Posts Tagged ‘brigade poto’
Kegelisahan Visual VS Tembok Pembatas
Teks : galih sedayu
As the fascination that photographs exercise is a reminder of death, it is also an invitation to sentimentality
-Susan Sontag-
Sejak fotografi ditabiskan dan mewarnai dunia pada tahun 1839 berkat penemuan dua sekawan Joseph Nicephore Niepce (1765-1833) dan Louis Jacques-Mande Daguerre (1767-1851), berjuta imaji dalam hidup pun terus direkam tanpa henti oleh anak manusia yang mengatasnamakan dirinya pengikut cahaya. Foto-foto mereka tercatat dan menjadi jejak visual pada dinding sejarah peradaban fotografi dunia. Dari mulai karya fotografi solarisasi nya seorang Man Ray, karya fotogram nya seorang Laszlo Moholy-Nagy, karya studi multiple-exposure nya seorang Bragaglia, karya foto montase nya John Heartfield dan Alexander Rodchenko atau karya desicive moment nya Henri Cartier-Bresson. Semua aliran foto yang diusung oleh mereka menjadikan fotografi sebuah artefak visual yang utuh dan abadi adanya.Fotografi dapat menjadi media curahan hati yang sangat personal ketika apa yang dipikirkan ataupun apa yang dialami oleh seorang pemotret menyentuh kegelisahan yang hadir dalam relung sanubarinya masing-masing. Ketika rasa ini ada, fotografi tidak lagi berkompromi dengan hal-hal teknis semata. Tidak ada dogma yang mengharuskan bahwa komposisi foto yang baik itu adalah the rule of third, sudut gambar yang indah itu harus birds eye view, moment yang baik itu harus freeze atau tidak boleh shaking dan lain sebagainya. Di sini fotografi hanya menjadi sebuah medium perantara. Sama seperti yang dikatakan oleh fotografer Andre Kertesz bahwa kamera itu hanya sebuah alat dan melalui alat itu seorang fotografer memberikan makna dan alasan mengenai segala sesuatu yang terjadi di sekelilingnya. Pada saat itulah esensi mengenai isi, makna dan pesan pada sebuah karya foto menjadi hal yang utama untuk diperbincangkan.Adalah sekelompok anak muda yang tengah mengemban ilmu di Universitas Padjajaran Bandung Jalan Dago Pojok dan menamakan diri mereka Brigadepoto #, yang mencoba menyuarakan kegelisahan imajinasi dan curahan hatinya melalui sebuah Pameran Foto. “Just Kick The Wall”. Begitulah tajuk pameran foto yang dipersembahkan oleh mereka untuk kita. Berawal dari sebuah keinginan yang kuat untuk dapat menorehkan sesuatu melalui fotografi dengan melawan segala keterbatasan yang mereka miliki, Pameran Foto ini pun dimulai. Tujuh pendekar fotografi muda yang bernama Cholidzain, Doly Harahap, Erwin, Irwan, Ojik , Ricky ‘Emon’, Sandi ‘Usenk’ dan Thatha yang berkolaborasi dalam Pameran Foto ini, seolah-olah bertarung dengan dirinya masing-masing lewat karya-karya foto mereka.Cholidzain dengan karya fotonya yang berjudul “Apa Kabar Pocong?”, mencoba mendeskripsikan pocong yang tengah diwawancara oleh sejumlah media bak seorang selebritis. Sebuah parodi agaknya langsung terlintas ketika kita melihat foto tersebut. Sesungguhnya Cholidzain mencoba mengungkapkan persepsinya tentang film-film indonesia yang kerap sekali menyuguhkan film horor dengan tokoh pocongnya, tanpa ada sebuah edukasi yang berarti bagi masyarakat yang menontonnya. Selain tentunya mereka hanya sekedar mencoba menakut-nakuti kita dengan film tersebut (meski kadang kita tertawa saat melihatnya).
Lain halnya dengan Doly Harahap yang membuat karya-karya foto bagai sebuah fragmen dengan tema “Mencari Alamat”. Di sini Doly mencoba bermain batin dan mengekplorasi fotografi dengan menggunakan lukisan ibundanya (yang telah tiada). Unsur-unsur yang bersifat personal seperti tangan, kain ulos, kursi dan kamera menjadi ungkapan jiwa yang melankolik. Doly mencoba untuk berdialog dengan almarhum ibu yang sangat dicintainya tersebut dan berusaha untuk menghadirkan kembali figur ibundanya dengan harapan agar kerinduannya dapat terobati. Karena bagi Doly, satu-satunya yang nyata pada saat itu adalah rasa rindu yang membelutnya.
