I'LL FOLLOW THE SUN

Love, Light, Live by galih sedayu

Posts Tagged ‘industri kreatif

Warta, Daya & Harapan Ekonomi Kreatif

leave a comment »

Teks oleh galih sedayu

Buah dari sebuah pohon kebudayaan masyarakat tentunya akan menghasilkan peradaban. Peradaban ini tentunya selalu bergerak, berubah dan mengalir mengikuti siraman perkembangan jaman. Gelombang peradaban umat manusia sangatlah erat relevansinya dengan kehidupan ekonomi itu sendiri. Dunia yang sejak dulu kala dihuni oleh umat manusia ini telah mengalami berbagai gelombang ekonomi. Dari mulai era Ekonomi Pertanian yang mewakili gelombang pertama, era Ekonomi Industri yang mewakili gelombang kedua, era Ekonomi Informasi yang mewakili gelombang ketiga, hingga hadirnya era Ekonomi Kreatif yang saat ini dipercaya sebagai salah satu harapan baru bagi masyarakat dunia termasuk Indonesia. Orbit ekonomi kreatif inilah yang memberi sinyal penting perihal arah pembangunan bangsa Indonesia ke depan.

Sesungguhnya, asal mula konsep ekonomi kreatif tersebut masih perlu dilacak secara runut. Salah satunya ada yang menyebutkan bahwa konsep ini muncul pertama kali oleh John Howkins, seorang pembuat film berkebangsaan Inggris yang juga menggeluti bisnis dan karir di bidang pertelevisian, media digital dan penerbitan. Pada tahun 2001, ia menulis dan menerbitkan buku yang berjudul “Creative Economy, How People Make Money from Ideas”. Dalam bukunya tersebut, ia mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas, budaya, warisan budaya dan lingkungan sebagai tumpuan masa depan.

Setelah konsep ekonomi kreatif yang disabdakan oleh John Howkins, kemudian muncul konsep ekonomi kreatif yang dicetus oleh seorang ekonom asal Amerika yang bernama Richard Florida. Ia mengulas perihal ekonomi kreatif melalui buku-bukunya yang berjudul “The Rise of Creative Class” (2002), “Cities and the Creative Class” (2005), dan “The Flight of the Creative Class” (2005). Dalam bukunya Florida menyebutkan bahwa, “Seluruh umat manusia adalah kreatif, apakah ia seorang pekerja di pabrik kacamata, atau seorang remaja di gang senggol yang sedang membuat musik hiphop. Namun, perbedaannya adalah pada statusnya, karena ada individu-individu yang secara khusus bergerak di bidang kreatif (dan mendapat faedah ekonomi secara langsung dari aktivitas itu). Tempat-tempat dan kota-kota yang mampu menciptakan produk-produk baru yang inovatif tercepat akan menjadi pemenang kompetisi di era ekonomi ini”.

Gagasan & pemikiran perihal ekonomi kreatif pun dituangkan oleh Daniel L. Pink, seorang penulis asal amerika, ke dalam bukunya yang berjudul “A Whole New Mind, Why Right Brainers Will Rule the Future”. Ia mengatakan bahwa dalam era ekonomi kreatif, ada beberapa prinsip yang harus dimiliki sehubungan dengan pola pikir kreatif. “Not just function but also design, not just argument but also story, not just focus but also symphony, not just logic but also empathy, not just seriousness but also play, not just accumulation but also meaning”. Prinsip-prinsip design, story, symphony, empathy, play dan meaning inilah yang sering disebut dengan istilah “The Six Senses”.

