Menghamilkan Budaya Sungai Kota
Teks & Foto : galih sedayu
Seiring dengan kerapnya aktivasi ruang-ruang publik kota oleh sejumlah komunitas, sesungguhnya semakin menguatkan citra kota berbasis kreatif yang melekat dalam diri Kota Bandung. Bahkan semestinya pemanfaatan ruang-ruang publik kota, haruslah melahirkan budaya baru yang diusung oleh warga Bandung. Karena selama ini agaknya warga Bandung lebih menyukai untuk menghabiskan waktu dengan pergi ke Mall, Factory Outlet atau Restaurant ketimbang menyambangi Hutan, Taman, Kampung atau Sungai yang ada di Kotanya. Alhasil kita lebih sering melihat pemandangan anak-anak kecil yang bergelut dengan mesin games di Mall ketimbang melihat mereka bermain kelereng atau petak umpet di salah satu sudut Kampung Kota. Atau kita lebih sering menjumpai para keluarga yang menyantap makanan fast food di Restoran Cepat Saji ketimbang menjumpai mereka melakukan piknik dan botram dengan aneka masakan rumah di sebuah Taman Kota. Padahal kita sadar benar bahwa ruang-ruang publik tersebut dapat menawarkan nilai-nilai yang lebih baik dibandingkan dengan ruang-ruang publik yang telah berubah fungsi menjadi ruang komersil.
Sungai merupakan salah satu ruang publik kota yang memiliki pesona & keindahan menawan bila dikelola dengan baik. Karena di sanalah kita dapat mensyukuri bahwasanya air sungai yang mengalir jauh tersebut dapat memiliki sejumlah fungsi bagi warga sebuah kota. Dari mulai drainase, penggelontor kotoran limbah, obyek wisata, penyedia air baku, pemanfaatan energi air serta sarana irigasi pertanian. Namun sayang bahwa keberadaan Sungai di Kota Bandung malahan kerap menghamilkan bencana dan melahirkan musibah bagi warganya. Terutama ketika musim penghujan tiba. Luapan air dari sungai-sungai yang membelah Kota Bandung justru membawa teror banjir bagi warganya. Belum lagi genangan sampah yang dibawa serta oleh air sungai tersebut. Tentunya kita tidak bisa serta merta menyalahkan alam dalam hal bencana tersebut. Karena ironisnya, banjir itu timbul justru akibat ulah kita sendiri. Entah itu karena warga yang kerap membuang sampah ke sungai ataupun karena penebangan pohon secara membabi buta sehingga menghilangkan daerah resapan air. Menurut data dari Pemerintah Kota Bandung, ada sekitar 61 sungai dan 46 anak sungai dengan total panjang 252,55 km yang terdapat di Kota Bandung (Pikiran Rakyat, 29 Juli 2011). Bahkan Pemerintah Kota Bandung mencanangkan sebuah program wisata air di semua daerah yang dialiri sejumlah sungai tersebut. Namun demikian, kita tidak bisa mengandalkan janji-janji pemerintah yang kerap ditebar dengan mulut yang manis. Perlu ada upaya untuk menjaga dan mengaktivasi sungai-sungai yang ada di Kota Bandung dengan melibatkan kekuatan kreatif warganya. Tentunya kita tidak bisa melakukan hal itu semua sekaligus. Hanya dengan metoda seperti akupuntur lah, secara realistis dapat kita lakukan terhadap sungai-sungai yang kita miliki saat ini.
Bila kita menyebut nama sungai di Kota Bandung, tentunya nama sungai Cikapundung tidak bisa dilupakan dalam memori kita. Sungai Cikapundung adalah salah satu sungai besar yang membelah Kota Bandung dengan panjang sekitar 15,5 km. Sungai Cikapundung memiliki luas daerah tangkapan di bagian hulu sebesar 111,3 Km2, di bagian tengah seluas 90,4 Km dan di bagian hilir seluas 76,5 Km2. Sedangkan panjang sungai Cikapundung dari hulu Maribaya sampai hilir Citarum mencapai 28 km. Jumlah penduduk yang bermukim di DAS Cikapundung mencapai 750.559 jiwa dengan jumlah penduduk tertinggi berada di Kelurahan Tamansari yaitu 28.729 jiwa (Data BPLH Kota Bandung). Ikon sungai Cikapundung inilah yang kemudian digunakan oleh Bandung Creative City Forum (BCCF) untuk menggelar rangkaian event HelarFest 2012 yang ke-4 bertajuk Cikapundung River Cinema. Kolaborasi BCCF bersama Komunitas House The House, memilih satu titik area yang dilewati oleh sungai Cikapundung tersebut sebagai pusat kegiatan kreatif. Bertempat di Cikapundung Timur Plaza (Jalan Cikapundung Timur / samping Museum Asia Afrika), pada tanggal 22 Desember 2012 area tersebut disulap menjadi sebuah area festival musim hujan. Sejak pukul 2 siang hingga pukul 10 malam, berbagai kegiatan dari mulai Workshop, Artmart, Kuliner, Konser Musik dan Pemutaran Film (Screening) dihadirkan di pinggir sungai Cikapundung. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, pada saat event Cikapundung River Cinema ini berlangsung, hujan pun turun membasahi area festival tersebut. Tak heran karena memang saat itu sedang musim hujan di Kota Bandung. Meski demikian, acara tersebut tetap berlanjut karena kegiatan ini memang sengaja diatur untuk merespon hujan yang akan terjadi. Keunikan dari kegiatan inipun dapat langsung terlihat sejauh mata memandang. Setiap pengunjung dibagikan jas hujan berwarna merah muda secara cuma-cuma. Instalasi puluhan payung pun turut memberikan warna di area pinggiran sungai Cikapundung tersebut. Belum lagi para penonton yang menyaksikan film-film pendek berdurasi 10-15 menit pada layar besar ukuran 8 x 12 m. Pada intinya, Everybody is enjoy in the river.
Semestinya upaya untuk mengaktivasi sungai kota tersebut mesti sejalan dengan upaya untuk menjaga kebersihan sungai. Sungai yang bersih dan jernih sesungguhnya adalah ruang dan tempat kita bercermin. Dan harapannya cermin dari air sungai itu merefleksikan tawa, canda dan keceriaan warga kota ketika mengunjungi sungainya. Siapakah yang akan mendengar jikalau sungai berteriak karena kering atau banjir serta alur alirannya menangis bersama-sama karena kotoran sampah? Karena tentunya kita pun tak ingin air sungai naik sampai ke leher dan kita tenggelam ke dalam sungai yang penuh lumpur. Oleh karena itu bila kita ingin berbuat sesuatu, mulailah keluar dari rumah dan datanglah ke sungai. Kenalilah sungai-sungai yang ada di kotamu dengan melihat dan menyentuhnya. Niscaya setelah itu rasa sayang akan muncul sebagaimana kisah cinta anak manusia. Dan kemudian rasa sayang itu lah yang akan membuat kita untuk melahirkan sikap peduli dan menjaga sungai. Sehingga pada akhirnya kita akan melihat sungai-sungai yang diserbu oleh para warganya. Yang menanti untuk dihamili oleh sebuah budaya baru. A City River Culture…
Bandung, 22 Desember 2012
copyright (c) 2012 by galih sedayu
all right reserved. no part of this writting & pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Leave a Reply