Begitu pula dengan karya-karya foto yang lain, masing-masing mempunyai interpretasi yang unik. Seperti Erwin yang cenderung mempertanyakan Hukum Tuhan dengan karya fotonya “Pilihan”, Irwan yang mengingatkan kita tentang bagaimana manusia yang konsumtif menghabiskan kertas dengan menghabiskan pohon-pohon dengan karya fotonya “Aku dan Sebelum Aku”, Ricky Emon yang memvisualkan pergumulan dirinya melawan rasa malas dengan karya fotonya “Picture of Me”, Ojik yang memaparkan tentang sebuah peperangan abadi dalam batin kita dengan karyanya “Baratayudha”, Thata yang mengusung tema gerak tubuh dalam menyikapi alam dan penderita schizophrenia dengan karyanya “The Harmony of Gesticulation” dan Usenk yang mengkontemplasikan segala perasaan yang kerap melekat dalam dirinya dengan karyanya “Antara Rasa, Estetika dan Presisi”.
Memang bila kita menyimak karya-karya foto yang dipamerkan oleh teman-teman Brigadepoto # ini, agaknya akan selalu ada dialog yang terus mengalir. Ketika karya mereka disuguhkan untuk publik, cara menerjemahkan sebuah kegelisahan masing-masing individu secara visual akan berhadapan dengan sejumlah pertanyaan yang mau tidak mau harus diladeni oleh setiap pemotret. Meski begitu, karya-karya kecil mereka patut diacungi jempol. Karena di tengah hingar bingarnya karya fotografi yang cenderung piktorial, eksploitasi model dan euforia digital, masih ada pelita kecil yang menerangi dan menawarkan sebuah genre fotografi yang lain. Oleh karena itu semangat yang muncul seperti ini perlu mendapat sebuah tempat baru. Agar fotografi dapat menjadi ajang kreativitas mahluk-mahluk yang ingin selalu berubah. Sama seperti tetesan air hujan yang dapat melubangi sebuah batu, tidak dengan kekerasan tetapi dengan tetesan yang sering. Mereka inilah yang suatu saat dapat menjadi pahlawan-pahlawan cahaya yang bukan ‘diwarnai’ melainkan ‘mewarnai’ dalam fotografi.
*Tulisan ini diberikan sebagai kata pengantar Pameran Foto “Just Kick The Wall” karya Brigadepoto di Sebuah Garasi Rumah Jalan Awiligar dan dibuka oleh Bapak Ketua RT setempat pada tanggal 28 Maret s/d 4 April 2009.
Bandung, 23 Maret 2009
Mendefinisikan Waktu
Teks : galih sedayu
Ada sebuah tulisan menarik tentang waktu di dalam buku kedua karangan Neale Donald Walsh yang berjudul Conversations with God. Di dalam buku itu disebutkan bahwa apa yang dikatakan manusia tentang waktu itu sebenarnya tidak ada. Semua hal dan segala peristiwa itu, ada dan terjadi secara serempak. Bahkan pemahaman yang benar tentang waktu adalah bahwa waktu dialami sebagai suatu gerakan dan suatu aliran, bukannya sebagai suatu yang tetap. Kitalah yang sebenarnya bergerak dan yang ada hanyalah apa yang kita sebut sebagai momentum. Bila kita menggali lebih dalam permasalahan tentang waktu, akan selalu ada sejumlah pendapat tentang konsep, pemaknaan, bahkan misteri tentang waktu tersebut. De Ja Vu, sebuah pengalaman diri yang mungkin pernah dialami oleh setiap manusia akan selalu dikaitkan dengan masalah waktu. Sebagian orang yang diberi karunia Six Sense atau indera keenam pun menganggap bahwa mereka dapat melihat kejadian dalam suatu waktu yang belum terjadi. Bahkan seorang sutradara film kenamaan, Steven Spielberg, menuangkan kegelisahannya tentang waktu dengan membuat sebuah karya film yang berjudul Back to the Future. Film yang diperankan oleh aktor Michael J Fox tersebut bercerita tentang manusia yang melakukan perjalanan dengan mesin waktu yang dibuatnya.