Di Indonesia sendiri, isu ekonomi kreatif telah muncul di Jawa Barat sejak tahun 2005, dalam beberapa diskusi komunitas di kota Bandung. Lalu isu ekonomi kreatif ini menguat setelah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam pidato pembukaan INACRAFT 2005, menyatakan pentingnya pengembangan industri kerajinan dan kreativitas bangsa dalam rangka pengembangan ekonomi yang berdaya saing. Setelah itu, Kementrian Perdagangan melahirkan Indonesia Design Power yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan desain dan penciptaan merek di Indonesia. Kemudian sekitar tahun 2006, konsep ekonomi kreatif ini mulai diperkenalkan kepada pemerintah Provinsi Jawa Barat. Lalu pada tahun 2007, Bandung dinobatkan menjadi kota percontohan bagi pengembangan ekonomi kreatif di indonesia oleh British Council. Di tahun yang sama pula, pemerintah menyelenggarakan pameran khusus produk budaya Indonesia yakni Pekan Produk Budaya Indonesia (PPBI). Pada akhir tahun 2008, lahirlah sebuah perkumpulan independen pertama di indonesia yang mengusung semangat ekonomi kreatif bernama Bandung Creative City Forum (BCCF). Pada tahun 2009, Kementrian Perdagangan di bawah kepemimpinan Mari Elka Pangestu menyusun cetak biru pengembangan ekonomi kreatif Indonesia tahun 2009-2015. Kemudian diikuti oleh salah satu bentuk kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam era kepemimpinan SBY, untuk mendukung pengembangan ekonomi kreatif, dengan keluarnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009. Pada waktu yang bersamaan, tahun 2009 dicanangkan pula sebagai tahun Indonesia Kreatif. Tepatnya pada tanggal 21 Desember 2011, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pun lahir yang dikomandani oleh Mari Elka Pangestu. Keputusan ini dibuat berdasarkan Perpres Nomor 92 Tahun 2011 sebagai lembaga pemerintah yang menggerakkan dan melakukan koordinasi dengan sektor lainnya dalam mengembangkan ekonomi kreatif di Indonesia. Kementrian ini diperkuat oleh dua Direktorat Jenderal yang secara khusus menangani pengembangan ekonomi kreatif Indonesia, yakni Direktorat Jendral Ekonomi Kreatif Berbasis Seni & Budaya dan Direktorat Jendral Ekonomi Kreatif Berbasis Media, Desain & Iptek. Di Jawa Barat sendiri, melalui surat keputusan Gubernur Jabar pada tahun 2012, dibentuklah Komite Pengembangan Ekonomi Kreatif Jawa Barat.

Menurut peraturan menteri pariwisata dan ekonomi kreatif itu sendiri, definisi perihal ekonomi kreatif itu adalah kegiatan ekonomi yang berbasis kepada kreativitas intelektual manusia, baik individu maupun kelompok, yang bernilai ekonomi dan berpengaruh kepada kesejahteraan masyarakat indonesia dan dapat dilindungi melalui rezim HKI. Secara sederhana, ekonomi kreatif bisa diartikan sebagai sebuah model interdisiplin yang menggabungkan berbagai potensi kebudayaan, teknologi dan ekonomi dengan sasaran berupa peningkatan kesejahteraan perekonomian, peningkatan keterlibatan sosial dan promosi identitas kultural. Sesungguhnya, kontribusi industri kreatif dalam dalam perekonomian Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2010 nilai Produk Domestik Bruto (PDB) ekonomi kreatif mencapai 185 triliun rupiah. Kemudian pada tahun 2013, nilai PDB ekonomi kreatif Indonesia mencapai 215 triliun rupiah. Tercatat pula jumlah industri kreatif pada tahun 2013 sebesar 5,4 juta usaha yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 12 juta orang.

Didasari atas perlunya pemerintah melakukan sinergi dan koordinasi dengan seluruh pelaku ekonomi kreatif di indonesia sekaligus memetakan ekosistem, maka pada pertengahan tahun 2014 dilakukanlah rangkaian FGD subsektor industri kreatif di bidang periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fesyen, video, film, permainan interaktif, musik, seni pertunjukkan, penerbitan & percetakan, layanan komputer & piranti lunak, televisi, radio, riset & pengembangan serta kuliner sebagai bahan untuk menyusun buku cetak biru pengembangan ekonomi kreatif. Tujuan FGD ini adalah merumuskan kerangka strategis pengembangan subsektor industri kreatif yang meliputi visi, misi, tujuan, sasaran, indikator, target, arah kebijakan, strategi dan tahapan pembangunan, serta merumuskan kerangka kerja pengembangan subsektor industri kreatif yang meliputi indikasi program dan kegiatan pengembangan subsektor industri kreatif.

Puncaknya di penghujung tahun 2014, Kementrian Pariwisata & Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah berhasil menyusun sebuah rencana induk yang dapat memberikan arah pengembangan ekonomi kreatif Indonesia yang sesuai dengan arah pembangunan nasional jangka panjang (UU Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional atau RPJP Tahun 2005-2025). Buku cetak biru atau buku rencana induk pengembangan ekonomi kreatif jangka panjang ini bertajuk “Ekonomi Kreatif : Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025”. Buku ini sesungguhnya merupakan penyempurnaan dari Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2025 yang telah diluncurkan oleh Kementrian Perdagangan pada tahun 2009. Buku cetak biru yang telah diperbaharui ini diluncurkan pada hari Selasa tanggal 14 Oktober 2014 bertempat di Teater Besar, Gedung Teater Jakarta, Komplek Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya No.73, Jakarta. Peluncuran buku cetak biru ini bertepatan pula dengan Kegiatan “Salam Kreatif” yakni sebuah persembahan untuk insan kreatif sebagai perayaan era ekonomi kreatif di Indonesia.

Di dalam buku cetak biru ini dituangkan beberapa hal mengenai arah pengembangan ekonomi kreatif Indonesia. Pertama, pengembangan subsektor ekonomi kreatif saat ini dan di masa mendatang difokuskan pada pengembangan lima belas kelompok industri kreatif. Dimana ada penambahan sektor kuliner, dibanding empat belas kelompok industri kreatif yang difokuskan untuk dikembangkan pada tahun 2009. Kelima belas subsektor ini meliputi : (1) arsitektur; (2) desain; (3) film,video & fotografi; (4) kuliner; (5) kerajinan; (6) mode; (7) musik; (8) penerbitan; (9) permainan interaktif; (10) periklanan; (11) penelitian & pengembangan; (12) seni rupa; (13) seni pertunjukkan; (14) teknologi informasi; (15) televisi & radio. Kedua, pengembangan ekonomi kreatif hingga tahun 2025 tidak hanya fokus pada pengembangan 15 subsektor ekonomi kreatif tetapi juga diarahkan pada pengarusutamaan ekonomi kreatif di setiap sektor prioritas pembangunan nasional. Ketiga, ada 4 prinsip utama yang menjadi landasan dalam pengembangan ekonomi kreatif yaitu penguasaan ilmu pengetahuan & teknologi, “design thinking”, pelestarian seni & budaya, serta pemanfaatan media. Keempat, dalam pengembangan ekonomi kreatif, ada perubahan model triple-helix menjadi quad-helix dalam kaitannya dengan sinergi dan kemitraan antar para pelaku ekonomi kreatif. Model triple-helix menjabarkan sinergi dan kemitraan dalam pengembangan ekonomi kreatif tersebut terjadi antara tiga aktor utama yaitu pemerintah, swasta dan intelektual. Sementara model quad-helix menjabarkan sinergi dan kemitraan dalam pengembangan ekonomi kreatif tersebut terjadi antara empat aktor utama yaitu pemerintah, swasta, intelektual, dan komunitas. Sebenarnya menurut catatan yang ada, dari bandunglah kemudian gagasan perihal sinergitas masyarakat kreatif yang mengacu kepada teori kebijakan berbasis inovasi triple-helix yang dipopulerkan oleh Etzkowitz & Leydersdorff yakni Academic, Business & Goverment (ABG), kini menjadi berkembang. Unsur komunitas menurut para pegiat kreatif di Kota Bandung memiliki peran yang sangat penting. Akhirnya saat ini pemerintah menggunakan teori quadro-helix atau quad-helix, yakni Academic, Business, Government plus Community (ABGC). Nyatanya tambahan unsur komunitas sebagai pelaku kreatif menjadi pemantik perubahan dalam perkembangan ekonomi kreatif itu sendiri. Dari sana pula sejatinya muncul ruang ilmu pengetahuan (knowledge space), ruang konsensus (consensus space), ruang inovasi (innovation space) yang pada akhirnya akan membentuk ruang kreatif (creative space) itu sendiri.

Kemudian ada hal menarik yang mencuat pada salah satu acara debat Calon Presiden (Capres) Indonesia yang diselenggarakan di Gran Melia, Jalan Rasuna Said, Jakarta pada tanggal 15 Juni 2014 yang silam. Saat itu tengah berlangsung debat Capres antara Jokowi versus Prabowo. Tepatnya di sesi ke-5 debat capres tersebut, Jokowi bertanya kepada lawannya Prabowo, “Bagaimana pandangan bapak mengenai ekonomi kreatif? Karena ini banyak sekali mengurangi pengangguran”. Dan kemudian acara debat itupun berlanjut seru. Sesudah ucapan Jokowi perihal ekonomi kreatif di acara debat tersebut, berbagai tanggapan positif pun muncul di berbagai media sosial seperti twitter dan facebook terutama di kalangan anak muda Indonesia. Mereka merasa terwakili dan didukung atas keberpihakan Jokowi terhadap isu ekonomi kreatif yang erat hubungannya dengan kreativitas anak-anak muda. Tak heran karena di Indonesia saat ini begitu banyak anak muda yang berkecimpung di dalam dunia industri kreatif.

Sementara itu, sebelum Jokowi dilantik menjadi Presiden, ia membentuk sebuah tim transisi pemerintahan, dimana mereka bekerja dari Rumah Transisi yang berada di Jalan Situbondo 10, Menteng, Jakarta Pusat. Tujuan pembentukan Rumah Transisi ini adalah mempersiapkan peralihan pemerintahan dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Jokowi. Sehingga, setelah dilantik sebagai presiden, Jokowi dapat langsung melaksanakan konsep pemerintahannya. Terutama implementasi sembilan program nyata Jokowi-JK atau yang dikenal dengan nama Nawacita. Dimana salah satunya menyebutkan bahwa, “Upaya mendorong, memperkuat dan mempromosikan industri kreatif dan digital merupakan upaya mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Hal ini termasuk dalam upaya untuk menurunkan tingkat pengangguran dan menciptakan 10 juta lapangan kerja baru selama lima tahun”. Selain itu tim rumah transisi ini juga mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan kesiapan kelembagaan di bawah presiden dan wakil presiden. Jokowi menunjuk Rini Mariani Soemarno, mantan menteri perindustrian dan perdagangan (menperindag) di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, sebagai kepala staf Rumah Transisi. Dalam menjalankan tugasnya, Rini dibantu empat orang deputi, yakni Wasekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Sekretaris I Tim Kampanye Jokowi-JK Andi Widjajanto, Juru Bicara Tim Kampanye yang juga Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, dan Sekretaris II Tim Kampanye Jokowi-JK Akbar Faisal.

Dari Rumah Transisi inilah kemudian muncul gagasan membentuk tim Pokja Ekonomi Kreatif dengan maksud untuk memberikan rekomendasi kepada presiden sehubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi kreatif Indonesia. Beberapa nama tim Pokja Ekonomi Kreatif ini berasal dari Bandung (Jawa Barat) yakni Dwinita Larasati & Fiki Satari. Namun kemudian, setelah Jokowi dilantik menjadi presiden dan mengumumkan susunan kabinet kementrian pada tanggal 26 Oktober 2014 yang lalu, ternyata tak ada nama Kementerian Ekonomi Kreatif. Bukan hanya itu saja, nomenklatur “ekonomi kreatif” juga menghilang dari Kementerian Pariwisata yang pada kabinet sebelumnya bernama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Kontan saja setelah itu banyak komentar penuh kecewa yang terlontar dari mulut para pelaku ekonomi kreatif di Indonesia. Salah satunya muncul dari musisi Ahmad Dhani yang mengaku kecewa terhadap susunan Kabinet Kerja yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sedemikian kecewanya, menurut pentolan grup band “Dewa” itu ia akan membentuk sendiri Kementerian Seni dan Industri Kreatif. Padahal sebelumnya, Ekonomi Kreatif adalah salah satu andalan Jokowi selama masa kampanye pemilihan presiden yang lalu. Saat itu Jokowi berulang kali menyampaikan bahwa potensi budaya yang besar dan kreativitas anak muda Indonesia perlu dikembangkan dan diwadahi karena bisa menjadi modal kuat bagi bangsa Indonesia bersaing di pentas dunia. Selain memperkuat pengaruh identitas budaya Indonesia, pengembangan Ekonomi Kreatif secara maksimal juga menjadi saluran meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian karena bisa menyerap banyak tenaga kerja. Pada saat itu pula, Jokowi sempat menyatakan akan mempertimbangkan untuk membentuk Kementerian Ekonomi Kreatif.

