I'LL FOLLOW THE SUN

Love, Light, Live by galih sedayu

Regionalisme Sebagai Jalan Tengah?

leave a comment »

“Regionalisme Sebagai Jalan Tengah?”
Oleh : Ridwan Kamil
Kompas, Minggu 9 Juli 2000

SALMAN Rushdie, pengarang The Satanic Verses yang menghebohkan itu, suatu waktu pulang mudik ke kampung halamannya di India. Dari balik kaca mobilnya, ia sempat tertegun melihat pesatnya pembangunan fisik Kota Bombay yang telah lama ditinggalkannya. Deretan gedung-gedung jangkung yang begitu seragam dan gemerlap, terlihat berjajar berbaris seakan menyambut kepulangannya.

Namun, di balik kekagumannya itu pengarang yang dihukum mati in-absentia oleh Khomeini ini merasakan ada sesuatu yang tidak biasa. Ada sesuatu yang hilang. “This is my Bombay, but it is definitely not mine,” gumamnya.

Ternyata rona urbanitas lokal dan atmosfer kemajemukan Bombay-lah yang dirasakannya lenyap. Semuanya terlihat patah dan kalah oleh keseragaman fisik dan wajah gedung-gedung kotak bergaya arsitektur Modern. Dalam kegamangan itu, Rushdie pun disergap oleh suatu kerinduan yang mendalam sekaligus keasingan yang menusuk. “There is no there, there.”

***

SIHIR arsitektur bergaya Modern di abad lampau memang begitu saktinya dalam menyulap wajah kota-kota besar dunia menjadi begitu serupa. Diktum “form follows function” dan imaji utopis arsitektur Modern dengan international style-nya telah membidani lahirnya ratusan kota-kota berpola mekanistis dan ribuan gedung-gedung berekspresi kotak minimalis. Saking mewabah dan merasuknya, sampai-sampai konsep modernitas pun selalu disalahartikan sebagai hidup dalam arsitektur dan lingkungan binaan bergaya arsitektur Modern.

Padahal menurut Marshal Berman dalam All that Solid Melts Into Air, makna modernitas itu sejatinya adalah upaya konsisten manusia untuk menyeimbangkan diri secara evolutif dengan percepatan kemajuan zaman. Jadi lebih kepada way of thinking ketimbang way of living. Dalam konteks ini, bertransaksi saham Wall Street di atas sebuah saung vernakular di tengah sawah pun sebenarnya merupakan fenomena yang lazim-lazim saja.

Kesalahkaprahan tersebut juga diperparah oleh lemahnya voltase resistensi budaya regional. Dalam konteks arsitektur di era globalisasi ini, kecepatan aliran arus informasi baik berupa literatur, publikasi, gaya hidup, ketokohan, maupun inovasi teknologi konstruksi pada kenyataannya tetap didominasi Barat. Seperti kata Edward Said, secara politik kita-Dunia Ketiga-memang sudah merdeka, namun belum secara budaya. Akibatnya, esensi kemajuan pun kemudian sering diukur dari seberapa cepat kita bisa menyelinap ke dalam arus baru berarsitektur di Barat.

Mimpi indah utopia Modernisme yang sebagian besar telah berubah menjadi mimpi buruk (dystopia) pun akhirnya kita akrabi tanpa kita sadari. Arsitektur pun disulap menjadi barang yang elite, mahal dan tunggal rupa. Sejalan dengan itu sejarah membuktikan kota pun dibelah-belah dengan skala yang tidak manusiawi (megalopolis) dan dirancang untuk keleluasaan kendaraan bermotor ketimbang eksistensi manusianya. Penggusuran secara fisik dan pengorbanan rasa keadilan atas nama kemajuan pun akhirnya menjadi suatu keseharian. “You can’t make an omelet without breaking eggs”, demikian pembenaran klasik kaum Stalinis.

***

“LESS is more!” sabda Mies Van der Rohe.

