Pangkal Pesona Leluhur Desa Wologai
Teks & Foto / Text & Photographs: galih sedayu
Mencermati permasalahan kehidupan kota di masa seperti ini, sangat mudah rasanya untuk meromantisasi apa yang kita bayangkan apabila menjalani kehidupan di sebuah desa tradisional. Karena pada umumnya kehidupan penduduk desa tradisional didorong oleh pertimbangan kelangsungan hidup pribadi dan keluarga meski tetap tunduk dalam sebuah aturan adat. Di sanalah komunitas menjadi metode keberadaan bagi masyarakatnya, bukan cita-cita yang memperkaya sekelompok orang. Desa tradisional memiliki nilai dan keunikannya masing-masing sesuai dengan lingkungan geografis, sumber daya alam, serta warisan budaya yang berbeda-beda.
Desa Wologai adalah sebuah desa adat yang menjadi salah satu destinasi wisata di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Desa Wologai hingga kini tetap mempertahankan nilai-nilai adat dan tradisional leluhurnya. Desa adat yang telah berusia sekitar 800 tahun ini berada di Desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, sekitar 43 km dari Kota Ende. Sebelum memasuki kawasan ini, di bagian depan sebelah kanan pintu masuk kita akan menemukan sebuah pohon beringin besar yang menurut masyarakat adat ditanam oleh leluhur mereka sebagai penanda waktu awal pendirian sekaligus batas Desa Adat Wologai yang memiliki luas sekitar satu hektar. Arsitektur bangunan Desa Wologai menyerupai kerucut dengan titik pusatnya yang berada di sebuah bangunan batu tinggi bernama Tubu Kanga. Dimana masyarakat setempat mempercayai bahwa Tubu Tanga tersebut merupakan kubur batu leluhurnya sehingga tidak boleh sembarang orang naik kecuali pada saat upacara adat. Batu ceper yang terdapat di tengah Tubu Tanga digunakan serupa altar untuk meletakkan persembahan bagi Sang Leluhur.
Bentuk rumah-rumah adat di Desa Wologai sangatlah dengan unik. Sekilas bentuk rumah-rumah mereka sama, yaitu bangunan berbentuk panggung dan berdiri di atas pondasi batu pipih dengan atap menjulang. Namun ternyata setelah menatapnya dari dekat, bangunan rumah adat tersebut satu sama lain memiliki perbedaan yang jelas, bahkan memiliki nama-nama yang berbeda setiap rumahnya. Ada rumah adat yang bernama Saopanggo, Attawolo, Saolabo, Lewabewa, Analamba, dan lain sebagainya. Menurut mosalaki ria bewa atau juru bicara para tetua adat, Desa Wologai ini memuat 18 rumah adat, 5 rumah suku, dan satu rumah besar. Bentuk rumah adat yang menjulang memiliki filosofi yang berhubungan dengan kewibawaan para ketua adat yang di dalam struktur adat dianggap dan dipandang lebih tinggi dari masyarakat adat biasa. Bagian kolong rumah (lewu) dahulunya difungsikan untuk memelihara ternak seperti babi dan ayam. Ruang tengah digunakan sebagai tempat tinggal, sedangkan loteng digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang yang akan diperlukan pada saat ritual adat. Pada setiap dinding kayu luar rumah adat tersebut terdapat berbagai ukiran yang mengisahkan keseharian masyarakat adat seperti bertani, hingga ukiran hewan-hewan yang akrab dalam kehidupan masyarakat setempat. Rumah suku berada di lingkar terluar dari Tubu Tanga dan digunakan sebagai tempat penyimpanan benda pusaka atau peninggalan milik suku. Sedangkan rumah besar hanya ditempati saat berlangsung ritual adat.
Untuk membangun rumah adat tidak boleh dilakukan sembarang. Satu rumah hunian tersebut akan menghabiskan satu pohon besar di hutan dengan kayu jenis ampupu serta genting ijuk yang berasal dari pohon enau atau moke. Sebelum membangun wajib didahului dengan ritual adat Naka Wisu yaitu aturan memotong pohon di hutan untuk digunakan sebagai tiang penyangga rumah. Ritualnya harus dilakukan pukul 12 malam, dengan terlebih dahulu menyembelih seekor ayam sebagai kurban. Masyarakat Dewa Wologai masih mempertahankan bentuk kampung adat karena tunduk dan taat pada perintah leluhur yang berpesan untuk selalu menjaga tradisi yang telah dilakukan secara turun-temurun. Musibah kebakaran pernah melanda Desa Wologai pada tanggal 9 Oktober 2012 yang menghanguskan sebanyak 20 rumah adat.
Dalam setahun di Desa Wologai terdapat dua ritual besar yakni panen padi, jagung dan kacang-kacangan (Keti Uta) yang digelar pada bulan April, dan tumbuk padi (Ta’u Nggua) yang digelar pada bulan September. Puncak ritual Ta’u Nggu’a adalah Pire dimana selama 7 hari masyarakat tidak boleh menjalankan aktivitas hariannya. Selama masa ini seluruh masyarakat adat Wologai dilarang melakukan aktivitas pekerjaan seperti bertani, mengiris tuak dari pohon enau dan lain sebagainya. Setelah melewati berbagai upacara, maka masyarakat adat Desa Wologai akan menggelar ritual Gawi atau menari bersama di atas pelataran mengelilingi Tubu Kanga sebagai simbol mengucap syukur dalam kegembiraan dan kebersamaan.
Melihat warisan sosial dan kultural yang masih dipertahankan serta dilestarikan di Desa Wologai, tentunya dapat menjadi pembelajaran abadi bagi kita semua bahwa sesungguhnya tatanan hidup yang seimbang akan menjadikan manusia yang lebih bijak dalam laku keseharian. Sebentuk surga di bumi yang penuh kemuliaan dengan komunitas sebagai pengawal setianya. Tak tergerus oleh industri yang mengatasnamakan kemajuan jaman, tak terkikis oleh dunia yang menawarkan kesenjangan. Hanya ada satu kehidupan yang harmoni dan selaras antara manusia, alam dan Sang Semesta.
Desa Adat Wologai, Flores, NTT – 29 Mei 2022









































Copyright (c) by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Leave a Reply