Untungnya api kekecewaan tersebut mulai mereda setelah pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa sesungguhnya akan dibentuk sebuah “Badan Ekonomi Kreatif” yang akan mewadahi kepentingan para pelaku ekonomi kreatif Indonesia. Menurut Presiden Joko Widodo di sela-sela acara “Kompas 100 CEO Forum” di Jakarta pada tanggal 7 November 2014 yang lalu, ia akan membentuk Badan Ekonomi Kreatif yang langsung berada di bawah presiden. Karena menurut Jokowi, industri kreatif memiliki potensi yang besar, namun belum digarap secara serius. Jokowi menuturkan bahwa pembentukan badan ini juga merupakan aspirasi dari pelaku industri kreatif. Jokowi pun mencontohkan industri kreatif di Korea Selatan seperti K-Pop yang disiapkan selama 13 tahun. Menurutnya, produk itu tidak muncul secara mendadak, tetapi direncanakan betul. Tentunya dengan melihat ini semua, kita berharap agar pembentukan Badan Ekonomi Kreatif atau apapun namanya, dapat segera terjadi. Selama tim yang bekerja adalah orang-orang profesional yang dapat mengembangkan ekonomi kreatif di Indonesia, sudah sepatutnyalah kita dukung bersama. Yang terpenting adalah bahwa pemerintah mesti hadir dan dapat menjadi penentu kebijakan atau regulator agar potensi para pelaku ekonomi kreatif ini dapat terpetakan dan terus berkembang.

Meski polemik perihal ekonomi kreatif ini terus berlanjut, prestasi dan jejak karya anak-anak bangsa yang mengatasnamakan dirinya sebagai pelaku ekonomi kreatif Indonesia terus menyeruak, seolah membuktikan bahwa mereka tetap eksis berkarya tanpa ada atau tidak adanya kehadiran pemerintah. Sebagai contoh terjadi di kota Bandung, Jawa Barat. Mewakili subsektor industri kreatif di bidang film, foto & video, Adi Panuntun dan Debbie Rivinandya, dua warga Bandung yang tergabung dalam tim kreatif bernama Sembilan Matahari, berhasil mengharumkan nama Indonesia seusai menyabet juara pertama Best Light Designers untuk kategori klasik dalam Art Vision Contest di Moscow International Festival “Circle of Light” yang berlangsung pada tanggal 10-14 Oktober 2014 di kota Moskow, Rusia. Acara ini merupakan festival akbar tahunan internasional, yang diselenggarakan seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi pencahayaan modern. Kemudian yang mewakili subsektor industri kreatif di bidang teknologi informasi (IT) ada nama Cybreed (PT Multidaya Teknologi Nusantara), yakni startup asal Bandung yang memenangkan kompetisi “Get in the Ring” di Rotterdam, Belanda. Adalah Gibran Huzaifah (CEO), Muhammad Ihsan Akhirulsyah (CFO), Chrisna Aditya (CTO), dan Sulthan (Mechanical Engineer) yang melalui perusahaan kreatif Cybreed-nya, mencoba fokus dalam pengembangan inovasi teknologi di bidang akuakultur dan agrikultur. Saat ini mereka berkesempatan untuk mengikuti pertemuan startup dan investor terbesar di Eurasia, Slush yang diadakan di Helsinki, Finlandia. Salah satu produk teknologi yang dihasilkan oleh Cybreed mereka sebut dengan nama eFishery yaitu alat pemberi pakan otomatis untuk segala jenis ikan dan udang, sebuah sistem yang bisa memberi pakan secara otomatis, mendeteksi nafsu makan ikan dan mengirimkan laporan pemberian pakan ke internet dan dapat diakses dari manapun. Mewakili subsektor industri kreatif di bidang arsitektur tentunya ada nama Ridwan Kamil, yang lahir dari golongan komunitas kreatif dan saat ini menjabat sebagai wali kota Bandung periode 2013-2018. Dalam blog pribadinya (daydreamer’s diary), pada tahun 2008 sebelum ia menjadi wali kota bandung, ia sempat mengungkapkan opininya bahwa Bandung Kota Dunia bukanlah hanya mimpi. Kita sudah punya modal awal yaitu aliran sumber daya manusia yang kreatif dan kompetitif berkelas dunia. Modal ini harus disempurnakan dengan kualitas sarana kota yang berkelas dunia pula. Inilah reposisi dan wajah baru Bandung di era milenium. Wajah baru yang menyempurnakan era Bandung sebagai wajah pemersatu Asia Afrika tahun 1955. Jangan biarkan mimpi ini mati sebagai mimpi. Mari sama-sama bekerja keras menghadiahkan masa depan yang indah untuk generasi cucu kita”. Nampaknya pandangan visioner yang lahir dari mata seorang Ridwan Kamil tersebut, justru membawanya kepada sebuah tugas yang akhirnya harus dilakukan olehnya sendiri sebagai seorang pemimpin.