Bukan. “Less is bore!” balas Robert Venturi di tahun 1966

Ahhh… “More is more!” timpal AM Stern di tahun 1985

Sementara mereka di Barat sibuk beradu filsafat arsitektur, kita di sini hanya pasrah melihat ruang dan lansekap budaya kita menjadi meja gambar eksperimen mereka. Untunglah di pelbagai belahan penjuru dunia, akumulasi kekecewaan akan dystopia Modernisme dalam arsitektur  ini ternyata berhasil menyemaikan benih-benih resistensi.

Hasan Fathy, BV Doshi, Charles Correa maupun Ken Yeang, adalah sederetan arsitek yang kemudian tercerahkan dalam mempelopori semangat baru melawan out-of-place architecture ini.

Mereka kemudian berusaha membangun arsitektur yang bisa jujur bertutur tentang budaya lokal dan karakter iklimnya, namun juga lentur dalam mengakrabi laju teknologi modern. Pendekatan yang lebih menekankan pada cara berarsitektur bukan pada gaya ini kemudian disebut dengan nama Regionalisme. Semangat ini memang secara tidak langsung lahir dalam atmosfer gerakan arsitektur Postmodern. Istilah-istilah rethink, reform, rebuild, reinvent, redefine, ataupun reevaluate, menurut kritisi arsitektur Nan Ellin, telah menjadi wacana kritis sebagai reaksi terhadap dystopia Modernisme tersebut.

Dalam konteks lain, sosiolog Yasraf Amir Piliang pun menyebutnya sebagai semangat Renesans Asia. Semangat untuk melakukan resistensi, mengembangkan pluralisme dan menguatkan kembali nilai-nilai kearifan timur. Namun menurut pemikir arsitektur Kenneth Framton, yang harus dikembangkan bukanlah semangat regionalisme yang romantis, tetapi yang kritis (critical regionalism). “Contemporary acknowledging, but not bounded by historic definitions of the vernacular,” lanjut Framton. Suatu spirit berarsitektur yang menguatkan makna tempat (genius loci), tektonis namun ekspresif dalam konteks kontemporernya.

Menurut Framton, regionalisme yang romantis cenderung melahirkan kekakuan berpikir dan sikap menghindari kenyataan (escapist). Sebagian masyarakat kita memang punya hobi mencomot atau membekukan bentuk akhir arsitektur tertentu untuk dipaksakan sebagai identitasnya ketimbang mengkritisi proses dan filosofi pencariannya. Jogloisasi atau pemaksaan bentuk atap joglo di Jawa Tengah sebagai identitas regionalnya adalah contoh dari kepicikan tersebut. Jika tidak kritis dan arif, ungkap arsitek Alexander Tzonis, konsep regionalisme ini akan menjadi “powerful tool of repression or chauvinism” ala kuningisasi Orde Baru.

***

CONTOH menarik dalam konsep regionalisme kontemporer adalah karya Ken Yeang di Malaysia. Arsitek lulusan AA School London ini dikenal sebagai pionir yang mengintegralkan aspek ekologi dan iklim lokal kedalam sistem bangunan yang disebut bioclimatic skyscraper. Konsep ini diimplementasikannya pada rancangan Menara Mesiniaga yang menjadikan atrium sebagai ruang ventilasi alami, menempatkan skycourt sebagai ruang komunal vertikal untuk memaksimalkan pengaturan cahaya matahari, dan merancang selubung eksterior yang bersifat fragmentatif mengikuti orientasi garis matahari dalam iklim setempat. Prinsipnya, iklim itu bukan untuk dilawan, tetapi dirangkul atau diintegralkan ke dalam sistem bangunan.

Tanpa harus terhanyut oleh ornamentasi vernakular ataupun kotak minimalis ala arsitektur Modern, konsep bioclimatic skyscraper ini ia anggap bisa mewakili identitas arsitektur kontemporer di Malaysia, Indonesia, Singapura ataupun di kawasan tropis lainnya. Yeang berargumen bahwa faktor terpenting dalam konsep regionalisme adalah faktor iklim, karena dalam kurun waktu yang panjang, iklim akan selalu stabil, sementara sensibilitas estetik, selera visual dan faktor sosial budaya masyarakat bisa saja berubah. Regionalisme yang kritis lanjutnya, haruslah adaptif terhadap jiwa tempat, responsif terhadap iklim lokal dan tidak menerima mentah-mentah konsep yang memaksakan tradisi sebagai sesuatu yang rigid atau fixed.

Baginya, batas budaya yang berdasarkan kesamaan iklim dan geografis lebih penting ketimbang batas budaya yang dipisah secara politis seperti halnya batas propinsi atau batas negara. Secara filosofis, pemikir Martin Heidegger juga menyatakan bahwa batas budaya itu terdefinisi pada dimulainya transisi menuju sesuatu yang baru. Ia mengistilahkannya sebagai peras, sebuah kata Yunani yang mengartikan bahwa batas bukanlah garis akhir, melainkan awal dari kehadiran suatu fenomena atau objek baru.

Contoh kontemporer dalam regionalisme kritis lainnya adalah proyek Pusat Budaya Kanak di Kaledonia Baru rancangan arsitek Renzo Piano. Ia merancang suatu wujud arsitektur yang dianggap dapat merefleksikan semangat budaya Kanak modern tanpa harus terpaku pada penonjolan fisik vernakularnya. Di proyek ini, ia mendesain gugusan massa lengkung berbentuk bawang terbelah yang berderet menjulang ke langit. Rancangan ini merupakan perpaduan antara karakter bangunan adat setempat dengan karakter high-tech pada sistem struktur dan detailnya yang menjadi ciri Renzo Piano.

Jalinan struktur kayu lokal yang menjulang pada deretan massa bangunannya, ia adaptasi juga dari konsep struktur arsitektur setempat yang sangat responsif dan fleksibel terhadap faktor iklim lokal terutama angin yang kencang. Dari kejauhan, deretan gugus massa bangunan ini seolah menjadi bagian dari artefak alam yang secara dramatis memperkuat karakter lansekap dan topografi tapaknya.

Bagi masyarakat Kanak, proyek Pusat Budaya Kanak ini dianggap sebagai jawaban dari proses pencarian identitas bangsanya melalui wujud arsitektur. Fenomena pencarian identitas ini sebenarnya juga melanda sebagian besar masyarakat dunia ketiga yang rata-rata merdeka di pertengahan abad lalu. Namun celakanya, kegamangan dan kebingungan dalam pencarian identitas ini akhirnya termanfaatkan oleh masuknya arus homogenisasi arsitektur bergaya Modernisme yang hadir atas nama modernisasi.

Kita memang harus berhati-hati dalam merumuskan suatu identitas kolektif. Jika sudah bersifat kolektif, pelabelan identitas suatu budaya bukanlah suatu hal yang mudah. Disadari atau tidak, budaya yang hadir saat ini kadangkala merupakan superimposisi dari lapisan-lapisan sejarah yang mengkristal, seperti halnya asimilasi budaya Betawi, Cina dan India yang muncul pada baju pengantin Betawi. Apalagi identitas murni suatu budaya di negara ketiga, menurut sejarawan Jean Dethier, kadang dengan mudah didistorsi, dikomersialisasi, dan di-stereotipe-kan oleh sejarah kolonialismenya.

Oleh karenanya, pendekatan regionalisme yang kritis seperti yang ditawarkan Framton, bisa menjadi satu alternatif dalam penguatan karakter budaya setempat ketika beradaptasi dengan percepatan kemajuan jaman. Analoginya, untuk keseharian di kota kita yang indah dan tropis ini, apa kita mau memilih mantel bulu impor yang tebal dan mahal, memilih baju kebaya tradisional atau mencari alternatif cerdas lainnya demi sebuah identitas dan kenyamanan yang berkarakter?

Written by Admin

September 6, 2018 at 5:47 am

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: