipercayai sebagai tempat berhimpunnya para arwah dan jiwa dari pemuda dan pemudi yang telah meninggal. Danau yang berwarna merah memiliki nama “Tiwu Ata Polo” yang dipercayai sebagai tempat berhimpunnya para arwah dan jiwa dari orang-orang yang telah meninggal dimana selama hidupnya kerap melakukan kejahatan tenung. Danau yang berwarna putih memiliki nama “Tiwu Ata Mbupu” yang dipercayai sebagai tempat berhimpunnya para arwah dan jiwa dari orang tua yang telah meninggal. Walaupun cerita penduduk setempat menyatakan demikian, namun ketiga danau tersebut tidak selamanya tetap berwarna biru, merah, dan putih saja. Menurut catatan waktu, dari tahun ke tahun ketiga danau tersebut sudah pernah mengalami perubahan warna bahkan lebih dari sekali entah itu menjadi warna hijau, coklat, hitam, dan abu-abu. Perubahan warna yang terjadi pada danau Kelimutu sangat dipengaruhi oleh aktivitas vulkanis yang mendorong gas-gas di dalam bumi keluar ke permukaan dan kemudian bereaksi serta bercampur sehingga mengakibatkan perubahan warna pada air danau.
Perjalanan menuju ke kawasan Taman Nasional Kelimutu akan melewati Desa Moni yang berjarak sekitar 52 km dari Kota Ende. Sekitar dua jam lamanya, kita akan melalui jalan aspal yang berkelok-kelok dengan atmosfir bentangan alamnya yang begitu hijau. Sesampainya di Desa Moni, kita akan banyak temukan penginapan untuk bermalam dan beristirahat di kaki gunung Kelimutu. Saat itu saya menginap di sebuah penginapan yang bernama Ecolodge. Untuk mencapai puncak pemandangan agar dapat melihat keindahan danau 3 warna, kita harus berjalan kaki melakukan hiking dan trekking dari area parkir Taman Nasional Kelimutu yang pada umumnya ditempuh dengan waktu sekitar 30 menit. Matahari terbit di gunung Kelimutu merupakan sabda alam tersendiri yang bisa dinikmati kala pagi menjelang. Bila ingin mendapatkan sunrise setelah malam yang panjang di pulau flores, sebaiknya kita mulai berjalan kaki dari sejak subuh sekitar pukul 4 pagi. Tak usah kuatir, karena perjalanan mendaki puncak Kelimutu saat waktu masih subuh sembari diterpa udara yang begitu dingin, akan terbayar seketika tatkala pada akhirnya kita dapat melihat momen pertama kalinya mentari pagi yang muncul dari balik awan sekaligus merasakan hangatnya sinar yang dipancarkan saat menyentuh tubuh kita. Setelah itu, karunia terbesar akan kita dapati dimana sejauh mata memandang, semesta alam danau Kelimutu akan menampakkan wajahnya yang begitu mempesona dengan keajaiban warna-warni alam yang dimilikinya. Bagaikan berada di sebuah nirwana, surga di atas awan yang menjadi penghuni abadi Sang Terang Dunia. Saat itulah yang kita sebut hanya namaNYA dengan ucapan serta seruan syukur yang tak terhingga.
Taman Nasional Kelimutu, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia – 29 Mei 2022
































Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Mencambuk Buai Eksotisme Desa Liang Ndara
Teks & Foto / Text & Photographs: galih sedayu
Gagasan kebudayaan yang berisi norma-norma luhur untuk mengatur kehidupan manusia dalam sekelompok masyarakat, diwariskan secara turun-menurun ke dalam sebuah adat. Adat pun menciptakan masyarakat dan ruangnya tersendiri yang kerap disebut sebagai desa adat. Seperti Liang Dara. Inilah nama desa adat yang terletak di Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. Desa adat ini jaraknya sekitar 20 km dari Kota Labuan Bajo. Adalah Kristoforus Nilson, Ketua Lembaga Budaya desa adat Liang Ndara yang mendirikan kawasan ekowisata ini. Awalnya bersama warga Kampung Cecer, ia mendirikan sebuah sanggar budaya pada tahun 2010 dan kemudian dilanjutkan membangun sebuah kampung wisata yang hingga kini terkenal dengan sebutan Liang Ndara.