Dengan jumlah penduduk Indonesia yang kini mencapai 240 juta jiwa, dimana sekitar 70 % populasinya didominasi oleh warga dengan usia produktif, tentunya tumpuan harapan bangsa ke depan tersimpan di atas pundak para pemudanya. Dengan berbekal kemampuan (skill), pengetahuan (knowledge) dan sikap (attitude) yang baik, tentunya masyarakat kreatif Indonesia dapat terwujud dan mampu berjaya baik di negeri sendiri maupun di kancah internasional. Sembari meramu semangat berjejaring (connection) & kolaborasi (collaboration) yang pada akhirnya akan menghasilkan ekonomi kreatif itu sendiri (commerce). Dan perlu disadari bahwa prinsip ekonomi kreatif itu bukanlah semata nilai transaksional belaka (seperti yang pada umumnya pemerintah pikir) melainkan ada kehadiran nilai-nilai lain seperti nilai sosial, budaya, empati, etika, toleransi, inspirasi, lokalitas, berbagi dan lain sebagainya yang tidak bisa diukur oleh uang. Namun semuanya merupakan entitas nilai yang sangat berharga tanpa kita harus merasa kehilangan identitas sebagai bangsa Indonesia yang selalu siap bergerak dalam menyikapi perubahan dunia. Intinya, bangsa kita mesti siap untuk tumbuh menjadi manusia yang unggul dan berdaya saing. Bagaimana caranya? Ki Hadjar Dewantoro, seorang tokoh pendidikan nasional, pernah mengajarkan perihal pentingnya mengembangkan dan menerapkan konsep Niteni (kebiasaan untuk melihat segala sesuatu yang baik), Niroke (kebiasaan untuk meniru kebaikan dari segala sesuatu yang kita lihat), dan Nambahi (kebiasaan untuk menciptakan inovasi dalam hal apapun). Karenanya, untuk menumbuhkan ekonomi kreatif Indonesia yang subur, tentunya bukan dengan cara-cara instan atau potong kompas. Menumbuhkan sebuah pohon yang besar tidak seperti mengucapkan mantera ajaib “Sim Salabim, Ala Kadabra” dan kemudian pohon itu tumbuh dengan sendirinya. Ada sebuah proses panjang yang harus dijalankan, ada sebuah jalan berliku yang harus dilalui, ada sebuah tebing curam yang harus didaki. Apalagi yang sedang berusaha kita tanam dan tumbuhkan ini bukanlah pohon sembarang pohon, melainkan pohon yang bernama manusia. Namun bila bangsa kita berhasil menanam, menumbuhkan & merawat pohon manusia tersebut, sesungguhnya bumi pertiwi yang kita cintai ini pada akhirnya akan memetik buah manis yang bernama kemakmuran.

A creative person is motivated by the desire to achieve, not by the desire to beat others.
– Ayn Rand –

@galihsedayu | Bandung, 29 November 2014

Daftar Pustaka

> Howkins, John. 2001. The Creative EconomyHow People Make Money from Ideas

> Kementrian Pariwisata & Ekonomi Kreatif Indonesia. 2014. Buku Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif. “Ekonomi Kreatif : Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025″.

> Kementrian Perdagangan Indonesia. 2009. Buku Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif. “Pengembangan Industri Kreatif Menuju Visi Ekonomi Kreatif Indonesia 2025″.

