I'LL FOLLOW THE SUN

Love, Light, Live by galih sedayu

Another Journey Of Andhika Prasetya

with 2 comments

Teks : galih sedayu

Kehilangan seseorang di dalam suatu kehidupan selalu menjadi cerita yang haru biru. Seperti yang tengah kita alami saat ini, dunia fotografi kembali kehilangan salah satu tokoh panutan masyarakat foto yang kerap mengisi aktivitas kreatif khususnya di Kota Bandung . Setelah kepergian Bapak RM Soelarko, Bapak Leonardi dan Bapak KC Limarga beberapa tahun silam, kini Kota Bandung kembali kehilangan seorang figur bersahaja yang telah banyak berjasa terutama dalam hal mengajarkan ilmu fotografi. Ignatius Andhika Prasetya, dalam usianya yang ke 40 tahun, ayah dari 2 orang anak ini ternyata begitu cepat dipanggil oleh Sang Khalik ke RibaanNya. Tepat pada hari Minggu Tanggal 10 Agustus 2008 pukul 21.30 WIB, ia secara mendadak wafat di daerah Wangon (Jawa Tengah) dalam perjalanan dari Jogyakarta menuju Bandung setelah mengikuti acara sebuah seminar tentang film. Berawal dari keluhan perutnya yang tiba-tiba sakit sampai akhirnya ia meregang nyawa dalam waktu kurang lebih 20 menit kemudian. Entah karena sebab apa, yang pasti adalah bahwa kita sebagai anak manusia tidak memiliki kuasa apa-apa terhadap sebuah takdir yang bernama Kematian yang sering datang menjemput tanpa mengetuk pintu.

Berbicara tentang Andhika Prasetya, tidak pernah lepas dari imej kebaikan yang selalu menyertainya. Semasa hidupnya, ia adalah seorang pria sederhana yang berprofesi sebagai pengajar fotografi di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Widyatama. Kecintaannya pada fotografi dapat dilihat dalam kehidupannya sehari-hari. Putra keduanya yang baru berumur 5 tahun pun diberi nama Sebastian atas dasar kekagumannya pada fotografer kelas dunia, Sebastiao Salgado. Ia juga sangat peduli akan perkembangan sebuah komunitas foto, dimana ia sempat membantu menjadi Kurator Pameran Foto yang digagas oleh Komunitas Pemotret Bandung (KPB) bertajuk “Bandung Sehari” pada tahun 2001 di Bandung Indah Plaza (BIP). Ia pun memiliki pandangan yang luas terhadap sebuah karya foto. Dimana sisi konten, kedalaman dan hal-hal yang bersifat semiotik akan selalu menjadi wacana yang terus digali olehnya. Kedahagaan akan wawasan baru selalu muncul darinya bak makanan yang diperuntukkan bagi jiwa. Fotografi, film, musik, filsafat, desain, dan seni akan selalu menjadi topik perbincangan yang menarik kala kita sedang berdiskusi dengannya. Citra orang baik, mau tidak mau melekat di dalam dirinya karena begitu banyak pribadi yang telah ia sentuh hatinya. Baik melalui sopan santun, kesabaran, berbagi ilmu dan kecakapan yang dimilikinya. Sampai pada akhir hayatnya pun sepertinya ia tidak mau merepotkan keluarga dan para sahabatnya. Sebelum kepergiannya, ia sempat berpesan kepada istri yang sangat dicintainya bahwa bila kelak ia meninggal, ia tidak ingin jenasahnya dimakamkan atau dikubur di tanah. Ia lebih memilih agar tubuhnya dikremasi dengan alasan bahwa ia tidak mau merepotkan orang banyak. Pesan yang ia sampaikan tampaknya tertanam di benak keluarganya. Menjelang pelepasan jenasah di ruang kremasi, istri terkasihnya yang bernama Lita dan kedua anaknya pun tampak tegar melepas orang yang sangat mereka cintai tersebut. Itu semua terlihat pada senyuman keharuan sekaligus kebahagiaan yang dipancarkan oleh mereka. Ia seperti membisikkan kepada mereka semua bahwa tidak ada yang perlu ditangiskan karena ia selalu ada dan senantiasa memeluk mereka dengan erat. Meski, Lia putri pertamanya yang berumur 7 tahun sesekali memandangi foto ayahnya dalam bingkai dengan tatapan yang kosong. Pada saat sebelum proses kremasi, terlihat tubuhnya begitu rapih dan jelas meskipun dengan tubuh yang kaku ketika berada di dalam peti mati. Wajahnya menyinarkan senyum dan optimisme meski dengan kedua bola mata yang terpejam. Benda-benda yang ia sukai ketika masih hidup pun ikut menemani dan disimpan ke dalam peti matinya. Diantaranya sebuah buku yang berjudul “Principles of Visual Anthropology”, sepotong kaos oblong putih yang bolong-bolong, seuntai tas dari anyaman rotan dan sepasang sepatu coklat yang selalu dikenakannya.