Sejauh mata memandang, desa adat Liang Ndara merupakan kawasan hijau nan tradisional dengan udara yang sejuk dan menyegarkan. Apalagi tatkala kabut datang, menambah suasana magis yang sangat menenangkan hati. Sesampainya di sana, kita akan disambut oleh kepala desa adat beserta masyarakatnya yang ramah sembari dikalungi selendang tenun khas daerah Manggarai Barat. Setelah itu kita akan dibawa masuk menuju rumah adat yang terbuat dari kayu dan beratap jerami. Di dalam rumah tersebut kita akan menjumpai para tetua adat yang dengan hangat menyapa dan bercerita dengan menggunakan bahasa Manggarai. Setelah itu ketua desa adat menyerahkan sejumlah uang sebagai simbol perkenalan yang harus kita terima dan kita pun diwajibkan untuk memberikan sejumlah uang kembali secara ikhlas. Perjamuan dilanjutkan dengan makan buah pinang bersama. Buah pinang yang telah selesai dikunyah kemudian disimpan ke dalam sebuah wadah dari bahan bambu. Di akhir perjamuan ditutup dengan mencicipi minuman adat berupa tuak bernama sopi yang disuguhkan di dalam cawan terbuat dari bahan kelapa. Ritual dan tradisi penyambutan dengan minum tuak secara bersama-sama ini disebut Reis. Usai acara perjamuan dari rumah adat, kita akan diajak bergabung di area teras rumah untuk menyaksikan berbagai suguhan tarian adat yang memiliki filosofi berdampingan dengan tata cara hidup masyarakat desa adat Liang Ndara. Dari mulai tarian sirih pinang atau reis meka, tarian caci, akumawo, rangkuk alu hingga tarian sanda. Para penampil himpunan tarian tersebut dilakukan secara berkelompok oleh wanita dan pria warga desa adat secara bergantian.
Diantara berbagai suguhan tarian tersebut, yang sangat menarik perhatian adalah tarian caci. Tarian caci merupakan adu ketangkasan yang dilakukan oleh dua orang pemuda dengan menggunakan cambuk yang dipasang kulit kerbau tipis dan perisai dari kayu, dimana masing-masing akan mencambuk dan menangkis secara bergantian. Nama “Caci” yang digunakan sebagai tarian ini memiliki arti ujian satu lawan satu, yaitu “Ca” yang berarti satu dan “Ci” yang berarti uji. Kostum yang digunakan para penari ini terdiri dari 1) Panggal yang terletak pada bagian kepala, terbuat dari kulit kerbau, dilapisi kain khas adat Manggarai bermotif renda, berbentuk persegi empat, bagian atasnya menyerupai tanduk kerbau yang berhiaskan bulu ekor kambing ; 2) Nggorong atau giring-giring yang terbuat dari logam dan diikatkan pada pinggang pemain untuk menambah kegagahan para pemain karena suaranya yang berbunyi pada saat pemain bergerak ; 3) Lipa Songke atau kain songke Lipa berupa kain sarung berwarna hitam bersulam khas Manggarai (menggunakan benang yang disisipkan di tengah kain tenunan) yang dipakai hanya sebatas lutut dengan kombinasi warna-warni minim yang disebut lipa laco dan kombinasi sulaman yang disebut dengan Jok ; 4) Tubi Rapa berupa perhiasan manik-manik yang digunakan pada wajah bersamaan dengan Destar (pakaian adat laki-laki yang hampir mirip dengan sapu, dipakai dengan cara dililitkan pada kepala dan berfungsi sebagai pelindung wajah) ; 5) Selendang yang diikatkan di pinggang dan merupakan kain tenunan khas Manggarai ; 6) Ndeki yang merupakan aksesoris terbuat dari bulu ekor kambing dan berfungsi sebagai pelindung punggung serta melambangkan kejantanan. Pertunjukan tari Caci dibuka dengan tarian Danding atau Tandak Manggarai. Sebelum beradu, setiap penari pria terlebih dahulu melakukan gerakan pemanasan otot sambil menggerakan badannya bak gerakan kuda. Dengan destar atau ikat kepala dan sarung songket, para pemuda berjejer menari dan menyanyikan lagu daerah yang dinyanyikan dengan lantang untuk menantang lawannya. Dengan lincah dan gemulai penyerang menghentakkan pecutnya ke tubuh lawan sambil melompat tinggi, yang kemudian akan ditahan oleh lawannya dengan menggunakan perisai. Setiap pemain beresiko memiliki bekas sabetan, tapi meski begitu tidak ada dendam antar pemain. Seluruh tarian ini diiringi oleh alunan musik yang wajib dimainkan oleh para wanita masyarakat adat Liang Ndara sebagai simbol kelembutan.
