Metamorfosa Citra Negeri Indonesia
Teks : galih sedayu
Kehadiran fotografi dalam konteks historis akan selalu mengisahkan sejumlah tokoh yang telah berjasa merekam berbagai citraan tentang Negeri Indonesia. Dimulai pada tahun 1840 (setahun setelah fotografi ditemukan di Perancis tahun 1839 oleh Louis Jaques Mande Daquerre) yaitu ketika seorang petugas kesehatan yang bernama Jurrian Munnich membawa fotografi untuk pertama kalinya ke Tanah Air. Munnich diutus oleh Kementrian Urusan Wilayah Jajahan Belanda untuk memotret citra Indonesia di daerah Jawa Tengah. Sejarah pun mencatat citra Indonesia yaitu Kali Madioen menjadi salah satu karya Munnich yang dianggap paling sukses pada saat itu (meski foto yang dibuatnya sangat kabur). Setelah itu penugasan diteruskan kepada Adolph Schaefer yang tiba di Batavia pada tahun 1844. Schaefer pun berhasil memotret beberapa citra Indonesia seperti foto patung Hindu-Jawa dan foto Candi Borobudur. Lalu kedatangan dua bersaudara kebangsaan Inggris yang bernama Albert Walter Woodbury dan James Page ke Tanah Air pada tahun 1857 menjadi penanda dimulainya sejarah pendokumentasian citra Negeri Indonesia secara lengkap. Foto kenang-kenangan (carte de-visite) hasil rekaman Woodbury & Page seperti upacara-upacara tradisional, suku-suku pedalaman dan bangunan-bangunan kuno di Indonesia sangat digemari oleh para pelancong dari Eropa pada masa itu.
Ketertarikan akan citra alam Indonesia makin mengilhami masyarakat dunia untuk datang ke Tanah Air kita terutama setelah terbitnya novel Max Havelaar karya Multatuli pada tahun 1860. Sebut saja nama tokoh Franz Wilhem Junghun yang membuat foto-foto tentang tanaman Indonesia dan Isidore van Kinsbergen yang memotret seluruh benda kuno yang ada di Indonesia. Berbicara tentang fotografer pribumi pertama yang merekam citra Negeri Indonesia, tidak bisa lepas dari keberadaan seorang tokoh yang bernama Kassian Cephas. Sejak Cephas ditunjuk oleh Sultan Hamengkubuwono VII sebagai fotografer resmi keraton Yogjakarta, citra Negeri Indonesia yang eksotis seumpama tarian tradisional, upacara grebeg, situs-situs Hindu-Jawa kuno dan Candi Borobudur di Jawa Tengah pun menjadi jejak karyanya yang tak terlupakan. Hingga kini berjuta citraan dan imaji tentang Indonesia pun telah banyak menghiasi buku-buku yang diterbitkan di seantero jagat. Meskipun sangat ironis ketika kita sadar benar bahwa hampir semua foto-foto tentang citra Indonesia yang dibukukan dibuat oleh fotografer-fotografer asing.
Indonesia365 : “Negeri Merona Insan Mencitra”. Adalah sebuah program Pameran Fotografi yang digagas oleh sekelompok mahasiswa/i kreatif asal Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung bernama Arsitektur Foto (AF). Program ini merupakan salah satu rangkaian dari “Fotografi Untuk Bandung 200 Tahun”. Dengan Pameran Foto ini diharapkan agar citra fotografi dapat membantu untuk menyampaikan pesan dan membuka cakrawala Insan Indonesia tentang kecintaan terhadap Negeri. Sekitar 40 buah karya foto ditampilkan dalam Pameran Foto yang berlangsung dari tanggal 4 s/d 9 Desember 2009 di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Bandung. Karya foto yang dipamerkan pun dipilih berdasarkan dari dua buah proses kreatif, yaitu hasil sebuah penjurian (kompetisi fotografi) dan hasil sebuah kurasi foto.
Pameran Foto ini sebenarnya dapat merupakan sebuah pertanyaan besar tentang kekinian citra alam indonesia yang selalu memikat sekaligus menjadi misteri bagi bangsa kita. Dimana esensi fotografi yang merupakan sebuah cara melihat (the way of seeing) dari masing-masing individu dapat menjadi sebuah medium kontemplatif untuk menangkap citra alam Indonesia kini. Tentunya masing-masing pemotret memiliki genre fotografi tersendiri untuk membaca dan memaknai citra keindahan alam Indonesia dalam sebuah tema besar yang diusung oleh kawan-kawan Arsitektur Foto yaitu “Negeri Merona Insan Mencitra”. Dalam hal ini sudah semestinya kita perlu mengubah paradigma lama bahwa foto yang indah itu hanya mengacu kepada tampilan visual belaka. Saat ini perlu dibangun sebuah kesadaran kolektif bahwa pemaknaan karya foto yang indah dapat mengacu kepada sebuah isu, bobot dan kedalaman tertentu. Bahwasanya keindahan yang bermakna tersebut dapat memiliki sifat convulsive serta mampu mendobrak citraan klise ataupun citraan stereotipikal. Sehingga perspektif kita seolah-olah digiring untuk mampu melihat sebuah gambar maupun peristiwa sebagaimana kita membaca sebuah tanda. Dimana tanda tersebut terdiri dari Penanda, yakni obyek yang dilihat dan Petanda, yakni maknanya. Intinya adalah bagaimana secara cerdas kita dapat menyajikan kebaruan visual dan menjadi otonom melalui karya fotografi. Entah itu melalui berbagai simbolik dan konfigurasi yang menjadi bagian dari opini visual pemotret dalam proses merekam sebuah citra.
Susan Sontag pernah menulis kalimat ini dalam buku essay yang berjudul On Photography. “Nobody ever discovered ugliness through photographs. But many, through photographs, have discovered beauty”. Semoga suguhan Pameran Foto dengan sensibilitas visual yang dimiliki oleh masing-masing pemotret ini dapat menyiratkan segala yang indah tentang alam indonesia. Dengan harapan agar fotografi senantiasa hadir untuk terus dan terus menciptakan jejak bagi Negeri Indonesia yang kita cintai bersama. Atas nama peradaban cahaya. Dan keindahan. Dan kecintaan.
*Tulisan ini diberikan sebagai Kata Pengantar Pameran Foto “Negeri Merona Insan Mencitra” yang diadakan oleh Arsitektur Foto Universitas Katolik Parahyangan di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) pada tanggal 4 s/d 9 Desember 2009.
Bandung, 17 November 2009
Written by Admin
January 24, 2010 at 6:26 am
Posted in Metamorfosa Citra Negeri Indonesia, MY WRITTINGS
Tagged with galih sedayu, Sejarah Fotografi Indonesia
Leave a Reply