Sepertinya segala pertanyaan dan opini tentang waktu itulah yang menyentuh sekelompok mahasiswa Fikom Unpad Bandung yang tergabung dalam Brigadepoto, untuk mewujudkan jerih payah kreativitas mereka dalam bentuk Pameran Foto yang bertajuk Perspektif ‘Waktu’. Bagi mereka, Perspektif ‘Waktu’ adalah cara pandang untuk melihat suatu peristiwa atau obyek dalam kurun waktu tertentu yang dipengaruhi oleh emosi mereka pada suasana yang berbeda. Melalui media fotografi yang diperkenalkan ke dunia sejak tahun 1839 oleh Louis Jacques Mande Daguerre, 30 buah karya foto dipamerkan oleh para mahasiswa yang peduli akan perkembangan seni fotografi tersebut. Karya foto yang berjudul “Kuberikan padamu seperangkat alat tebang dan selembar potret diri” hasil rekaman dan proses kreatif seorang Doly Harahap, merupakan bentuk protes dirinya terhadap pembalakan liar yang berlangsung terus menerus sepanjang waktu sekaligus pemaknaan individu tentang pohon dalam salah satu foto serinya yang bertema Apa Kabar Pepohonan?. Lain halnya dengan karya foto hasil bidikan Sandi ‘Usenk’ yang berjudul “tertawa”. Dengan berani ia menampilkan potret humanis dalam sebuah waktu kehidupan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bandung meski obyek yang diambilnya sengaja dibuat blur (out of focus), seperti halnya sifat waktu yang cenderung absurd. Terinspirasi atas penggalan puisi dari salah satu anak yang bersekolah di sana, ia mencoba menyuarakan sebuah seruan agar kita tidak melakukan hal diskriminatif terhadap kaum yang dianggap minoritas dalam masyarakat. Lalu ada pula foto seri karya Ricky Indrawan yang berjudul ketinggian, kecepatan dan kegelapan. Foto-foto tersebut bak sebuah representasi visual tentang perjalanan waktu berikut rasa yang hadir di sana.
Secara keseluruhan semua karya foto yang dipamerkan cukup mewakili genre fotografi yang ada pada umumnya. Dari mulai gaya reportase, konseptual sampai kepada gaya kontemporer, semua karya foto yang dihasilkan cukup mengangkat tema yang diusung dalam pameran foto ini. Hanya saja permasalahan sekarang adalah bagaimana mereka dapat menjawab karya-karya mereka ketika dilemparkan kepada publik yang pastinya mempunyai paradigma dan interpretasi masing-masing dalam melihat karya foto. Karena bukan masalah benar atau salah dalam menilai sebuah karya foto melainkan apakah kita mau meluangkan sedikit waktu untuk mendengar entah itu pesan, harapan dan segala kisah yang dimiliki oleh si pemotret. Maka dari itu tidak jarang sebuah karya foto dapat menginspirasi seseorang untuk berkarya kembali. Seperti halnya seorang fotografer Robert Capa yang terkenal dengan ucapannya yaitu “if your pictures aren’t good enough you’re not close enough”, yang membuat sebuah karya foto pada tahun 1944 tentang pendaratan tentara amerika di pantai normandia. Dimana foto tersebut banyak menginspirasi film-film perang yang dibuat termasuk film Saving Private Ryan (1998) yang dibintangi aktor kondang Tom Hanks. Atau karya seorang artis yang bernama Lady Filmer pada tahun 1864 yang disebut-sebut sebagai kolase foto pertama di dunia yaitu sebuah karya foto dengan cara memotong dan mengatur foto sedemikian rupa serta menambahkan cat air pada foto tersebut. Bagaimanapun ide yang diciptakan olehnya, saat ini banyak ditiru oleh para fotografer baik dalam bidang seni maupun komersil.
Terlepas dari pakem fotografi yang beragam, sebuah karya foto yang baik sejatinya adalah sebuah karya sederhana yang jujur, memuat isi dan pesan, ada ideologi dan dapat menginspirasi orang yang melihatnya untuk berkarya kembali meskipun semuanya itu tidaklah menjadi mutlak. Agaknya langkah kecil teman-teman brigadepoto lewat suguhan pameran foto ini dapat merupakan awal dari sebuah langkah besar. Ide tentang merekam sebuah waktu menjadi sangat menarik karena sebenarnya keberadaan ruang yang kita tempati saat ini pun secara tidak langsung turut direkam. Merekam waktu berarti merekam kehidupan itu sendiri yang tentunya selalu bergerak, berubah dan mengalir. Menghargai waktu artinya sama dengan menghargai kehidupan itu sendiri. Karena melalui fotografi, citra visual tentang segala kejadian dan obyek yang mengisi ruang kehidupan di jagat raya ini dibekukan kembali dengan harapan agar kita selalu mengingat, mengingat dan mengingat.
*Tulisan ini diberikan sebagai Kata Pengantar Pameran Foto Perspektif Waktu karya Brigadepoto di Universitas Padjajaran Jalan Dago Pojok Bandung
Bandung, 4 September 2008