Secara keseluruhan tarian caci merupakan kolaborasi unik antara keindahan gerak tubuh dan pakaian yang digunakan penari (Lomes), Seni Vokal (Bokak), dan ketangkasan mencambuk dan menangkis (Lime). Tarian ini menjadi bentuk ekspresi suka cita masyarakat adat Liang Ndara saat upacara perkawinan (tae kawing) serta acara syukuran (panti) baik itu syukuran menyambut tahun baru, syukuran membuka ladang, syukuran hasil panen, atau syukuran menerima tamu kehormatan. Namun sesungguhnya, makna yang lebih mendalam dari itu semua adalah bahwa tarian ini memiliki filosofi kontemplasi diri serta membawa simbol pertobatan manusia dalam hidup. Untuk itu marilah kita berbagi suka cita dengan berkunjung ke desa adat Liang Ndara yang ada di Kota Labuan Bajo. Menari dan bersorak sorailah bersama masyarakatnya karena kabut yang kelam akan lenyap dan surya yang redup akan kembali bersinar. Lambungkan segala pujian dan syukur bersama mereka agar kita senantiasa belajar perihal memperbaiki kesalahan diri dalam kehidupan sehingga hari esok akan lebih baik dari hari kemarin.
Desa Adat Liang Ndara, Labuan Bajo, Flores, NTT – 27 Mei 2022

























Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Kupang, Cendana Harum Dari Timur
Teks & Foto: galih sedayu
Himpunan imaji mural menyapa saya dengan hangat saat melangkahkan kaki untuk pertama kalinya di Kota Kupang pada suatu pagi yang terik selepas mendarat di Pulau Timor. Goresan visual warna-warni tersebut memenuhi bangunan-bangunan tua peninggalan masa kolonial yang berada di kawasan Pantai Lahi Lai Bissi Kopan (LLBK) Kota Lama, dekat dengan Dermaga Lama Kupang yang kini sudah tidak berfungsi lagi. Area bersejarah ini menjadi saksi bisu serta mewariskan ribuan cerita perihal keharuman Kayu Cendana yang menjadi kemuliaan pulau Timor terutama Kupang. Dimana kota ini dahulu menjadi pusat perdagangan antar pulau dan mulai ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Jawa pada abad ke-15. Karenanya Kota Kupang pun ditetapkan sebagai salah satu Kota Pusaka / Kota Warisan Budaya (Heritage City) di Indonesia pada tahun 2014. Mural ini bagi saya sangat merefleksikan jiwa semangat, identitas budaya, serta energi kreativitas yang dimiliki oleh pulau Timor dan seolah memanggil kita agar dapat berempati & berkolaborasi demi menyalakan kembali cahaya dari timur Indonesia.
Keseokan harinya saya kembali mengikuti mentari pagi yang membentuk wajah & bayang momen kehidupan di sekitar Pantai Kelapa Lima yang berlokasi di tepi Jalan Timor. Kawasan yang merupakan sentra penjualan ikan bagi masyarakat setempat ini rencananya akan dijadikan lokasi pusat kuliner Kota Kupang yang menawarkan berbagai sajian dan hidangan demi memuaskan dahaga lapar haus para wisatawan yang berkunjung ke sana. Ruang-ruang publik yang mencerminkan simbol kearifan lokal dapat terlihat dengan jelas di sana. Dari mulai gazebo berbentuk sasando (alat musik tradisional yang berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur), bangunan pusat kuliner dengan atap jerami yang menjorok ke laut, panggung budaya, hingga jetty atau dermaga untuk pedagang yang menjadi ikon ruang terbuka publik di kawasan tersebut.
Sungguh senang rasanya tatkala ruang-ruang publik seperti ini dapat dirasakan dan dinikmati oleh warga Indonesia di belahan timur. Percikan kreativitas yang dimiliki oleh warga sebuah kota tentunya mendambakan ruang-ruang untuk berekspresi. Sehingga dengan sendirinya nanti akan hadir pasukan semut komunitas yang berkerumun demi mengharumkan kotanya. Kiranya cahaya dari timur senantiasa bersinar terang di Kota Kupang agar menjadi bagi Indonesia keharuman abadi cendana yang sangat melegenda. “Uis Neno Nokan Kit”.