> Komite Pengembangan Ekonomi Kreatif Jawa Barat. 2013. Buku Rekomendasi Kebijakan Pengembangan Ekonomi Kreatif. “Ekonomi Kreatif Jabar”.

> Moelyono, Mauled. 2010. Menggerakkan Ekonomi KreatifAntara Tuntutan dan Kebutuhan.

Written by Admin

November 27, 2014 at 3:15 pm

Kemuliaan Kaum Adam & Hawa Di Rumah Batik Danar Hadi

leave a comment »

oleh galih sedayu

Salah satu destinasi wisata yang menjadi magnet bagi mata pelancong di Kota Solo adalah House of Danar Hadi. Kawasan ini merupakan sebuah komplek wisata budaya perihal kain tradisi Indonesia (batik) yang terletak di Jalan BrigJen Slamet Riyadi, Surakarta. Di area House of Danar Hadi (HDH) ini terdapat beberapa bangunan utama yang difungsikan sebagai museum, showroom & workshop batik tradisional. Bila kita mengunjungi area workshop batik tradisional yang ada di sana, maka sejauh mata memandang, kita akan lihat ratusan pekerja pembuat batik yang terdiri dari kaum adam & kaum hawa. Mereka semua merupakan para buruh yang sudah bekerja di sana selama puluhan tahun lamanya. Para buruh laki-laki dan perempuan tersebut ditempatkan berbeda menurut ruang kerjanya. Khusus untuk para buruh laki-laki, mereka ditempatkan di sebuah ruangan besar dan dipekerjakan sebagai pencap kain batik. Sedangkan untuk para buruh perempuan, mereka ditempatkan di sebuah ruangan besar yang lain agar dapat bekerja untuk melukis batik dengan menggunakan canting. Kedua ruangan yang diperuntukkan untuk para buruh pria & wanita tersebut letaknya sangat berdekatan antara satu dengan yang lain. Meskipun udaranya cukup panas di area tersebut, namun kita dapat melihat bagaimana suasana canda, tawa dan senda gurau kerap menghiasi pekerjaan yang mereka lakukan dengan sungguh-sungguh. Bagi mereka, bekerja adalah sebentuk pengabdian selain tentunya sembari mencari sesuap nasi bagi keluarga yang mereka tinggalkan di rumah. Mereka pun sangat berharap bahwa kelak masih ada generasi muda yang tetap meneruskan keahlian mereka, meski kadang upah yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan pekerjaan menguras keringat yang mereka lakukan. Bagi mereka, bekerja adalah sebuah cara agar manusia tetap memiliki harkat dan kemuliaannya. Dan batik yang mereka hasilkan, adalah sebuah persembahan yang disuguhkan bagi Sang Semesta.

@galihsedayu | solo, 5 maret 2014

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

batik danar hadi

copyright (c) 2014 by galih sedayu
all right reserved. no part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.

Gerakan Komunitas & Solusi Permasalahan Kota

leave a comment »

Teks : galih sedayu

We don’t heal in isolation, but in community”
-S. Kelley Harrell-

Sebuah Kota sejatinya bukan hanya menjadi sebuah ruang dan tempat bernaung semata dari sebuah tatanan komunitas atau masyarakat. Semestinya ia dapat menjadi sebuah energi dan harapan bagi komunitas yang memilih untuk tinggal di dalamnya. Sehingga roh kota tersebut dapat selalu bergerak, berubah dan mengalir tanpa batas yang ditunjukkan oleh sejumlah letupan kreativitas komunitas tersebut. Karenanya kehadiran komunitas ini menjadi sangat berharga bagi keberlangsungan sebuah kota. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya merekalah yang menjadi roda-roda yang membuat kota tersebut tetap berputar dan terus berjalan.

