Nyanyian Pemersatu Dari Lubuk Hati Soeria Disastra
Teks & Foto oleh galih sedayu
Umurnya sudah genap berusia 72 tahun, namun tubuhnya masih kelihatan tegap dan perawakannya pun masih tergolong sehat dan bugar. Meski rambutnya sudah mulai memutih, namun raut wajahnya masih memancarkan keramahan yang menghangatkan. Penampilannya sangat sederhana, dengan kemeja tangan pendek bermotif garis lurus serta celana panjang berbahan kain yang dikenakannya. Teh hangat yang langsung dituangkan olehnya sendiri ke dalam gelas-gelas kecil serta suguhan pisang yang diberikan, menjadikan bukti bahwa betapa baiknya manusia satu ini. Itulah sosok seorang Soeria Disastra, tatkala saya dan beberapa teman berkesempatan menyambangi rumah sekaligus toko peralatan musik miliknya yang terletak di Jalan Kepatihan No.61 Bandung. Soeria Disastra adalah seorang tokoh Tionghoa yang kerap disebut sebagai “seniman pemersatu”. Ia sangat menyukai sastra, yang sekaligus digunakan olehnya sebagai jembatan untuk menyambungkan berbagai perbedaan budaya. Kesusastraan Tionghoa, Sunda & Indonesia dilebur olehnya menjadi sebuah entitas penting dalam upaya mempersatukan keberagaman. Beratus-ratus puisi dan puluhan prosa telah ia terjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa serta menerbitkannya ke dalam sejumlah buku. Diantaranya Antologi Prosa & Puisi, “Senja di Nusantara” (2004), Terjemahan Puisi Baru Tiongkok “Tirai Bambu” (2006), dan sebuah buku berbahasa Tionghoa yang berjudul “Tak Pernah Aku Melihat Bulan” (2010). Karena jejak-jejak karya yang lahir darinya, ia pun terpilih sebagai salah satu dari sepuluh finalis Danamon Awards pada tahun 2010, yakni sebuah ajang penghargaan bagi tokoh-tokoh yang dianggap penting dalam gerakan kemanusiaan di bumi pertiwi.
Dalam pertemuan tersebut, Soeria banyak bercerita perihal berbagai pengalamannya waktu kecil. Salah satu yang menarik adalah peristiwa yang ia alami ketika masih duduk di bangku sekolah menengah dasar. Kala itu ia bersama seorang temannya, sedang bermain di area sekitar gedung merdeka Kota Bandung. Meski momen itu bertepatan dengan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955, Soeria kecil melihat bahwa suasana pada saat itu tidaklah begitu ramai. Kemudian ia menuturkan bahwa saat itu pula ia bertemu secara tidak sengaja dengan Chou En Lai, yakni Perdana Mentri Republik Rakyat Tiongkok yang sedang berjalan ditemani oleh para pengawalnya di sekitar Gedung Merdeka. Karena Nama Chou En Lai begitu sangat populer dan sering diajarkan di sekolah-sekolah Tionghoa, Soeria pun langsung mengenali sosok perdana mentri tersebut dan dengan serta merta memanggil nama Chou En Lai. Menurut Soeria, saat itu Chou En Lai hanya menengok ke arahnya sekejap dan kemudian kembali berjalan bersama para pengawalnya. Meski peristiwa itu hanya berlangsung singkat, namun ingatan tersebut masih membekas hingga kini di dalam kepala seorang Soeria Disastra.
Soeria Disastra lahir dan menetap di Kota Bandung meskipun seringkali ia berpindah-pindah tempat. Ia banyak mengeyam pendidikan di sekolah-sekolah Tionghoa dari mulai tingkat sekolah dasar, menengah hingga umum. Karena minatnya yang tinggi terhadap budaya dan bahasa, ia pun akhirnya memilih kampus Akademi Bahasa Asing (ABA) di Jalan Cihampelas Bandung yang sekarang namanya menjadi Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA). Setelah lulus kuliah, ia mulai fokus untuk mengelola usaha pribadi yang digelutinya sampai saat ini. Ia pun turut aktif dalam Komunitas Sastra Tionghoa Indonesia dan mengelola Paduan Suara Kota Kembang yang sejak dulu didirikan. Kini, Soeria tengah membantu penyusunan buku sejarah yang akan dibuat dalam rangka memperingati Konferensi Asia Afrika yang ke-60 tahun. Bahkan ia pun sengaja menciptakan lirik lagu yang berjudul “Bangkit dan Terbang Asia Afrika” sebagai salah satu persembahan yang diberikan olehnya bagi warga Kota Bandung dan bangsa Asia Afrika. Soeria berharap bahwa nilai-nilai Dasa Sila Bandung yang telah dihasilkan dari Konferensi Asia Afrika tahun 1955, dapat diterapkan dan dilaksanakan dengan baik oleh kita semua. Ia pun sangat menaruh harapan bahwa Bandung dapat menjadi simbol pemersatu bangsa Asia Afrika meski dengan berbagai perbedaan budaya. Bila Kota Jakarta adalah ibukota negara Indonesia, namun Bandung adalah ibukota Asia Afrika. Tentunya tanggung-jawab besar itu mesti kita pikul bersama. Karena sesungguhnya kekuatan Bandung itu adalah Kolaborasi yang menjadi Aksi.
@galihsedayu | Bandung, 23 Maret 2015
Copyright (c) 2015 by galih sedayu
All right reserved. No part of this pictures may be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopy, recording or any another information storage and retrieval system, without prior permission in writing from photographer.
Leave a Reply