Kupang, 29-30 Maret 2022
***






























Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Sudut Mata Kecil Kota Manchester
Teks & Foto / Text & Photographs : galih sedayu
Konon kota Manchester adalah kota tersukses di Inggris. Salah satu alasannya karena kota ini mampu mendatangkan banyak wisatawan dari belahan negara lain di dunia. Musik, sepak bola, dan fesyen yang dimiliki kota Manshester menjadi daya magnet utama bagi pengunjungnya. Meski jumlah populasi penduduk kota Manchester hanya sekitar 500 ribu jiwa lebih, namun warga kota ini dapat berbicara dalam 153 bahasa yang berbeda-beda. Maka julukan kota berbudaya tinggi pun sangat melekat bagi kota Manchester. Bahkan masyarakat kota Manchester mendapat predikat dan sebutan khas yakni “Mancunian” karena dianggap mewakili semua budaya di dunia. Sayangnya saya hanya sempat bercengkrama dengan kota ini selama satu hari saja. Hanya sebagian sudut kecil kota yang sempat disapa melalui bingkai visual yang saya rekam. Namun kesan megah & artistik yang ditunjukkan oleh kota ini melalui sebagian besar bangunan tua yang tinggi menjulang, kadang memaksa saya untuk terus menengadah ke arah langit. Bagi saya kota ini masih menyimpan sejuta misteri karena waktu perkenalan kami yang sangat singkat. Kiranya suatu saat saya akan kembali lagi ke kota Manchester seraya menguak tabir misteri kota ini yang cahayanya masih tersembunyi dan menunggu untuk dibekukan.
Manchester, 1 September 2019
Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Berlabuh di Pangkuan Kota Liverpool
Teks & Foto / Text & Photographs : galih sedayu
Bagi penggemar Grup Band legendaris The Beatles & penggemar Klub Sepak Bola legendaris Liverpool F.C (Kopites) dan Everton F.C (Evertonians), Liverpool tentunya menjadi nama sebuah kota yang sangat identik dengan keberadaan mereka di dunia musik dan olahraga. Liverpool sendiri merupakan merupakan sebuah kota pelabuhan yang terletak di sebelah tebing timur Muara Sungai Mersey di bagian barat laut Inggris serta merupakan distrik metropolitan di Merseyside, Inggris. Liverpool muncul sebagai sebuah wilayah sejak tahun 1207 dan baru diberikan status sebagai sebuah kota pada tahun 1880. Kapal Titanic yang sangat megah dengan kisah tragedinya yang sangat terkenal itu ternyata menyimpan cerita bahwa sebagian besar kru kapalnya merupakan penduduk asli Kota Liverpool. Penduduk kota Liverpool sering disebut sebagai Liverpudlians dan mendapat julukan “Scousers” yang berasal dari kata “Scouse” yaitu sebuah masakan yang dikukus dan kini dikaitkan dengan logat masyarakat kota Liverpool. Konon warga kota Liverpool dikenal sebagai warga yang paling ramah di dunia dan pernah pula dinobatkan sebagai “kota paling baik di dunia” karena mereka senantiasa menyambut orang lain yang datang ke kotanya dengan sikap yang baik dan penuh toleransi layaknya sebuah kota pelabuhan. Fakta ini saya alami sendiri ketika pertama kali menginjakkan kaki di Kota Liverpool. Saya merasakan secara langsung keramahan serta kehangatan hati warga Kota Liverpool yang berada di stasiun kereta api, restoran dan hotel tempat saya menginap dari cara mereka menyapa, mengobrol dan tersenyum.