Bandung sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Barat adalah salah satu contoh kota dengan segudang komunitas yang terus menetas hingga menelurkan himpunan kreativitas yang unik dan beragam. Sebagaimana konsekuensi sebuah kota yang sedang berkembang, tubuh Kota Bandung saat ini mulai terkoyak dengan seabrek persoalan yang ada. Dari mulai isu kemacetan, ruang-ruang publik yang menganggur, polusi udara, konflik sosial, kemerosotan moral dan lain sebagainya. Disinilah sebenarnya komunitas memiliki peluang atau setidaknya (bagi mereka) hal tersebut melahirkan tantangan baru untuk mulai memikirkan cara kreatif memecahkan permasalahan kota tersebut. Karena walaubagaimanapun, komunitas harus menyadari bahwa mereka tidak bisa mengandalkan pemerintahan yang konservatif untuk membuat sebuah kota yang tenteram & nyaman. Perlu sebuah dobrakan-dobrakan kecil yang diekspresikan melalui cara-cara kreatif ala komunitas.

Tanpa disadari atau tidak, ternyata saat ini di Kota Bandung mulai bermunculan embrio-embrio gerakan komunitas yang memiliki tanggung-jawab serta mencirikan hasrat meraih cita-cita sosial bagi kotanya. Dari mulai Komunitas Bandung Berkebun dengan gerakan menanam tanaman produktif di lahan-lahan menganggur kota. Dimana setiap 3 bulan sekali komunitas ini mengajak warga kota dari mulai anak-anak, pemuda & orang tua untuk merayakan panen secara bersama-sama. Lalu ada Komunitas Metal Ujung Berung yang menghidupkan kembali kesenian musik tradisional sunda yang bernama karinding. Bahkan saat ini demam karinding sudah mulai menjalar kepada anak-anak muda yang sebelumnya ogah mempelajari alat musik tradisional apapun. Kemudian ada Komunitas Taman Foto Bandung yang kerap mengaktifkan taman-taman kota yang (biasanya) kesepian. Komunitas ini melakukan aktivitas kreatifnya dari mulai pameran, workshop, diskusi & sarasehan fotografi sehingga menjadikan taman tersebut sebagai rumah kreatif bagi komunitasnya. Lain halnya dengan Komunitas Bike Bdg yang mencoba menawarkan solusi kemacetan kota dengan bersepeda. Tidak hanya itu, mereka mampu untuk menggalang dana dan berhasil membangun sejumlah shelter sepeda di Kota Bandung dan kemudian mengelola jasa penyewaan sepeda bagi warga kota. Cerita lain dari sebuah komunitas yang bernama Bandung Inisiatip, dimana mereka menggagas sebuah gerakan menyelamatkan hutan kota. Pada awalnya mereka menyelenggarakan sebuah sayembara desain kawasan hutan Babakan Siliwangi. Hasil sayembara itu pun kemudian dilanjutkan & dikolaborasikan bersama Bandung Creative City Forum (BCCF) yakni sebuah perkumpulan komunitas kreatif kota bandung, menjadi sebuah program pembangunan jembatan hutan kota Babakan Siliwangi (Forest Walk). Pembangunan jembatan gantung di tengah hutan ini sekaligus menjadi simbol dari sebuah kesepakatan bersama antara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia & Pemerintah Kota Bandung yang menyatakan bahwa Kawasan Babakan Siliwangi diresmikan menjadi Hutan Kota Dunia (World City Forest). Gerakan ini menjadi sebentuk perlawanan warga untuk melindungi hutan kotanya agar tidak dijadikan ruang komersil oleh para pengusaha hitam dan anarkis dangkal yang selalu menebar horor. Dan masih banyak lagi sebenarnya komunitas-komunitas yang membawa angin perubahan bagi kotanya.

Inilah sebenarnya inti kekuatan komunitas. Mereka harus berani melawan kondisi kota yang menjadi tidak seimbang. Komunitas harus mampu menciptakan ide-ide sederhana demi memecahkan sedikit atau banyak persoalan kota tanpa harus kehilangan rasa senang dan kenikmatan menjalani aktivitasnya masing-masing. Ketika agresivitas positif komunitas ini semakin terkumpul, niscaya sebuah kota tidak akan oleng navigasinya. Selama kita menyadari bahwa kita tidak bisa sendirian menyelesaikan semua permasalahan kota. Dan komunitas semestinya menjadi salah satu jawabannya.

*Tulisan ini diberikan sebagai salah satu kontribusi di dalam buku yang disusun oleh Komite Pengembangan Ekonomi Kreatif Jawa Barat.

Bandung 19 September 2012

Written by Admin

November 22, 2014 at 4:49 am