Sel Nomor 5 Penjara Banceuy
Teks & Foto : galih sedayu
“Jadikanlah deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa”.
– Bung Karno –
Sunyi, sepi & sendiri. Barangkali rasa itulah yang dialami oleh seorang Bung Karno tatkala ia mendekam di sebuah penjara banceuy kota bandung sekitar 84 tahun yang silam. Tepatnya di bulan desember tahun 1929, Ir. Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia ini terpaksa meringkuk di sebuah sel kecil dengan nomor 5 yang hanya berukuran 2,5 x 1,5 meter. Atas tuduhan melakukan kegiatan subversif dan pergerakan nasional yang membuat ketar ketir pemerintahan Hindia Belanda kala itu, Bung Karno pun dengan tegar menjalani penderitaannya.
Selama kurun waktu 8 bulan, Bung Karno bersama ketiga rekannya yakni Gatot Mangkoepradja yang seorang guru, Maskun Somadiredja yang seorang administratur harian Banteng Priangan, dan Supriadinata yang seorang anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang bandung, menjadi penghuni ruangan sempit dan kotor serta dikenakan jerat hukum yang terkenal dengan nama pasal-pasal karet atau Haazai Artikelen.
Namun ternyata dari sel yang gelap ini justru kelak melahirkan sebuah catatan terang bagi noktah sejarah bangsa indonesia, karena dari sinilah Bung Karno mulai menyalakan lilin terang yakni pidato pembelaan (pleidoi) yang terkenal dengan sebutan “Indonesia Menggugat” (Indonesie Klaagt Aan). Pleidoi ini dibacakan dengan lantang oleh Bung Karno pada saat sidang Pengadilan Hindia Belanda di Gedung Landraad dimana kini namanya menjadi Gedung Indonesia Menggugat (GIM) yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan No.5 Bandung.
Akhirnya sejarah pun mencatat bahwa setelah beberapa kali sidang, pada tanggal 22 Desember 1930, Bung Karno bersama ketiga rekannya dijatuhi hukuman penjara. Saat itu Tokoh Nasionalis tersebut divonis 4 tahun penjara. Setelah hakim mengetuk palu sebagai simbol putusan pengadilan, maka Bung Karno bersama para sahabatnya dijebloskan ke Penjara Sukamiskin di Jalan A.H.Nasution, sebuah penjara yang ironisnya dirancang oleh Bung Karno sendiri ketika ia masih bekerja di biro arsitek milik gurunya yaitu Prof. C.P. Wolff Schoemaker. Atas dasar cerita itulah kini bekas Penjara Banceuy tersebut menjadi monumen yang dibangun untuk mengenang keberadaan Bung Karno.
Bekas Penjara Banceuy ini terletak sekitar 100 meter dari sebelah utara alun-alun kota bandung yang dikelilingi oleh Jalan Banceuy di sebelah barat, Jalan ABC di sebelah utara, dan Jalan Belakang Factory di sebelah selatan. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Penjara Banceuy yang dulu bernama Bantjeujweg ini adalah sebuah penjara yang digunakan untuk menahan para pribumi yang melakukan tindakan kriminal dan menjadi tahanan politik.
Bangunan penjara ini didirikan pada akhir abad ke-19 tepatnya pada tahun 1871. Kemudian pada tahun 1985, bangunan penjara ini dibongkar mengingat kondisinya yang sudah rapuh karena sudah menginjak usia seratus tahun lebih. Penjara Banceuy yang baru kini berada di Jalan Soekarno Hatta. Bekas Penjara Banceuy ini lalu dijadikan kawasan pertokoan yang bernama Banceuy Permai. Sebagai penanda bahwa kawasan itu dulunya adalah bekas penjara, maka hanya disisakan dua unit bagian dari penjara tersebut. Yang pertama adalah menara pengawas sebelah timur yang terletak di Jalan ABC yang mengarah ke Jalan Naripan dan Jalan Cikapundung. Yang kedua adalah bekas Sel No. 5 yang pernah dihuni oleh Bung Karno, sekitar 200 meter dari menara pengawas tersebut.
Saat ini kita dapat melihat berbagai artefak sejarah dan sejuta memori yang tersisa dari sel kecil bernomor 5 tersebut. Di dalam sel tersebut terpasang sebuah bingkai yang bertuliskan kalimat yang pernah diujarkan oleh Bung Karno yaitu “Koe korbankan Dirikoe di Penjara ini Demi Bangsa dan Negaraku Indonesia. Ada pula bendera merah putih yang menutupi salah satu sudut ruang kecil sel tersebut. Kemudian dua buah foto Bung Karno ikut melekat pada salah satu sudut dinding sel itu tepat di bawah ukiran Burung Garuda dengan teks Pancasilanya. Tembok sel dengan warna cat hijau pun masih tetap dibiarkan sama seperti yang dulu. Pintu sel dari bahan besi baja berwarna hitam yang diberi celah untuk melihat berserta kunci-kuncinya pun tampak masih kokoh menyangga. Lalu bekas kamar mandi Bung Karno yang terletak di luar sel tersebut dijadikan sebuah tugu batu.
Barangkali sel ini lah yang semestinya dapat menjadi simbol sebuah kesadaran dan kebangkitan bagi kita semua. Bahwa sesungguhnya kita tidak diajarkan untuk mencintai yang jahat lebih dari pada yang baik. Dan mencintai yang dusta lebih dari pada perkataan yang benar. Meski jaring-jaring yang terpasang di dalam setiap langkah kita, meski sumpal-sumpal yang menutup mulut kita, meski tembok dan besi yang mengurung diri kita, namun kita harus percaya bahwa mereka tidak akan bisa menaklukkan jiwa kita. Jiwa-jiwa yang mematahkan busur panah, yang menumpulkan tombak dan yang membakar kereta-kereta perang dengan api. Sebuah jiwa yang merdeka.
Bandung, 25 Juli 2013
copyright (c) 2013 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Leave a Reply