Saat berada di Kota Liverpool, saya menginap di sebuah hotel yang berada dekat sekali dengan kawasan wisata yang bernama Albert Dock. Albert Dock adalah sebuah bangunan yang berlokasi di Edward Pavilion Liverpool dan merupakan area komplek dermaga kapal bersejarah. Salah satu fungsi dermaga ini dahulu adalah menghubungkan Liverpool dengan beberapa kota seperti Birmingham dan Leeds. Menurut catatan sejarah, Albert Dock merupakan bangunan pertama di Inggris yang dididirikan tanpa menggunakan kayu namun dengan rangka baja, batu bata dan granit. Albert Dock pertama kali dibuka dan diresmikan oleh Prince Albert, suami Ratu Victoria pada tahun 1846 sekaligus menjadi saksi bisu kejayaan Kota Liverpool sebagai kota maritime terbesar di Inggris. The Beatles Story, museum grup musik legendaris asal Kota Liverpool yang berdiri tahun 1990 ini juga berada di kawasan Albert Dock. Berbagai pernak-pernik The Beatles, replika Cavern Club, Beatles Hidden Gallery, Kacamata John Lennon, Gitar pertama George Harison, dan benda bersejarah The Beatles lainnya berada di obyek wisata ini. Di museum ini kita dapat melihat dan mengetahui perihal sejarah The Beatles dari mulai cerita awal karir mereka manggung, cerita unik dibalik lagu-lagu yang mereka ciptakan, serta cerita kehidupan masing-masing personilnya. Di belakang museum ini terdapat pula Fab4store yakni sebuah toko yang menjual segala macam souvenir yang berhubungan dengan The Beatles seperti kaos, gelas, tas, buku, vinyl, dan lain sebagainya. Dari Albert Dock pula kita dapat melihat “Freij World Attractions” yang bentuknya menyerupai komedi putar raksasa yang tinggi menjulang.
Di Kota Liverpool ini berdiri pula dengan megah sebuah bangunan kuno yang memiliki dua buah menara unik yang bernama Royal Liver Building. Bangunan yang berlokasi di Pier Head Liverpool ini bentuknya sangat klasik namun masih cukup terawat dengan baik. Bangunan tua ini didampingi oleh 2 buah menara setinggi 98 meter yang dilengkapi dengan jam yang diameternya lebih lebar dari jam Big Ben di Kota London. Kedua menara tersebut sama-sama memiliki patung burung Liver Bird yang saling berseberangan arah, dimana patung yang satu menghadap ke arah kota dan patung yang lain menghadap ke arah laut. Liverbird sendiri sebenarnya merupakan hewan mitos yang berbentuk seperti angsa tetapi memiliki sayap seperti burung Phoenix. Menurut cerita warga lokal, konon Kota Liverpool akan hancur dan musnah bila salah satu dari kedua patung burung tersebut terbang dari tempatnya (dan kemudian saya menjadi tersenyum sendiri karena membayangkan patung burung Liverbird yang sedang terbang di angkasa). Saat ini Royal Liver Building yang tingginya mencapai 51 meter tersebut digunakan sebagai kantor perusahaan Royal Liver Assurance sejak tahun 1911. Kemudian di samping bangunan Royal Liver Building, masih di sekitar lokasi Pier Head Liverpool, terdapat patung empat personil The Beatles yakni patung Paul McCartney, George Harrison, Ringo Starr & John Lennon yang sedang berjalan kaki dan menghadap ke laut. Patung dengan berat 1,2 ton ini dibuat dari bahan dasar perunggu oleh pematung terkenal Kota Liverpool yang bernama Andy Edwards.
Bila kita ingin menghabiskan waktu di kawasan perbelanjaan Kota Liverpool, “Liverpool ONE” dapat menjadi salah satu tempat yang layak untuk dikunjungi. Selain tempat nongkrong & gaul bagi anak-anak muda, Liverpool ONE juga menyediakan beberapa ruang yang dapat digunakan sebagai tempat acara dari mulai musik, pameran, karnaval dan lain-lain. Salah satunya adalah Chavasse Park yang berupa taman terbuka hijau dengan suasana yang asri. Taman yang awalnya hanya seluas 1 hektar ini dibangun oleh sebuah keluarga Uskup di Kota Liverpool dan saat ini luasnya menjadi 2,2 hektar. Tak jauh dari kawasan Liverpool ONE ini terdapat pula Williamson Square yang terletak di pusat kota Liverpool. Pada tahun 1745 Williamson Square diposisikan sebagai alun-alun perumahan oleh tuan Williamson. Di kawasan alun-alun ini terdapat sejumlah air mancur yang dapat naik hingga ketinggian empat meter dan pada malam hari diterangi dengan lampu berwarna. Kawasan ini memiliki lapangan yang cukup luas dengan bangunan Liverpool Playhouse yang berdiri di sisi timur lapangan dan bangunan Teater Royal (yang sudah tidak berfungsi sejak tahun 1965) di sisi utara lapangan. Tak jauh dari kawasan ini, kita bisa melihat pula bangunan menara radio tinggi menjulang yang bernama Radio City Tower atau yang disebut juga sebagai St. John’s Beacon. Radio City Tower dengan tinggi 138 meter ini adalah radio dan menara observasi yang dibangun pada tahun 1969 dan dibuka oleh Ratu Elizabeth II. Dari atas menara radio ini, sejauh mata memandang kita dapat melihat pemandangan kota Liverpool bagaikan melalui mata seorang burung yang sedang terbang tinggi di angkasa.
Kota Liverpool memiliki stadion sepak bola yang menjadi kebanggaan warganya. Anfield Stadium. Stadion yang dibangun sejak tahun 1884 ini merupakan salah satu stadion bola tertua di Inggris. Stadion ini berjarak sekitar 3 kilometer dari Stasiun Kereta Liverpool Lime Street. Anfield Stadium sejak lama telah menjadi markas utama legenda klub sepakbola Inggris, Liverpool F.C yang berdiri sejak tahun 1892, meskipun pada awalnya stadion ini adalah markas dari klub sepakbola kota Liverpool lainnya yakni Everton. Anfield Stadium sendiri dirancang oleh seorang Arsitek terkenal yang bernama Archibald Leitchd. Pada saat membangun stadion ini, Sang Arsitek sengaja meletakkan lampu berwarna merah dan putih di setiap sisi stadion yang menjadi keunikannya dan lampu tersebut biasanya dinyalakan pada malam hari. Saat ini Anfield Stadium memiliki empat buah tribun yaitu The Spion Kop, Main Stand, Anfield Road, dan Kenny Dalglish Stand, serta dapat menampung penonton sebanyak 54 ribu lebih.
Tak lengkap rasanya bila kita tidak menyambangi The Cavern Club selagi menyempatkan diri datang ke kota Liverpool. The Cavern Club adalah sebuah bar terkenal di dunia dimana The Beatles pernah tampil demi menghibur penonton sebanyak 292 kali selama kurun waktu tahun 1961 sampai dengan tahun 1963. Brian Epstein, Manajer Band The Beatles, menyaksikan penampilan The Beatles yang kala itu masih beranggotakan John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, Stuart Sutcliffe, dan Pete Best, untuk pertama kalinya manggung pada tanggal 9 November 1961 di The Cavern Club ini. Selain The Beatles, The Cavern Club pernah menghadirkan band dan musisi legendaris lainnya seperti The Rolling Stones, Queen, The Who, Stevie Wonder, Eric Clapton, Jimi Hendrix, Elton John, dan lain sebagainya. Dan itu dibuktikan dengan dibuatnya sebuah “Wall of Fame” yang memuat nama-nama tokoh musik kenamaan tersebut. The Cavern Club lokasinya berada di pusat kawasan perbelanjaan yang bernama Cavern Walks Shopping Centre tepatnya di 10 Mathew Street. Bangunannya sangat tua dan ditandai dengan lampu neon merah yang menyala terang dan bertuliskan nama bar “The Cavern Club” di depan pintu masuk. Tak jauh dari bar tersebut, kita bisa melihat patung perunggu John Lennon sang vokalis The Beatles yang tengah menyandarkan diri di sebuah pilar bangunan. Kemudian di sekitar sana terdapat satu patung perempuan yakni patung Eleanor Rigby salah satu karakter fiksi yang dijadikan salah satu judul lagu The Beatles. Eleanor Rigby adalah seorang wanita yang hidup pada tahun 1800-an di Woolton, sebuah kota yang tak begitu jauh dari Liverpool. Setelah Eleanor Rigby meninggal, jenazahnya dikuburkan di sebuah area gereja tempat John Lennon dan Paul McCartney sering bertemu untuk mencari inspirasi dalam membuat lagu. Barangkali hamper semua artefak dan cerita The Beatles dapat kita temui di kawasan Mathew Street ini. Tak heran saat ini Mathew Street dikukuhkan sebagai “The Bithplace of Beatles” dan menjadi surga bagi penggemar The Beatles dari seluruh penjuru dunia.
Bagi saya Liverpool adalah sebuah kota yang kuat dengan ribuan temboknya yang tak bosan bercerita. Dengan segenap jiwa, saya senantiasa bergairah demi mencari pagi sembari merekam momen cahaya serta memeluk malam sembari meneguk segelas bir di kota ini. Kota ini sungguh menyediakan damai bagi yang berkenan menghirup udaranya setiap saat. Kota ini bagaikan seorang kekasih hati yang layak untuk dikejar sepanjang masa. Sebab itulah, memori kota ini akan selalu saya simpan baik-baik agar selalu menjadi bingkai abadi yang dipaku pada dinding kehidupan dan kiranya tak kan pernah sirna untuk dikenang kembali.
Liverpool, 1-5 September 2019
Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Menjala Cahaya Kota London
Teks & Foto / Text & Photographs : galih sedayu
Sejauh mata memandang serta ditemani oleh kaki yang berjalan menapaki sebagian sudut ruang Kota London, sedekat ini pula hati senantiasa terhibur karena segala pesona yang dihadirkan di sana. Setiap detik sesaat kamera akan menangkap cahaya, jantung pun serasa berdegup kencang seolah tengah menanti kekasih pujaan yang lama tak bersua dalam adegan keseharian melalui tubuh kota ini.
London yang merupakan ibu kota inggris dan britania raya ini memang layak dijuluki sebagai kota kreatif dunia. Kota tua yang yang telah menjadi pemukiman utama selama dua milenium sejak didirikan oleh Romawi pada abad ke-1 dengan sebutan Londinium, kini menjelma menjadi pusat pendidikan terbesar di eropa yang memiliki lebih dari 40 universitas. Kota megah yang berdiri kokoh di sepanjang Sungai Thames ini memiliki keunggulan kelas dunia di berbagai bidang diantaranya kesenian, bisnis, hiburan, kesehatan, mode, pariwisata, transportasi, dan media.
Jaringan kereta api bawah tanah (underground) yang dimiliki Kota London merupakan jejak peninggalan yang tertua di dunia. Rumah penduduk zaman Victoria yang masih ditinggali pun tersebar di berbagai belahan Kota London. Belum lagi berbagai bangunan sejarah yang dengan indahnya menghiasi kota, turut menciptakan karakter Kota London sebagai Kota Heritage Dunia.
Sebagai orang yang baru pertama kali menghirup udara di Kota London, kesan modern dan kuno bercampur aduk menjadi satu dalam kasat mata awam. Pemandangan di depan Buckingham Palace penuh dengan turis-turis dari berbagai negara yang ingin menyaksikan istana megah yang dihuni oleh Ratu Inggris Elizabeth beserta atraksi Penjaga Ratu (Queen’s Guard). Tentara inggris yang mengenakan seragam berwarna merah menyala, celana panjang hitam dengan topi hitam besar yang ditutupi dengan kulit beruang asli ini, menjadi penjaga istana dengan berdiri tegak sambil sesekali berjalan dengan gerakan berbaris di depan pintu istana.
Kota London juga memiliki situs warisan dunia yang bernama Tower Bridge dengan ukuran panjang 244 m dan tinggi 65 m. Jembatan dengan gaya arsitektur khas Victoria ini menjadi salah satu ikon Kota London yang menopang sebuah jalan raya yang melintasi Sungai Thames. Setiap tahunnya lebih dari 600.000 orang dari seluruh penjuru dunia datang mengunjungi lambang kemegahan Kota London tersebut.
Selain itu Kota London masih menyimpan berbagai destinasi wisata yang sangat menarik. Sebut saja dari mulai British Museum, museum terbesar di dunia yang menyimpan barang-barang artefak dari seluruh penjuru dunia ; Trafalgar Square, alun-alun terbesar dan terkenal di London ; Camden Market, kawasan belanja dengan harga barang yang murah ; China Town, pusat kuliner Cina & Asia ; St. Anne’s Churchyard, sebuah taman untuk umum yang disebut juga St. Anne’s Gardens ; hingga Stamford Bridge, markas besar klub sepakbola Chelsea.
Ingin sekali rasanya berdansa lebih lama bersama waktu di sana. Sembari mensyukuri betapa agung karya ciptaan-Nya. Langit, buana semesta, beserta udara yang kuhirup bersama mentari. Terima kasih kepada cahaya yang telah menuntunku ke sana. Kiranya ada masa yang akan membawaku kembali dalam ribuan kenangan itu.
London – England, 30-31 August & 7 September 2019
Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.