Memang ia bukanlah seorang Alfred Stieglitz, Walker Evans, Henri Cartier-Bresson, Richard Avedon dan sederet nama fotografer kenamaan lainnya. Ia hanyalah seorang Andhika Prasetya, seorang pemuda asal Jember yang lahir pada Tanggal 2 Mei 1968. Tetapi kehidupannya banyak menginspirasi dan menggugah para sahabat yang pernah dekat dengannya. Sebagai wujud sebuah penghormatan yang paling dalam dari kami yang mewakili para sahabat, murid dan saudara dari seorang Andhika Prasetya, kami mencoba mengenang kepergian dan mengingat kembali kehadirannya dengan mempersembahkan Pameran Foto yang bertajuk “Another Journey of Andhika Prasetya”. Pameran foto yang bertepatan dengan 40 hari setelah kepergiannya ini merupakan beberapa kumpulan hasil rekaman imajinasi visual beliau dari mulai karya foto terdahulu sampai pada karya foto yang diambil beberapa waktu sebelum beliau wafat. Seperti foto seekor elang yang sedang terbang tinggi dan sendiri di angkasa. Bagi kami, seolah-olah foto tersebut merupakan titisan diri ruh seorang Andhika Prasetya yang meninggalkan jasadnya di bumi untuk berkelana kembali dalam keabadian waktu. Agaknya ia telah siap melangkahkan kakinya ke dalam sebuah kehidupan lain. Karena baginya kebahagiaan itu bukanlah sebuah perhentian akhir, melainkan sebuah perjalanan.

So long to a simple man…our brother, our teacher and our friend. There is no death. There’s only a beginning of life. Enjoy your another journey!”

*Tulisan ini diberikan sebagai Kata Pengantar Pameran Foto “Another Journey of Andhika Prasetya” di Galeri Papyrus

Bandung, 11 September 2008

tribute to andhika prasetya

andhika prasetya

andhika prasetya

andhika prasetya

andhika prasetya

andhika prasetya

andhika prasetya

copyright (c) 2008
all right reserved. no part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from air foto network & photographer.


Written by Admin

January 21, 2010 at 1:50 pm

2 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. Andhika Prasetya adalah sahabat saya sejak kami bertemu di SDK Maria Fatima I Jember. Persahabatan itu malah mungkin bisa lebih awal, sejak dari TK Siswa Rini Jember. Ingatan saya lebih jelas saat kami bersama2 di SDK karena masa studi 6 tahun seakan2 tertanam begitu kuat dalam benak saya.

    Perjalanan persahabatan kami berlangsung begitu akrab diselingi oleh berbagai macam peristiwa yang menguatkan kesan saya bahwa Andhika adalah seseorang yang sederhana, pintar, rendah hati, baik, ramah dan resouceful. Saya menghormati dia dengan segala “kejeniusannya”. O ya dia juga sebenarnya orang eksentrik. Ini tipikal orang jenius yang membuat saya kadang2 tidak mengerti apa yang dia lakukan dan pikirkan. Saya rasa tipikal orang jenius selalu banyak digerakkan oleh intuisi daripada logika, dan itu nampaknya yang membuat dia, di mata saya, sering sukar ditebak kemana maunya. Terjunnya di ke fotografi dan film dokumenter nampaknya juga didorong oleh intuisi ketimbang logika. Saya percaya itu. Dengan intuisi maka bisa dijamin lahirnya karya2 yang bagus. Sayang, saya belum sempat melihat2 hasil jepretan sahabat saya ini.

    Kira2 3 tahun lalu, Andhika pernah memberitahukan kepada saya tentang rencananya melanjutkan studi S3 di Film and Television Studies program Monash University. Dia sudah mengirimkan usulan penelitiannya dan nampaknya pihak Monash sudah antusias dengannya. Sayang, rencana itu batal tapi dia tidak terlalu jelas memberitahukan kepada saya kenapa dia akhirnya tidak jadi studi di Monash. Kini saya berada di Monash, tepatnya di program studi dimana Andhika berniat melanjutkan studinya. Seharusnya dia kini menjadi kakak kelas saya disini. Andhika pula yang memperkenalkan saya pada film dokumenter dan lewat pembicaraan kami, saya jadi sangat menyukai khasanah film dokumenter. Tidak berlebihan jika saya menganggap dia “guru” saya juga. Saya ingin bisa mendedikasikan riset saya kepada sahabat saya ini.

    Gaston

    July 18, 2010 at 10:22 am

  2. Terimakasih mas gaston atas perhatiannya. Rencananya pada pertengahan bulan september, kami dari air photography communications akan meresmikan perpustakaan fotografi Andhika Prasetya di kantor baru kami di surapati core. Semoga menjadi sesuatu dan inspirasi bagi kita semua. Salam.

    -galih sedayu-

    Fotografi Bergerak

    July 20, 2010 at 12:39 am


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: